Opini Lainnya
Hukum, sebagai cerminan dari masyarakat, sering kali menghadapi kritik karena dianggap tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Di Indonesia, hukum adat dan undang-undang modern terus beradaptasi menghadapi tantangan kejahatan, namun seringkali gagal mencapai keadilan sejati. Dengan nilai-nilai Pancasila sebagai panduan, penting bagi kita semua untuk terlibat aktif dalam proses pembentukan hukum, menjadikannya lebih adil dan efektif dalam melindungi masyarakat, bukan sekadar alat kekuasaan.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Masyarakat dan hukum saling terkait erat dari saat kita bangun tidur hingga tidur kembali di malam hari. Pendapat ahli hukum Junani, Ubi societan Ubi ius; di mana ada masyarakat, di situ ada hukum, sangat tepat. Setiap tindakan manusia selalu terjadi dalam hubungan sosialnya di masyarakat.
Di kalangan masyarakat lokal (tradisional) sejak lama terdapat hukum adat (adatrecht) yang mengatur kehidupan dalam kesatuan masyarakat adat setempat. Begitu juga di masyarakat modern (urban), terdapat hukum (UU) yang lahir dari kerjasama antara Pemerintah (eksekutif) dan DPR (parlemen).
Hukum yang kita pahami seringkali identik dengan UU yang berlaku saat ini. Namun, kenyataannya, hukum tidak selalu statis. Jika pandangan klasik melihat hukum sebagai sesuatu yang statis, pada pertengahan abad 19 hukum dipahami sebagai kenyataan sosial.
Pandangan masyarakat dan akademisi tentang hukum berbeda. Masyarakat sering melihat hukum saat ini sebagai “tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.” Akademisi melihat hukum sebagai norma tertulis yang statis dan dinamis yang harus dipatuhi oleh setiap orang. Beberapa akademisi juga melihat hukum sebagai nilai (values) yang menjadi petunjuk moral bagi individu dalam bermasyarakat.
Selain hukum tertulis (UU), di masyarakat Timur, khususnya Indonesia, juga terdapat norma yang diakui secara turun-temurun, yaitu hukum adat (AdatRecht). Adat istiadat yang dijalankan telah menjadi kebiasaan yang mengikat bagi individu dalam masyarakat adat.
Peristiwa kejahatan seperti korupsi, pencucian uang, perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak, serta narkoba berdampak besar pada kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat adat tergerus oleh ekses negatif peradaban modern, yang meningkat sejak pertengahan abad 19 hingga abad 21.
Peristiwa kejahatan ini merupakan tantangan bagi masyarakat abad 20 dan 21, sehingga hukum berupaya meningkatkan kualitas penormaan dengan memperketat aturan dan memperberat ancaman hukuman. Namun, hal ini sering kontra produktif, menyebabkan overkapasitas di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, sementara daya cegah negara terhadap kejahatan terorganisasi semakin melemah. Ahli hukum melihat hukum tidak berdaya secara efisien mengatasi keadaan tersebut.
Ahli sosiologi Roscou Pound yang mendalami hukum menjelang akhir abad 19, menemukan bahwa hukum dalam buku (law in the book) berbeda dengan hukum dalam kenyataan (law in action). Penerapan hukum yang memaksakan fakta dicocokkan dengan norma yang berlaku adalah kekeliruan. Hukum seharusnya menyesuaikan dengan fakta yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks ini, hukum harus diubah terlebih dahulu agar dapat diterapkan dengan pasti dan adil.
Sedangkan menurut Holmes, hukum adalah external deposit of our moral life – tabungan moral kehidupan kita. Setiap hukum yang dilahirkan melalui lembaga legislatif harus dipandang sebagai “panggilan kesusilaan” (moral affection) kita bersama untuk mengakui, menerima, dan mematuhinya, serta menerima akibat dari pelanggarannya.
Masyarakat seharusnya aktif dalam proses pembentukan hukum (UU) sehingga hukum yang lahir adalah aspirasi rasa keadilan kita (hukum kita), bukan hanya hukum negara (produk penguasa). Hukum harus dipandang sebagai panggilan dan aspirasi moral rakyat tentang hal baik dan buruk, dengan hukuman yang setimpal dengan kejahatan dan kerugian yang diakibatkan.
Hukum bukan lagi sesuatu yang ideal, melainkan pengalaman buruk bagi kita. Oleh karena itu, diperlukan hukum untuk mengurangi pengalaman buruk tersebut. Peristiwa kejahatan besar di sekitar kita adalah asupan sentimen moral negatif bagi sebagian dari kita, dan tantangan untuk melindungi diri (juga pemegang kekuasaan) dari ancaman kejahatan melalui hukum.
Kita harus memandang hukum sebagai “payung” tempat kita hidup berteduh dengan damai. Bukan malah apatis, skeptis dan pesimis. Pertanyaan penting yang harus dijawab oleh para pemimpin dan elit partai politik kepada rakyat adalah: bagaimana jika aparatur hukum dan pejabat tinggi birokrasi terlibat dalam kejahatan seperti korupsi? Jawaban normatif dan idealnya adalah mereka harus ditangkap dan diadili. Namun, dalam praktiknya, rakyat melihat hal yang berbeda karena masih terjadi saling melindungi dan menutupi satu sama lain, seolah-olah ada kerja sama dan rekayasa dalam penerapan hukum yang sebenarnya.
Kejahatan ini bukan hanya terjadi di sini, tetapi juga di negara lain. Bedanya, di negara lain tidak terjadi secara masif dalam seluruh bidang kehidupan, sementara di sini dilakukan secara masif, agresif, dan sistematis. Jika disamakan dengan pelanggaran HAM, bisa digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Statuta ICC). Dalam situasi hukum yang seperti ini, rakyat tidak lagi bersikap aktif atau terdorong untuk “melawan keadaan,” melainkan cenderung bersikap pasif, skeptis, dan pesimis.
Hukum dipandang sebagai alat kekuasaan, kezaliman, dan hanya untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya, bukan untuk kepastian, keadilan, apalagi kemanfaatan. Keadaan ini mirip dengan gambaran Hobbes, di mana manusia bagai serigala terhadap sesamanya.
Kita masih memiliki Pancasila sebagai filosofi pandangan hidup bangsa, yang menanamkan etika, moralitas, dan nilai-nilai agama bagi seluruh rakyatnya, baik secara individu maupun kelompok. Sejarah bangsa Indonesia dan kehidupannya menjadi kokoh dan berdiri tegak, serta aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah di negeri ini, berkat Pancasila yang mengutamakan musyawarah dan mufakat.
Masyarakat harus memahami bahwa hukum yang dilahirkan adalah kehendak bersama untuk mencapai kehidupan yang tenteram dan sejahtera, bukan sebaliknya. Hukum bukanlah alat atau sarana bagi pemilik kekuasaan untuk mencapai tujuan pribadi atau kepentingan kelompok semata. Jika sikap dan cara pandang seperti itu terjadi, maka hal tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan NKRI. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK