
[WIKI-TOKOH] “Saya ini anak jalanan. Anak jalanan sering dipandang masyarakat kebanyakan sebagai orang yang pesimistis. Namun, saya punya visi. Orang-orang melihat bagaimana saya memperjuangkan satu kehidupan lewat karya seni,” tutur seniman batik kenamaan, Sarkasi Said.
Kalimat itu kerap diucapkan Sarkasi untuk menandaskan betapa jiwa sebagai anak jalanan masih melekat pada dirinya. Pada tahun 1951, dalam usia 11 tahun, pria berdarah Wonosari yang menjadi generasi ketiga keluarga yang tinggal di Singapura itu memilih keluar dari rumah.
Pada saat anak-anak sebayanya masih menikmati kehangatan keluarga, Sarkasi mulai berdikari dan hidup di jalanan Singapura. Walaupun sempat ditentang keluarga, Sarkasi kecil bersikeras menjalankan niatnya.
Aneka kreativitas dilakoni Sarkasi sepanjang penziarahan hidup di luar pagar rumah. Sesekali ditanamnya bibit pohon pisang di satu tempat. Buah pisang dari pohon itu baru dipanen Sarkasi setelah dia berkeliling ke pelbagai tempat dan kembali ke tempat pohon itu ditanam. Itulah salah satu cara Sarkasi mendapatkan makan, selain tentu saja dari hasil menjual lukisan.
Berselang 57 tahun setelah meninggalkan rumah, seniman yang hampir berusia 69 tahun itu telah menggoreskan nama sebagai maestro seni lukis batik. Karya tangan Sarkasi diakui dan dikoleksi banyak pejabat dan petinggi dunia. Sejumlah bandara internasional, seperti bandara di Bangkok, Hongkong, Tokyo, dan Frankfurt, bahkan memajang karya Sarkasi. Sarkasi yang memulai karier sebagai pelukis kini semakin spesifik sebagai pelukis batik.
Pada tahun 2003 Sarkasi membukukan karya batik terpanjang sejagat. “Dengan berat hati, saya harus membuat batik terpanjang karena pada masa itu orang-orang masih memandang batik hanya sebagai kerajinan, bukan karya seni. Membuat rekor ini saya lakukan agar orang melihat batik sebagai sebuah karya seni,” papar Sarkasi yang kini mempunyai sekitar 5.000 “murid” membatik setiap tahun.
Bermodal tekat itulah, Sarkasi menghabiskan waktu lima hari lima malam untuk membuat batik di 103 meter kain dengan lebar 70 sentimeter. Semua dikerjakan sendiri, kecuali ketika mengangkat kain dari air. Batik motif bunga anggrek itulah yang mengabadikan nama Sarkasi dalam World Guinness Book of Record sebagai pencetak rekor batik terpanjang.
10 dollar
Sarkasi menjual karya lukis perdana ketika dia masih duduk di bangku sekolah. Ketika itu, dia melukis bunga. Oleh guru pengajar seni, karya Sarkasi dibeli seharga 10 dollar Singapura. Itulah uang pertama yang dihasilkan Sarkasi dari lukisan. Dengan uang hasil penjualan lukisan itu, Sarkasi bisa sampai ke Pulau Penang, Malaysia.
Karya Sarkasi tidak hanya dibeli, tetapi oleh sang guru langsung dipajang di Donald Moo Art Gallery. Galeri ini adalah galeri seni pertama di Singapura yang kini sudah tutup.
Sekarang, Sarkasi mempunyai penggemar tersendiri. Dia bahkan sempat merasakan nilai penjualan satu karya sampai 75.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 450 juta. Menilik nilai nominal itu, tentu pembeli lukisan Sarkasi bukan orang sembarangan.
Kehidupan di jalan tidak hanya mengasah kemampuan melukis, tetapi juga sisi kreativitas memanfaatkan aneka bahan yang ditemui di sepanjang jalan. Bila uang di kantong sedang tipis dan tidak dapat dipakai untuk membeli kanvas atau kain, Sarkasi segera memutar otak mencari bahan substitusi untuk melukis tanpa harus merogoh kantong. Jadilah dia melukis di atas kertas bekas atau kulit pohon. Kreativitas serupa inilah yang hingga kini ditularkan Sarkasi kepada anak-anak binaannya di penjara Singapura dan kelompok sosial lainnya.
