
[OPINI] – Pada edisi lalu, kolom ini bertajuk Bobot Kepemimpinan. Diawali dengan pertanyaan: Siapakah yang layak disebut tokoh Indonesia dan apa kriterianya? Tokoh Indonesia itu ialah semua pemimpin formal dan informal Indonesia tanpa pembatasan tingkatan, melainkan lebih kepada bobot kepemimpinannya. Sebab seorang kolonel bisa mengukir prestasi yang oleh seorang jenderal belum tentu bisa (pernah) melakukannya.
Pertanyaan yang hampir sama muncul mengenai: Siapakah tokoh Indonesia yang layak disebut negarawan? Jawaban kami juga sederhana: Mereka adalah tokoh yang mendahulukan kepentingan bersama masyarakat, bangsa dan negaranya daripada kepentingan golongan, partai, ras, suku dan kelompok agamanya, tanpa pembatasan tingkatan jabatan. Selain itu, negarawan lebih memilih bicara the next generation daripada bicara the next position.
Reformasi, melahirkan pemimpin yang terpilih secara demokratis. Namun akibat pemahaman sempit atau oleh faktor lain, tak jarang berimplikasi negatif. MAJALAH TOKOH INDONESIA 30 ? TOKOH UTAMA: H Liliy Hambali Hasan, Negarawan Berorientasi Social Welfare = Bangga Jadi Putera Republik = Mandiri Sejak Remaja = Data Kemajuan Purwakarta = Prestasi dan Penghargaan 2004-2006 = PERSPEKTIF: Anggaran Pendidikan 38 Persen = Purwakarta Segitiga Emas Jakarta-Bandung-Cirebon = WAWANCARA: Percepat Izin Investasi = TOKOH PILIHAN: Dedi Mulyadi, SH, Wakil Bupati Purwakarta = Drs H Dudung B Supardi, MM = DEPTHNEWS: Purwakarta 175 Tahun = Para Bupati Purwakarta = PARIWISATA: Purwakarta Menuju Pusat Wisata = POTENSI: Waduk Jatiluhur Simbol Keluhuran Purwakarta = LEGISLATIF: DPRD Purwakarta = KAPUR SIRIH: Tokoh Negarawan = SURAT-KOMENTAR: Mengapa Tokoh Indonesia Diam? Muncul juga para pemimpin yang secara kasar (kasat mata) mementingkan sosok dan perjuangan kelompok daripada kepentingan bangsa yang majemuk. Di antaranya, sampai-sampai melahirkan peraturan yang menonjolkan kepentingan golongan, tanpa peduli kepada yang lain. Bahkan sikap beberapa pemimpin itu juga bisa mendorong berbagai tindakan anarkis.
Adalah sangat memprihatinkan, jika pemimpin, mulai dari yang tertinggi sampai terendah, menonjolkan kepentingan golongannya (golongan tertentu). Sangat memprihatinkan jika seorang presiden atau wakil presiden dan menteri bukan negarawan. Saat ini, seorang menteri belum tentu seorang negarawan. Jika seorang menteri menonjolkan visi dan kepentingan partainya dengan menomorduakan visi, tujuan dan kepentingan bangsa sesuai konstitusi, tentu dia bukan negarawan.
Seorang bupati atau gubernur lebih pantas disebut negarawan daripada menteri (pemimpin di tingkat pusat) yang menonjolkan visi dan kepentingan partai dan golongannya. Walaupun tidak semua bupati, walikota atau gubernur yang pantas disebut negarawan. Namun, kami yakin masih banyak pemimpin, termasuk bupati, yang negarawan.
Satu dari sekian banyak bupati/walikota yang kami anggap patut disebut negarawan itu, kali ini kami sajikan dalam edisi ini. Dia adalah Drs H Lily Hambali Hasan, Msi, Bupati Purwakarta, Jawa Barat. Dia pemimpin kabupaten terkecil di Propinsi Jawa Barat. Namun, dia seorang pemimpin yang berpikiran luas. Bupati yang bukan putera daerah asli (darah dan kelahiran) tetapi memiliki visi dan kepemimpinan yang sungguh-sungguh ingin menyejahterakan masyarakatnya tanpa membedakan asal-usul golongan, ras, suku, agama dan partai.
Dia seorang pamong negarawan berjiwa enterpreneur yang berorientasi prestasi dan social welfare. Seorang organisator berlatar birokrat profesional berjiwa kebangsaan dan relijius (Islam) yang selalu menempatkan diri sebagai pemimpin (bupati) yang melayani segenap lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang. Boleh saja ada orang yang berbeda pandangan dengan kami. Tapi itulah kami (Tokoh Indonesia) yang lebih memilih menonjolkan kebaikan orang lain. Jakarta, Juli 2006 * Redaksi ? Kapur Sirih, Majalah Tokoh Indonesia 30