Penerus Seni Ukir Wehea

Yakobus Zamrie
 
0
1184
Yakobus Zamrie
Yakobus Zamrie | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Kayu ulin sisa atau bekas tidak dia biarkan lapuk membusuk. Di tangan Yakobus Zamrie, pemuda (Dayak) Wehea ini, kayu-kayu ulin atau Eusideroxylon zwageri tersebut dijadikan patung, tangga, topeng, perisai, sampai tempat dan gagang parang berukir motif khas Dayak.

Yakobus Zamrie yang juga mempunyai nama Wehea, Hat Hong Ha, ini menguasai keterampilan mengukir secara otodidak. “Saya melihat patung-patung itu, lalu mencoba-coba membuatnya sendiri, ternyata bisa,” kata Zamrie.

Setelah menyelesaikan program D-1 komputer di Jakarta, Zamrie kembali ke Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Ketika ditemui, pemuda kelahiran 8 Juni 1973 di Desa Nehas Liah Bing ini bersama dua rekannya hendak melanjutkan mengukir gelondongan kayu ulin. Zamrie dipercaya mengukir tiang-tiang kayu ulin untuk sebuah balai adat desa. Dia sudah menyelesaikan enam dari delapan tiang balai yang didirikan di dekat lapangan sepak bola tersebut.

Enam tiang sudah didirikan dan menyangga rangka-rangka balai adat desa. Tiang-tiang itu tidak seluruhnya bundar seperti tabung. Bagian atas dan dasar berupa potongan tabung mirip roda yang tebal. Bagian tengah tiang berupa bangun ruang segi delapan, di bagian bawahnya seperti tempayan dan roda yang tebal.

Ukiran hasil karya Zamrie memenuhi sisi-sisi segi delapan sepanjang sekitar dua pertiga dari keseluruhan tiang. Bentuk motifnya bermacam-macam, seperti bujur sangkar, persegi panjang, segitiga, lingkaran, spiral, sampai bentuk tumbuhan paku, burung, biawak, buaya, harimau, manusia, naga, dan dewa petir.

Tiang-tiang itu menurut rencana tidak akan diberinya cat atau dipelitur. Dengan demikian, kata Zamrie, bisa terpancar keaslian dan keindahan ukiran-ukirannya. “Satu tiang itu saya kerjakan dalam waktu sekitar dua minggu sampai satu bulan,” katanya.

Relatif tidak ada hal khusus yang dilakukan Zamrie sebelum mengerjakan pesanan ukiran. Semua bentuk ukiran itu seakan mengalir begitu saja dari benaknya. Tinggal tangannya yang kemudian mewujudkan berbagai bentuk ukiran Wehea dalam pikirannya itu.

“Supaya bisa mengukir dengan baik, yang saya perlukan cuma tidur yang cukup dan tidak sedang mabuk akibat minuman beralkohol,” kata Zamrie menceritakan “rahasianya”.

Bakat turunan

Advertisement

Zamrie adalah putra sulung Ledjie Taq, Kepala Adat Desa Nehas Liah Bing. Dia meyakini bahwa keterampilannya mengukir berasal dari bakat turun-temurun sebab sang kakek juga mempunyai keterampilan mengukir berbagai motif Wehea. Zamrie “tinggal” mengasah keterampilan mengukir itu secara terus-menerus.

“Mertua saya juga terkenal andal sebagai pengukir,” kata Ledjie Taq, bapak empat anak dan guru di Sekolah Dasar Negeri 002 Nehas Liah Bing ini.

Menurut Zamrie, semasa kakeknya masih hidup, banyak waktu yang dihabiskan sang kakek untuk membuat berbagai patung dengan bahan baku kayu.

“Untuk membiayai kehidupan keluarga, kakek saya mendapat penghasilan salah satunya dari makanan dan minuman yang dijual di warungnya. Sambil menunggui warung, kakek mengukir patung dan membuat ukir-ukiran yang lain,” cerita Zamrie.

Suatu hari, seorang pembeli menghadiahi sang kakek alat-alat ukir buatan pandai besi di Bali. Dengan begitu, sang kakek bisa menghasilkan karya-karya yang lebih halus dan bernilai tinggi saat dijual. Alat-alat itulah yang kemudian diwariskan dan digunakan Zamrie untuk mengukir sampai sekarang.

