Hadir Saat Diperlukan

 
0
215
Hadir Saat Diperlukan
e-ti | rpr-mn

[WAWANCARA] – Kendati Wimar menyurutkan langkahnya berbicara di depan publik sepeninggal istri tercinta, Suvatchara Witoelar (2003), dia sesungguhnya tidak berhenti berbicara demokrasi. Ia mendirikan Yayasan Perspektif Baru untuk melanjutkan dialog yang sehat dalam bentuk Perspektif Baru.

Yayasan ini menyuarakan demokrasi melalui ratusan stasiun radio. Setiap minggu menggelar dialog demokrasi. Belum lagi melakukan wawancara dengan koran-koran daerah. Wimar hadir manakala diperlukan. Di luar negeri pun, stasiun televisi dan radio asing termasuk media cetaknya masih menempatkan Wimar sebagai narasumber utama untuk berbicara mengenai demokrasi di Indonesia. Hanya saja Wimar kali ini lebih suka tampil low profile. Namun, jika ingin mencari nama Wimar Witoelar di mesin pencari dunia, seperti Google dan Yahoo, akan ketemu paling tidak 30.000 entry.

“Di sini (Indonesia) saya tidak mau berdebat dengan orang yang memang pekerjaannya berdebat. Jadi, saya ingin berada dimana diperlukan,” kata Wimar dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, di Kantor PT InterMatrix Indonesia, Pusat Niaga Duta Mas Fatmawati Blok C2 no.19, Jalan RS Fatmawati no.39, Jakarta, 18 Februari 2005.

Setelah menyuratinya dua kali dan menjelaskan via telepon, bahwa pengalamannya sebagai juru bicara demokrasi pantas dijadikan (diperlukan) sebagai guru yang baik bagi banyak orang, Wimar pun terpancing berbicara perihal perjalanan hidup dan pandangannya tentang berbagai hal. Berikut petikannya.

Sudah agak lama masyarakat Indonesia tidak pernah lagi mengetahui kiprah Anda?

Barangkali, pekerjaan saya untuk masyarakat itu dimulai tahun 1963 sampai 2001, ketika saya berhenti Juru Bicara Kepresidenan (era KH Adurrahman Wahid). Sesudah itu saya konsolidasi karena terjadi perubahan dalam keluarga saya. Istri saya sakit, meninggal, saya harus urus anak, semua. Perusahaan saya juga sekian tahun saya tinggalkan.

Walaupun berjalan dengan baik tetapi saya ingin membantu supaya semakin mantap dan bisa bertahan lama. Jadi, saya sekarang ini bekerja membantu PT InterMatrix Communication.

Jadi sekarang saya sangat berpaling ke dalam, ke perusahaan, dan juga kepada diri saya sendiri untuk sedikit istirahat dari isu-isu besar. Karena saya kira dalam tahun-tahun terakhir, isu-isu besar itu sudah mulai ditangani secara melembaga oleh institusi-institusi masyarakat Indonesia.

Terutama setelah Pemilu berjalan sudah ada lembaga demokrasi. Ada Presiden yang lebih legitimate, ada lembaga-lembaga yang tentu semuanya belum berjalan sebagaimana semestinya. Tapi itu perlu ketekunan orang-orang yang spesialis dan bersemangat di situ.

Peran saya kemarin-kemarin adalah peran seseorang di lapangan yang kosong. Jaman Presiden Soeharto dimana nggak ada orang yang berbicara beda dengan rejim, jadi saya bicara apa pun sudah dianggap berarti. Kalau sekarang, saya bicara demokrasi nggak aneh lagi karena semua bicara demokrasi.

Kemudian pada jaman peralihan pun dari tahun 1998 sampai 2000, kita masih bicara mengenai isu-isu besar di negara ini yakni isu militerisme, isu pluralisme, dan tentunya isu kesetaraan antar kelompok.

Advertisement

Tapi itu sudah dibahas terutama pada masa pemerintahan Gus Dur. Itu dibahas dengan suara dari berbagai pihak tanpa melihat hasilnya bagaimana. Tapi proses dialog masyarakat sudah berjalan. Jadi, katakanlah kalau saat dulu main di barisan depan, saya sekarang di bangku cadangan saja. Kalau perlu nggak diturunkan, sudah banyak sekali pemain muda yang lebih bagus, lebih semangat.

Jadi saya sekarang menempatkan diri dalam masyarakat sebagai warga negara yang betul-betul biasa. Dan pekerjaan pertama warga negara biasa harus mengurus rumah tangganya dengan baik. Jangan selalu mau menyelamatkan bangsa, soalnya bangsa mah susah diselamatkan. Tapi yang bisa kita selamatkan adalah lingkungan kita sendiri, perusahaan, keluarga, diri sendiri. Kalau semua orang membereskan kelompok kecilnya dijumlahkan, kan jadi bangsa juga.

Itu sekarang posisi saya. Di perusahaan ini kami melakukan pekerjaan komersial tetapi dengan suatu nada keberpihakan sosial yang sangat besar. Kliennya kita pilih-pilih. Terus, kita juga mempunyai yayasan namanya Yayasan Perspektif Baru yang melanjutkan dialog yang sehat dalam bentuk Perspektif Baru. Kita ada siaran radio, sekali seminggu melalui ratusan stasiun radio. Low profile nggak ada yang tahu tapi justru itu yang kita perlu tangani. Yayasan Perspektif Baru itu di sini jugalah sama juga orangnya.

Suatu ketika pada masanya, Anda dikenal mampu memberikan perspektif baru kepada bangsa. Tetapi ketika menjadi Juru Bicara Presiden, Anda menjadi semacam punya warna. Kenapa setelah tidak lagi menjabat Juru Bicara, Anda tidak kembali mencerahkan bangsa?

Saya kembali. Saya kira suara Indonesia di luar negeri paling santer dari saya. Saya kira kalau Anda tanya BBC, ABC Australia, Singapura, E Channel siapa yang bisa diwawancarai di Indonesia itu Wimar Witoelar. Tapi di sini saya tidak mau berdebat dengan orang yang memang pekerjaannya berdebat. Jadi saya ingin berada dimana diperlukan saja.

Dulu saya oke dianggap memberi perspektif baru. Itu sih karena saya lantang memberikan alternatif terhadap Presiden Soeharto, dan orang lain tidak. Kemudian saya prodemokrasi. Jadi waktu ada seorang Presiden yang prodemokrasi berada dalam kesulitan, Gus Dur, saya datang untuk membantu dia. Saya kan tidak bergabung pada waktu dia terpilih. Tetapi saya bergabung pada waktu dia dalam kesulitan.

Sekarang saya tidak lagi bertemu Gus Dur karena arenanya sudah berbeda. Sekarang saya merasa membela demokrasi itu dengan membantu rekan-rekan muda, untuk bekerja secara etis dalam masyarakat yang demokratis.

Jadi sayanya sih tetap gini, masyarakatnya saja yang berubah-ubah. Dulu dia perlu orang anti Soeharto kemudian develop, perlu orang ini perlu ini. Sekarang saya rasa orang itu perlu orang professional dalam public relation, komunikator, yang bisa menyajikan suaranya di luar negeri, di seminar-seminar, diwawancara. Tapi, ya, orang Indonesia jarang baca publikasi luar negeri karena itu tidak banyak yang tahu. Kalau Anda buka Google saja, ketik Wimar Witoelar, Anda akan dapat 30.000 kali entry di situ.

Jadi Anda merambah semua bidang. Dahulu menjadi demonstran, aktivis mahasiswa, melakukan bisnis konsultan, aktivis demokrasi politik dan segala macam. Jika ingin ditarik benang merah dari semuanya sesungguhnya siapa sih Wimar Witoelar itu?

Barangkali kita perlu jelas mengenai bidang itu. Karena orang kelihatan melakukan hal yang berbeda-beda wujudnya. Sama dengan supir, pindah-pindah. Dulu supir Kelapa Gading sekarang supir Ketumben, supir Condet, pindah-pindah.
Kerjaan saya supir. Ke mana penumpang minta, saya pergi. Jadi pekerjaan saya adalah Wimar orang biasa.

Waktu saya jadi mahasiswa saya melakukan yang harus dilakukan oleh mahasiswa. Belajar. Terus negaranya nggak beres, protes sama rektor. Rektornya nggak beres, protes sama negara. Terus Soeharto naik dan kita harapkan demokrasi, saya studi di luar negeri supaya sekolahnya selesai. Sejauh itu saya biasa saja, melakukan apa yang saya perlu lakukan.

Kemudian kembali. Karena saya, ternyata diterima di televisi, saya menjalankan Perspektif Baru, Selayang Pandang. Orang tidak tahu waktu itu pun saya melakukan bisnis jasa konsultansi financial dan konsultansi manajemen. Jadi yang kelihatan oleh orang memang berubah-ubah.

Sayanya sih gini-gini saja. Dari dulu juga gini. Dibilang dulu memperjuangkan rakyat, sekarang nggak? Dari dulu juga nggak memperjuangkan rakyat, saya bilang. Saya hanya memperjuangkan diri sendiri. Yaitu ketenangan jiwa saya, bahwa saya melakukan hal yang tidak merugikan rakyat. Sekarang juga begitu. Jadi bagi saya, nggak ada perubahan. Cuma, eh suatu saat saya di Istana, suatu saat saya di sini, suatu saat saya di luar negeri. Tapi I’m always what I’m. Saya selalu gini.

Itu benar. Tapi ternyata suatu ketika ‘dalang’ itu harus menjadi aktor sekaligus?

Saya nggak menjadi dalang nggak menjadi aktor. Saya menjadi komunikator. Dulu menjadi komunikator di talk show Perspektif, kemudian komunikator di Selayang Pandang, komunikator sebagai dosen, komunikator sebagai konsultan, komunikator sebagai Juru Bicara Presiden. Sekarang sebagai komunikator PR Semen Gresik, PR Cemex, PR Paiton, dan lain-lain.

Kerjaan saya memang mengkomunikasikan. Kadang-kadang mengkomunikasikan aljabar, misalnya saya guru. Jadi barangkali kalau mau disimpulkan, kalau saya jadi penulis, saya ini clearing house dan pemroses data.

Bahan-bahan dikumpulkan. Bahan yang susah saya coba sampaikan secara yang lebih mudah dimengerti. Saya kira, kalau wartawan luar negeri menulis mengenai saya begitu.

Bahwa orang ini mencoba membuat sesuatu yang kompleks menjadi sederhana, sesuatu yang kering menjadi menarik.
Kemarin saya, misalnya, menyelenggarakan bedah buku di toko buku. Tapi itu buku kalau dibaca sendiri mah katanya pusing. Karena nggak ngerti. Saya juga nggak ngerti.

Setelah saya baca berminggu-minggu, saya coba sampaikan secara fun supaya menyenangkan, mengenai PR dalam Konteks Multi Kultural. Akhirnya orang dengar satu jam, kali, ‘Oh ya, buku ini nggak perlu dibeli’, misalnya gitu. Karena kalau beli juga pusing, mahal. Atau oke, saya bilang, “Kalau Anda mau jadi ahli PR, jadi dosen, barangkali perlu beli.” Jadi dia tahu. Saya hanya menjadi perantara untuk menyampaikan informasi.

Jadi, content komunikasinyalah yang berubah-ubah?

Ya. Content-nya berubah. Karena kalau saya amplifier radio, kadang-kadang musiknya hard rock, kadang-kadang dangdut, kadang-kadang pidato orang. Tapi tetap amplifiernya diusahakan tidak distorsi.

Walaupun hanya komunikator yang bisa meng-clearing house berbagai isu dengan berbagai content, tapi tentu Anda punya sebuah garis idealisme perjuangan?

Idealisme terlalu besar, kali. Garis saya adalah untuk memelihara kesederhanaan berpikir, kejernihan berpikir, supaya tidak terjebak ke dalam kerancuan, ke dalam slogan. Dulu saya paling nggak suka dengan jargon P-4.

Sebelumnya saya nggak suka dengan jargon Bung Karno mengenai Kolims dan Tafif. Pidato-pidato Bung Karno saya nggak suka. Ideologi Soeharto nggak suka, ideologi kapal terbang Habibie juga saya nggak suka. Jadi orang lain boleh suka tapi saya coba mempertahankan diri sebagai orang yang berpikir jernih, sederhana, dan tidak perlu menggunakan ilmu sekolah untuk mengerti sesuatu. Saya berusaha supaya orang bisa mengerti segala sesuatunya sebagai awam.

Anak saya misalnya. Sekarang dia sekolah S-2 bidang fisika di Belanda. Itu, kemarin tersentuh waktu saya menjelaskan mengenai tsunami di Aceh secara sederhana. Itu setelah saya baca presentasi, baru mengerti betul mengenai tsunami. Karena tadinya orang itu nggak tahu atau terlalu rumit. Kebetulan dia hobinya sama seperti saya, ternyata. Jadi sesuatu yang kompleks kita buat jadi sederhana tanpa menghilangkan esensinya.

Jadi, ketidaksukaanlah yang mendorong Anda untuk mengomunikasikan segala sesuatunya untuk menjadi lebih mudah. Atau sesungguhnya adakah objektif dan sasaran lain?

Sasaran saya terutama ingin sharing saja, kebahagiaan saya mengenai sesuatu, penemuan yang saya bisa lakukan dengan berpikir jernih.

Misalnya, hal yang sangat simpel mengenai neraca dan pernyataan laba-rugi keuangan. Kan saya enginering jadi nggak pernah ngerti itu. Sekolah pasti alam, enginering, kalau neraca kayanya pusing amat. Terus kalau dengar penjelasan harus dari akuntan atau apa. Tapi kebetulan waktu saya sekolah MBA, jadi saya harus belajar itu, memang harus belajar akunting, jadi saya ‘eh, ngerti’.

Bukan soal gampang atau tidak. Bahwa sebetulnya prinsipnya itu ada yang sangat jelas. Kira-kira 20 tahun yang lalu saya bikin kursus finance untuk orang-orang nonfinancial. Bagaimana mengerti balance sheet dan income sheet bank dalam 30 menit, gitu.

Karena saya senang kalau orang bisa. Ada kepuasan. Sama kalau orang bisa main bola. Senang kali dia main bola di depan orang biar kelihatan jagoan goceknya, gitu. Saya ingin menunjukkan saya ini bisa mengambil sarinya sesuatu. Tidak ada motif lain. Tapi kalau itu dijadikan profesi, dan oleh itu dikasih duit, ya lebih bagus lagi. Berarti kan kita tidak usah mengerjakan yang lain.

Kalau kita tidak bisa dapat uang dari komunikasi, tidak bisa mendapatkan uang dari yang lain, terpaksa korupsi, ya kan. Jadi saya tidak menyalahkan orang yang korupsi karena barangkali dia nggak punya bakat lain. Tapi kalau saya masih bisa dibayar untuk ngomong, dan pasti dibayar bukan untuk ngomong jelekin orang, atau muji orang, senang saja dengar omongnya, jadi kaya penyanyi.

Tapi ketika kesenangan Anda terealisasi pada konteks yang katakanlah sebagaimana seperti yang muncul dalam Perspektif di televisi kemarin, itu kan menjadi memberikan tataran yang berbeda dari sekadar niat awal untuk memperoleh kesenangan dengan melihat orang lain senang?

Berbedanya hanya bahwa itu dianggap punya arti sosial, barangkali. Dan barangkali dianggap punya arti komersial. Kalau itu dianggap berarti secara sosial, ya terimakasih. Berarti pekerjaan saya dibutuhkan. Artinya, tadinya sih hobby saja. Dari saya umur 5 tahun, Ibu saya sering bilang, “Coba Wimar, jelaskan itu ilmu bumi Eropa.”

Jadi hal-hal yang orang tidak tahu, saya tahu duluan. Itu saya senang berbagi. Karena saya tahu itu bukan karena pintar. Tetapi karena selalu ingin menyederhanakanlah. Orang ngomong apa sih, saya coba sederhanakan.

Terus kalau hal-hal itu mempunyai arti komersial, bagus. Berarti saya bisa full time mengerjakan itu. Daripada pusing mikirin listrik, mikirin studi ekonomi, akhirnya tahun 1990-an itu saya switch full time ke komunikasi.

Saya kan mahasiswa elektro, delapan tahun tidak lulus, jeblok, drop out. Terus sekolah dipaksa-paksa. Dapat elektro, terus belajar manajemen supaya bisa ngajar. Jadi mahasiswa elektro, kembali ke ITB jadi dosen di teknik industri. Di elektro masih orang bodoh.

Tapi kemudian akhirnya saya menjadi profesor di Australia di bidang jurnalistik dan PR. Padahal saya nggak pernah kuliah di situ. Ternyata bakat saya ke situ. Baguslah kalau begitu. Jadi sekarang saya bisa mengerjakan apa yang saya suka. Saya bahagia sekali. Karena dulu saya di kelas merasa bodoh. Kalau di kerjaan ke Jatiluhur, lihat generator orang lain lebih paham. Selalu saya jadi orang paling nggak ngerti.

Sekarang ini saya merasa mengerti betul untuk diri saya sendiri. Apakah pengertian saya itu betul atau tidak itu terserah masyarakat menilai. Dengan adanya Anda-Anda datang ke sini, berdua, paling tidak ada dua orang yang merasa, ‘Ini orang tidak terlalu krosok,’ gitu ya, ha…ha…ha.

Nggak ada yang datang ke sini menanyakan bagaimana caranya saya betulin televisi, atau memperbaiki jaringan listrik, karena saya nggak ada bakat di situ. Sebagai konsultan financial pun lumayan juga laku. Jadi sekarang kita mendengarkan market. Kalau kita disukai untuk ini, ya kita coba menyempurnakan diri di bidang komunikasi. Saya merasa sreg di bidang komunikasi.