Kendati sempat merasakan hidup sulit di jalan, Sarkasi tetap bisa berkeliling dunia. Rezeki umumnya berasal dari penjualan karya dan sebagian dilengkapi dengan kenekatan, seperti menumpang truk dalam perjalanan dari satu kota ke kota lain.
Pada tahun 1956 Sarkasi sudah sampai ke Indonesia dan bertemu sejumlah maestro seni lukis Indonesia, seperti Affandi, Bagong Kussudiardja, dan Amri Yahya. Sarkasi juga sudah bertualang sampai Eropa dan sempat tiga tahun tinggal di Amerika.
Hidup di jalanan juga mengajarkan “teori” melukis bagi Sarkasi. Di pertengahan kehidupan seni, Sarkasi sempat menjadi pelukis naturalis. Di atas kertas atau kanvas, dia menggoreskan gambar-gambar sesuai dengan citra benda yang dilihatnya dalam kehidupan nyata. Periode ini disebut Sarkasi sebagai saat meletakkan dasar seni lukis.
Setelah masa naturalis, Sarkasi kemudian menjadi pelukis abstrak impresionis. Dia menggambarkan kejadian atau benda di kehidupan nyata sesuai dengan refleksi atas benda atau kehidupan itu.
Pria berdarah Jawa yang lahir dan besar di Singapura ini sampai menyimbolkan media lukis sebagai sebuah hidup. Sementara itu, tangan sang pelukis menentukan guratan kehidupan. Itulah arti hidup yang dipelajari Sarkasi dari melukis.
Mencintai batik
Awalnya, Sarkasi tidak pernah membayangkan akan menjadi seniman batik kendati sang nenek adalah penjual batik di Singapura.
Dia mulai mencintai batik ketika seorang seniman asal Italia menggelar pameran batik di Singapura. Lewat pameran itu, Sarkasi mendapati bahwa batik bukanlah sebuah produk, melainkan proses untuk memisahkan warna dengan menggunakan sejumlah bahan, seperti malam, getah, atau kanji. Dalam bahasa yang berbeda, Sarkasi menemukan batik berusia ribuan tahun di berbagai negara, seperti Jepang dan Yunani. Pada tahun 1960-an Sarkasi mulai melukis batik.
Dalam kreasi batik, Sarkasi tidak meninggalkan aneka motif tua yang ada di Jawa. Motif-motif itu sarat makna, antara lain kesabaran, persatuan, atau kemakmuran. Titik-titik dalam motif batik, misalnya, masih dipakai untuk menggambarkan kesabaran. Motif tua itu kemudian digabungkan di atas kain dengan refleksi dari pengalaman di lapangan.
Proses refleksi sekitar satu tahun bergulat dengan Kota Sawahlunto di Sumatera Barat, misalnya, kemudian melahirkan batik arang. Batik arang ini menjadi batik khas kota tambang batu bara itu.
Batik arang yang mempunyai warna dasar hitam dengan guratan putih adalah refleksi Sarkasi. Batu bara tidak pernah mendapat perhatian masyarakat Sawahlunto, sampai masa setelah Belanda datang dan memulai penambangan.
“Warna hitam—seperti halnya warna di dalam lubang tambang—itu adalah warna abadi. Di ruang hitam ini saya masih melihat cahaya. Yang dimaksud cahaya adalah kemampuan manusia melihat batu arang sebagai sumber ekonomi. Kita, manusia, yang menentukan bagaimana cara mencahayakan batu hitam itu,” papar Sarkasi yang kini mengerjakan semua karya di studio di Singapura.
Selama sekitar satu tahun bolak-balik ke Sawahlunto, Sarkasi melahirkan 100 karya. “Ah, saya bukan orang yang produktif. Kalau produktif, saya bisa hasilkan 1.000 karya. Saya ini anak jalanan. Kalau saya sedang ingin melukis, saya bisa hasilkan lima karya dalam sehari. Kalau sedang tidak ingin, saya tinggal saja karya itu dan pergi ke mana saya ingin,” ujar Sarkasi.
Sebuah kerendahan ala anak jalanan. e-ti
Sumber: Kompas, 23 Desember 2008 | Agnes Rita Sulistyawati