Zamrie rupanya sudah tertarik mengukir saat masih duduk di sekolah menengah pertama (SMP). Dia ingin membiayai sendiri sekolahnya karena penghasilan orangtua sebagai guru dan petani ladang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga ini.

Dia teringat, patung pertama buatannya dibeli seorang turis dari Belanda senilai Rp 20.000. Zamrie tidak lagi bisa menghitung berapa banyak karya ukir yang telah dia buat sejak masih duduk di bangku SMP.

Tentang nilai jual ukirannya sekarang, Zamrie tidak menyebutkan angka pastinya. Ia hanya mengatakan bervariasi, hingga jutaan rupiah.

“Upah saya mengukir satu tiang balai adat desa ini, misalnya, Rp 7 juta,” tambahnya.

Tiga macam

Menurut Zamrie, ada tiga macam ukiran dalam tradisi Wehea, yakni loweh berupa lekukan ke dalam di wajah, ukiran kecil-kecil, dan pengkang atau ukiran berbentuk patung-patung. Sebuah karya seni yang baik itu minimal mengandung dua dari tiga macam ukiran tersebut.

“Setahu saya, cuma kakek yang mampu membuat karya dengan tiga macam ukiran sekaligus. Saya baru bisa membuat dua dari tiga macam ukiran Wehea karena memang sulit sekali,” katanya.

Di antara tiga macam ukiran Wehea, loweh merupakan ukiran khas Wehea. Bentuk ini bisa ditemukan dalam patung manusia. Wajah di pipi melesak ke dalam, kesan yang timbul seakan-akan patung terlihat kurus.

Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah karya seni ukir itu tidak bisa dipastikan. Zamrie mengatakan, ia perlu waktu sampai lima hari untuk membuat patung, sedangkan untuk mengukir tangga ia memerlukan waktu seminggu dan untuk topeng hedoq (jin) bisa enam hari.

Pergulatan batin

Meski seni ukir telah dikenalnya sejak lama, bagi Zamrie, mengukir tetaplah merupakan pekerjaan yang sulit. Alasannya, di sini diperlukan ketelitian, ketekunan, kesabaran, dan kerja keras. Dia bahkan kerap merasa mengukir itu kurang menguntungkan dari sisi penghasilan. Uang yang dia terima tak pernah pasti, bergantung pada ada dan tidaknya pembeli.

Saat bernasib baik, dalam sebulan ia bisa menjual empat sampai lima karya. Hasilnya memang lumayan, sampai jutaan rupiah. Namun, saat sedang tak ada pembeli, Zamrie terpaksa “gigit jari”.

“Pernah dalam satu tahun tak ada pembeli sama sekali,” ujarnya. Dalam kondisi seperti ini, kerap terpikir untuk meninggalkan dunia mengukir dan beralih pada pekerjaan lain. “Sulit memenuhi kebutuhan dengan pendapatan yang tak pasti,” ujarnya.

Menjadi penjaga stan toko elektronik pun pernah dia lakoni. Namun, entah mengapa dunia mengukir ibarat selalu memanggilnya kembali. Dunia mengukir menjadi keasyikan tersendiri bagi kakak dari tiga perempuan anak Ledjie Taq ini. Zamrie pun ingin meneruskan keterampilan yang diturunkan sang kakek.

Kini, bisa dibilang hanya Zamrie-lah pemuda Wehea yang masih mengukir. Teman-teman seusianya lebih memilih bekerja di kota atau pada perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara di dekat desa.

Zamrie menyadari, generasi tua yang masih bisa mengukir akan meninggal dunia. Bila tiada penerus, seni ukir Wehea akan musnah, meski dalam dirinya terus berkecamuk pergulatan antara mempertahankan tradisi dan kondisi riil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Zamrie memang masih bersemangat mengukir. Eksistensi seni ukir Wehea mungkin salah satunya terkait dengan ketahanan dia untuk terus berkarya. e-ti

Sumber: Kompas, Jumat, 1 Mei 2009 “Yakobus Zamrie, Penerus Seni Ukir Wehea” | Penulis: Ambrosius Harto Manumoyoso

Data Singkat
Yakobus Zamrie, Seniman ukir / Penerus Seni Ukir Wehea | Wiki-tokoh | Seniman, dayak, khas, patung, ukir, kayu ulin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini