Opini Lainnya
Hukum di Indonesia, yang seharusnya menjadi tonggak keadilan dan kepastian, kini sering disalahgunakan oleh mereka yang berkuasa dan berkepentingan. Pelanggaran aturan, kasus-kasus hukum yang bisa lolos dengan uang dan janji-janji, serta penyalahgunaan wewenang mencerminkan hilangnya marwah hukum, menimbulkan ketidakpercayaan dan kekecewaan masyarakat. Apakah masa depan hukum kita akan terus berada di bawah bayang-bayang kepentingan pribadi dan kelompok tertentu? Quo vadis, hukum Indonesia?
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Para pendidik hukum, ahli teori, praktisi hukum, dan mahasiswa Fakultas Hukum selalu beranggapan bahwa hukum bertujuan untuk memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Namun, setelah terjun dalam dunia hukum, baik sebagai teoretisi maupun bagian dari birokrasi hukum, terlihat jelas bahwa hukum, meskipun tertulis dalam undang-undang, telah kehilangan marwahnya dalam kehidupan sehari-hari kita.
Misalnya, petunjuk lalu lintas seperti larangan masuk atau pengurangan kecepatan sering dilanggar oleh pengemudi; pelanggaran hukum yang jelas tercantum dalam pasal-pasal undang-undang dapat lolos dari jerat hukum hanya karena uang atau janji-janji lainnya. Bahkan pembuat undang-undang baik itu anggota legislatif maupun eksekutif serta penegak hukum sering kali berperilaku seperti pengemudi yang melanggar petunjuk lalu lintas tersebut.
Semakin mendalami masalah hukum dalam kehidupan, semakin terlihat bahwa hukum, dengan kacamata sinis dan skeptis, seolah dibuat untuk dilanggar. Akibat dari pelanggaran hukum sering kali bisa dinegosiasikan. Hukum semakin jauh dari cita-cita menjaga ketertiban berperilaku, menjamin kepastian hukum, apalagi mencapai keadilan. Hal ini semakin memprihatinkan karena hukum seolah tidak memiliki manfaat bagi kehidupan kita. Meskipun belum sampai pada “hukum rimba” di mana yang kuat memangsa yang lemah, hukum dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Saat ini, masyarakat dan pemegang kekuasaan masih sering tidak dapat membedakan antara kritik dan penghinaan atau pencemaran nama baik. Situasi ini diperparah dengan penegakan hukum yang tidak konsisten, di mana laporan penghinaan atau pencemaran nama baik yang merugikan kepentingan penguasa cepat ditindaklanjuti, sedangkan laporan yang merugikan perorangan sengaja berlama-lama jika tidak ada imbalan finansial.
Tampak jelas bahwa hukum seolah menjadi alat permainan bagi mereka yang berkuasa dan memiliki uang, sementara bagi rakyat miskin, hukum menjadi momok yang menakutkan dan membuat tidak nyaman. Lalu, apa gunanya penerbitan undang-undang setiap tahunnya jika kemudian diabaikan, tidak dipatuhi, bahkan sengaja digunakan untuk kezaliman yang jauh dari kemaslahatan umat manusia? Apakah hanya untuk mencitrakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945?
Sebagian dari kita, jangankan ber-Pancasila dan taat pada UUD 1945, untuk memahami saja masih banyak yang bertanya. Namun, hal ini masih lebih baik daripada memberikan opini yang tidak produktif padahal tidak memahami makna dan tujuan dari pembentukan undang-undang (hukum) tersebut.
Yang sangat memprihatinkan adalah mereka yang mengetahui, mempelajari, dan memahami hukum, termasuk sarjana hukum baik S1, S2, maupun S3, yang seringkali menyesatkan makna hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini menimbulkan anomali dalam pandangan masyarakat awam mengenai kebenaran hukum yang sengaja dicarut-marutkan.
Kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai penjaga ketertiban, penjamin kepastian hukum, dan keadilan kini telah sirna. Pragmatisme hukum, di mana hukum hanya dijadikan alat untuk tujuan-tujuan sesaat tanpa mempedulikan dampak negatifnya, semakin merajalela. Mayoritas masyarakat kini berpendapat bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua sisi dari satu koin uang, di mana ada kekuasaan di situ ada hukum, bukan sebaliknya, di mana ada hukum di situ ada keadilan.
Akibat pandangan ini, terlihat dalam beberapa kasus di mana pihak yang berperkara menggunakan dua pendekatan untuk memuluskan kepentingannya: pendekatan hukum melalui penasihat hukum dan pendekatan kekuasaan melalui kedekatan dengan oknum aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Keberhasilan dari kedua pendekatan ini tampak dari suksesnya beberapa penasihat hukum tertentu di mata masyarakat. Meskipun tidak semuanya demikian, hal ini memang terjadi dalam kenyataan hukum sehari-hari.
Dunia ilmu hukum dan kenyataan hukum semakin senjang dari waktu ke waktu, bahkan telah terjadi selama 78 tahun Indonesia merdeka. Kesenjangan yang sangat mencolok terlihat dalam peristiwa Putusan MK Nomor 90, di mana perubahan batas usia presiden/wakil presiden disetujui dalam hitungan jam oleh sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi, meskipun ada pendapat yang berbeda. Reaksi yang muncul adalah keresahan di kalangan akademisi yang melihat kondisi politik semakin tidak stabil menjelang dan pasca pemungutan suara di TPS, bahkan selama proses penghitungan suara di KPU. Namun, hal ini seakan tidak didengar oleh penguasa yang buta hati dan mata terhadap kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Hilangnya stabilitas politik, terutama hilangnya pemahaman yang sehat tentang apa yang baik dan benar, tercela dan tidak tercela, di kalangan penguasa yang mempergunakan hukum sesuai keinginan mereka, akan mengakibatkan hukum tidak lagi menjadi bagian dari kebutuhan dan harapan masyarakat dalam menciptakan kenyamanan, ketertiban, dan kepastian hukum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masa depan, kehidupan hukum akan suram seperti lilin di tengah gelap malam yang hanya menunggu untuk padam oleh hembusan angin, meskipun hanya angin sepoi-sepoi.
Dengan semakin suramnya kehidupan hukum, dipastikan tidak ada lagi yang bisa dijaminkan kepada masyarakat, baik ketertiban, kepastian hukum, maupun keadilan. Quo vadis hukum Indonesia? (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK