Kesetiaan Menjaga Sasando

 
0
730
Jacko Hendrick AB
Jacko Hendrick AB | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Tepuk tangan terdengar seusai permainan alat musik yang terkadang mirip petikan harpa atau petikan piano. Kerap orang bertanya-tanya sumber alunan musik, lantas bertanya-tanya soal alat musik “bersayap” daun lontar yang bisa memainkan nada-nada indah itu.

Bisa jadi, yang terlihat secara selintasan hanyalah seorang mengenakan ti’i langga (topi dari anyaman daun lontar) dan duduk tertutup oleh lengkungan susunan daun lontar di hadapannya.

Namun, itulah pesona permainan sasando, alat musik tradisional dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Pendengar terhanyut, terninabobokan oleh petikan sasando.

Seusai permainan, pertanyaan soal ketidaktahuan biasa dihadapi Jacko Hendrick Ayub Bullan (37), pemain alat musik sasando dari Rote. Bujangan asal Kupang—yang pada paspornya bernama Yakob HA Bullan, berumur 40 tahun dan bermukim di Jakarta sejak 1999—itu termasuk generasi muda pemain sasando. Saat ini hanya ada kurang dari 10 pemain sasando “serius” yang tersisa di Kupang.

Jacko juga melengkapi kebisaannya sebagai pembuat alat musik sasando. Semua sasando yang dimainkannya adalah buatan sendiri, termasuk sasando elektrik kreasinya. Di rumah sekaligus bengkel kerjanya di kawasan Jakarta Timur, Jacko mengerjakan sasandonya sendiri. Praktis hanya daun lontar dan (sesekali) kayu cendana yang harus dipesan dari Kupang.

Dia juga membuat sasando akustik pesanan orang yang harganya sekitar Rp 2 juta. Harga sasando termahal buatan Jacko bisa mencapai Rp 15 juta jika menggunakan bahan terbaik, termasuk kayu cendana untuk dudukan senar. “Banyak orang Indonesia yang membeli, tetapi akhirnya jadi pajangan atau barang koleksi,” kata Jacko. Dia menyebut seorang petinggi media cetak nasional yang asal Flores membeli beberapa sasando buatannya.

Pada akhir September sampai awal Oktober lalu Jacko ikut bermain di luar negeri bersama rombongan kesenian dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dalam promosi perdagangan dan pariwisata di New York dan Washington (AS) serta Toronto (Kanada). Ini bukan pengalaman baru bagi Jacko. Sebelumnya bujangan santun ini pernah bermain di Spanyol, Singapura, dan Malaysia. “Di Singapura, penonton banyak sekali,” cerita Jacko.

Di New York dia seolah hanya pelengkap penderita di acara resepsi peringatan hari kemerdekaan Indonesia di Gedung PBB. Ketika tetamu sibuk makan dan berbincang, Jacko mesti bermain dengan akustik buruk, tata lampu yang jelek, dan dia terpojok di sudut yang jauh dari perhatian. Di Washington, saat pembukaan Festival Indonesia, kondisinya tak membaik.

Barulah di Toronto, penghargaan itu mulai terlihat. Pembawa acara “Indonesia Jewelry and Cultural Show” pun mengenalkannya secara khusus kepada para pengunjung. “Kalau begini, baru boleh,” kata Jacko sambil tertawa bahagia.

Tepuk tangan dan penghargaan itu seolah membayar “kemrungsung” sejak perjalanan panjang dari Jakarta.

Advertisement

Perjalanan sulit

Jacko belajar sasando sejak masih SD, awal 1980-an. Awalnya sulung dari pasangan Apeles Bullan-Yakobah Pah ini terpesona dengan permainan om-omnya dari garis ibu.

Beberapa tahun berselang Jacko memang membuktikannya. Pacar pertamanya adalah warga Australia yang belajar bermain sasando kepadanya. “Entah kenapa, kebanyakan yang mau belajar sasando itu perempuan,” katanya.

Jacko mulai belajar sungguh-sungguh dari Habel Hanas, kakeknya dari garis ayah. Untuk menguji kesungguhannya, kakeknya tidak serta-merta mengajari Jacko. Keluarga pun tidak sepenuhnya mendukung, tetapi Jacko bersikukuh dengan memain-mainkan sendiri sasando milik kakeknya. “Saya pernah dilempar sepatu karena mengganggu orang tidur,” kenang Jacko.

Permainannya mulai membaik pada paruh akhir 1980-an. Saat itu Jacko sudah mulai diundang ke luar Kupang untuk bermain sasando. Pada 1992 Jacko sempat bermain di Provinsi Timor Timur yang waktu itu masih bagian dari Indonesia. Sejumlah daerah lain, seperti Semarang, Denpasar, ataupun Pontianak, pernah pula dikunjungi Jacko remaja.

Di Jakarta dia bergabung dengan komunitas daerahnya. Jacko masuk kehidupan Ibu Kota yang keras. Dia pernah bekerja sebagai petugas kebersihan di Gereja Abbalove Ministries di kawasan Gunung Sahari.

Jalan mulai terbuka ketika sasando mulai diakrabi kembali. Di tengah kesibukan bekerja di gereja, Jacko mulai merakit sasando. Dia pun mulai bermain di gereja, juga menghibur tetamu pada acara perkawinan dan pesta.

Saat bermain di Ancol rezeki menghampiri. Ada pengunjung yang menawar sasando buatannya Rp 2,7 juta. “Itu uang paling banyak yang saya terima setelah keluar (dari pekerjaan lama),” cerita Jacko.

Selain bermain dan membuat sasando, Jacko juga mengajar bermain sasando. Ada yang privat, ada juga yang berkelompok. Sejumlah warga Jepang di Jakarta, misalnya, secara berkelompok rutin memintanya mengajar di sebuah hotel di Jakarta.

Undangan pentas dan mengajar yang makin padat itulah yang membuat dia kewalahan mengatur jadwal. Misalnya saja, sebuah kafe terkenal di Bandung memintanya bermain secara rutin. Di sisi lain kesibukan memenuhi pesanan sasando juga belum bisa didelegasikan kepada orang lain.

Jacko memutuskan serius bersasando. Pada 6 Juni 2008 dia memutuskan keluar kerja dari gereja saat posisinya meningkat menjadi tenaga keamanan.

Kegelisahan

Di balik keseriusannya memainkan dan membuat sasando, Jacko tidak kuasa menyembunyikan kegelisahannya. Bisa-bisa sasando tinggal kenangan, seperti gambar yang tercetak di uang kertas pecahan Rp 5.000 terbitan 1992 yang sudah ditarik dari peredaran. Pemain sasando semakin sedikit. Yang tersisa sekarang hanyalah pemain dari generasi tua. Di Kupang mungkin hanya tersisa kurang dari 10 orang, sementara di Rote bahkan mungkin sudah tidak ada lagi.

Generasi terakhir pemain sasando-biola di Rote adalah Jusuf Nggebu yang meninggal pada 2007 dalam usia 90-an tahun. e-ti

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Oktober 2009 “Jacko, Kesetiaan Menjaga Sasando” | Penulis: Sidik Pramono

Data Singkat
Jacko Hendrick AB, Pemain, pembuat, dan guru musik sasando / Kesetiaan Menjaga Sasando | Wiki-tokoh | pemain, sasando, guru musik, pembuat

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here