
[OPINI] – Oleh Garin Nugroho | “Presiden menginstruksi kan.” Kalimat itu menjadi jargon terpopuler dari komunikasi politik Presiden ketika beragam masalah muncul, mulai dari soal bencana, kasus Gayus, skandal Century, dan lain-lain. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa banyak terjadi pengingkaran berkait dengan instruksi tersebut.
Sebutlah ketika Presiden berulang kali melakukan instruksi pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, dalam waktu yang bersamaan muncul kasus Gayus. Atau ketika Presiden menginstruksikan koordinasi bencana, yang muncul demonstrasi kepala desa di berbagai wilayah di Indonesia menuntut dana bencana yang tidak tersedia dalam politik manajemen desa.
Paradoks antara instruksi dan realitas publik melahirkan beragam julukan berkait kemampuan komunikasi politik. Sebutlah ‘presiden wacana’, ‘presiden citra’, ‘presiden peragu’, ‘presiden di atas meja’, dan lain-lain. Yang pasti, julukan tersebut sesungguhnya menjadi sebuah isyarat bahwa SBY dan pemerintahannya gagal menghidupkan ruang publik sesuai dengan gagasan yang terkandung dalam komunikasi politik.
Tanpa pemerintahan Komunikasi politik Presiden sesungguhnya ibarat pepatah ‘mulutmu, harimaumu’. Yang mengisyaratkan bahwa setiap kata dari seorang Presiden adalah gerak kerja pemerintahannya. Oleh karena itu, sekiranya Presiden melakukan kata ‘instruksi’, maka di dalamnya terkandung tiga aspek penting pemerintahan, yang disebut sebagai tiga tungku komunikasi politik.
Pertama, instruksi tersebut sudah mengandung kerja birokrasi memecahkan masalah, termasuk manajemen ekonomi, hingga payung hukumnya. Celakanya, dalam kasus Gayus, terbaca terjadi pengingkaran oleh birokrasi sehingga Gayus mampu ber gentayangan.
Pengingkaran itu lebih terbaca ketika l poran justru muncul dari masyarakat, yang kemudian aktif memecahkan adalah lembaga-lembaga khusus, seperti KPK hingga Satgas Pemberantasan Mafia Hu kum. Itu adalah sebuah isyarat bahwa pemerintahan SBY lemah dalam mengefektifkan birokrasi, dan kerja terjadi setelah kasus muncul ramai di publik.
Aspek kedua, setiap komunikasi politik Presiden mengandung pemetaan masalah yang fokus dan komprehensif serta terkandung terobosan dalam pemecahan masalah. Sebutlah instruksi mengganti sapi korban Merapi, melahirkan fokus pemecahan pada masalah sapi, meski masalah terbesar kerugian petani begitu beragam, bahkan mayoritas pada pertanian. Simak juga kenaikan harga cabai yang disambut Presiden dengan ‘instruksi menanam cabai di setiap rumah’.
Gagasan dalam instruksi Presiden itu terlalu umum, memerlukan waktu dan paradigma partisipasi masyarakat yang butuh waktu serta kerja penyuluhan dari birokrasi yang luar biasa. Bisa diduga, timbullah beragam reaksi masyarakat yang penuh canda, tapi menjadi kritik pedas mengenai komunikasi politik SBY. Simaklah di warung-warung, orang berseloroh, “Kalau harga telur naik, masak kita disuruh bertelur sendiri-sendiri.” Aspek ketiga dari komunikasi politik, komunikasi politik mengandung penghormatan pada kepemimpinan, rasa takut serta hormat pada hukuman dan isyarat penghargaan pada pemecahan masalah. Kasus Gayus dan sejenisnya mengisyaratkan munculnya proses merosotnya kewibawaan kepemimpinan, sistem hukum yang bisa dipermainkan, dan hilangnya penghargaan pada aspek pemerintahan.
Catatan itu menunjukkan bahwa sebagian besar komunikasi politik SBY kehilangan tiga dasar syarat komunikasi politik yang menjadikan gagasan kehilangan daya tumbuh di ruang publik. Bisa dipahami, yang muncul dalam komunikasi politik SBY adalah diri pribadi SBY dengan berbagai instruksinya yang berhadapan dengan realitas publik, tapi kehilangan kerja diri sebagi presiden dengan pemerintahannya. Alhasil, yang muncul adalah komunikasi diri tanpa kerja pemerintahan yang melayani publik.
Politik Tanpa Kemanusiaan
“Salah satu kelemahan terbesar komunikasi politik SBY dan pemerintahannya adalah hilangnya rasa krisis pada ke manusiaan. Yang pada puncaknya menjadikan pemerintahan yang prosedural yang melayani dirinya sendiri, khususnya berjalannya kekua saan dan citra diri, tapi kehilangan politik kemanusiaannya, alias pelayanan dan pemecahan masalah publik. Sebutlah munculnya beragam bentuk bunuh diri ibu dan anak ternyata ti dak melahirkan perhatian elite politik. Gejala semacam itu ternyata sama sekali tidak dibaca sebagai indikator dalam ekonomi.” Salah satu kelemahan terbesar komunikasi politik SBY dan pemerintahannya adalah hilangnya rasa krisis pada ke manusiaan. Yang pada puncaknya menjadikan pemerintahan yang prosedural yang melayani dirinya sendiri, khususnya berjalannya kekua saan dan citra diri, tapi kehilangan politik kemanusiaannya, alias pelayanan dan pemecahan masalah publik. Sebutlah munculnya beragam bentuk bunuh diri ibu dan anak ternyata ti dak melahirkan perhatian elite politik. Gejala semacam itu ternyata sama sekali tidak dibaca sebagai indikator dalam ekonomi.
Bisa diduga komunikasi tanpa politik kemanusiaan melahirkan komunikasi yang kehilangan skala prioritas, ruang, dan waktu kemanusiaan. Contoh yang paling aktual adalah masalah keistimewaan Yogyakarta di tengah situasi bencana. Atau simak, SBY tidak cukup berani mengkritik persoalan gedung mewah baru DPR. Alhasil, elite politik era SBY tumbuh dalam derajat politik komunikasi kehilangan dimensi rasa krisis yang melahirkan rasa sakit di hati rakyat.
Yang pada akhirnya muncul di ruang publik adalah tiga jenis komunikasi politik. Yakni, pertama, instruksi presiden yang kehilangan pelaksanaannya. Kalaupun pembahasannya muncul, ketika rakyat atau media mengangkatnya di ruang publik terus-menerus serta penuh caci maki. Kedua, komunikasi politik yang kehilangan kemanusiaan, yang memunculkan komunikasi menjaga kekuasaan dan citra diri. Yang ketiga, komunikasi politik yang berpusat pada diri presiden, sedangkan para menteri hingga birokrat tak cukup punya keberanian memandu komunikasi.
Harap mafhum, para pembantu hanya bicara setelah rapat koordinasi dengan instruksi khusus presiden, di tengah kritik pedas yang ra mai muncul. Celakanya, komunikasi politik yang dilahirkan para menteri tidak lebih pengulangan dan pembelaan dari instruksi Presiden, bukan introspeksi diri guna lebih mampu melayani publik. Itulah komunikasi politik melayani kekuasaan dan bukan rakyat.
***
Catatan itu menunjukkan bahwa komunikasi politik SBY dipenuhi pengingkaran-pengingkaran alias paradoks. Sebutlah ‘instruksi tanpa pelaksanaan, pertumbuhan tanpa kemanusiaan, prosedur tanpa pemecahan masalah, dan wacana elite tanpa ruang publik’.
Bisa diduga jargon ‘kebohongan publik’ menjadi wadah paling tepat dari beragam pengingkaran dan paradoks tersebut. Itulah sebuah pesan yang sesungguhnya di dalamnya mengandung komunikasi politik dengan kritik pedas, bahasa akrab untuk rakyat melakukan kontrol, serta elite politik tidak lagi melayani kekuasaan, tapi melayani publik. Atau dalam bahasa gaul rakyat, “Eee jangan bohong dong, lu udah gue percaya!” Opini TokohIndonesia.com | rbh
Penulis Garin Nugroho, Pengamat Komunikasi Budaya
Diterbitkan Media Indonesia, 17/1/2011 di bawah judul ‘Awas, Komunikasi Politik SBY!’