Tidakkah ada kerinduan baru untuk kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat, seperti dahulu mencerahkan rakyat dengan Perspektif walau mungkin saja dengan kemasan yang sudah berbeda sama kali?

Berbeda. Saya sekarang sangat berada dalam masyarakat. Segmennya saja lain. Kemarin saya pergi ke Malang karena ada lima orang mahasiswi tingkat tiga Fakultas Sastra (Universitas) Brawijaya yang sangat ingin ketemu saya sebagai sesama anggota Friendster.

 

Friendster adalah suatu jaringan di komputer yang sekarang, menurut saya, menjadi salah satu perangkat internet yang akan mengubah komunikasi. Orang tahunya internet itu email, website tapi sekarang ada datingsite ada friendster. Jadi saya sangat menggunakan itu. Saya bukan ahli komputer, saya bukan seorang Onno Purbo, tapi saya ini pemakai komputer.

Dan yang rajin memakai komputer justru generasi muda. Kalau menteri-menteri sih sudah malas itu, ya gaptek-lah.
Jadi, saya senangnya jadi orang yang tidak lebih gaptek daripada saudara-saudara, seperti Wulan yang ada di sini. Dan karena itu konstituensi saya, teman saya, memang generasi itu. Saya sangat bermasyarakat di kalangan itu. Kalau mau lihat, Anda ikut saya ke mall, di Malang di Surabaya, atau di mana, semua orang nyalamin saya. Tanpa televisi pun mempunyai jaringan.

Jadi bentuk masyarakatnya yang beda. Saya pernah ada di masyarakat politik, masyarakat entertainment. Teman-teman penyanyi generasi tahun 1990-an mikir saya ini orang entertainment. Kalau saya ketemu Helmy Yahya, Tantowi, Titi DJ, itu dianggap kemana nih Wimar. Teman-teman ITB mengira saya ini seorang teknolog. Teman-teman di PKB, Golkar, PDIP, dikira saya politikus padahal bukan apa-apa orang lewat saja berkomunikasi sana-sini. Dan di setiap itu ada dunianya.

Sekarang saya tidak bergaul sama Yuni Shara dan Titi DJ. Tapi saya bergaul sama Anita dan Rensi, tulis tuh namanya, dan Dewai di Malang, dan di mana-mana punya teman. Saya rasa itu sangat bahagia bahwa kita punya masyarakat berlapis-lapis di Indonesia. Belum lagi ke luar negeri. Saya kalau ke Australia imigrasi sudah langsung kenal nama saya. Saya nggak digeledah. Jadi apa kurangnya kita bersyukur.

Popularitas Anda apakah berpengaruh pada kemajuan bisnis InterMatix Communications?

Saya nggak tahu. Sebab saya nggak pernah berbisnis pada waktu tidak populer. Jadi, nggak tahu juga.

Orang lain yang harus menilai, barangkali kliennya. Apakah Paiton Energy menyewa saya karena saya populer, atau karena saya punya staf yang baik. Misalnya, perusahaan PR ini bisa membuat press conference yang sukses, bisa mendatangkan wartawan, memberi keterangan, sehingga liputannya keluar.

Itu kami bukan populer tapi karena staf saya terampil. Barangkali karena saya populer di antara staf. Sebab menurut rekan saya, saya ini dicintai di perusahaan ini. Nggak tahu tanya dia saja itu, Erna, betul nggak ha…ha…ha.

Jadi senang sekali kita bikin sesuatu tempat bercanda, keakraban dan produktif. Kalau tanya bisnis, sih, merekalah.
Oke, ada bisnis yang saya sendiri. Diundang, datang, ngomong setengah jam, dibayar. Ya, itu karena populer barangkali. Tapi kalau omongannya nggak benar ngapain juga ngundang dia lagi. Jadi susahlah untuk mengevaluasi diri kita sendiri.

Atau mungkin saja ada lobby yang bisa Anda garansi kepada klien-klien itu?

Oh, nggak. Kalau lobby itu zero. Sekarang apalagi. Saya nggak pernah ketemu siapa-siapa orang pemerintah. Kecuali Menteri Lingkungan Hidup, Ir Rachmat Witoelar. Itupun kalau ulang tahun istrinya karena dia kakak saya.

Radius gerakan saya hanya sekitar Citos (Cilandak Town Squere), Pondok Indah Mall, Kemang, dan sini. Orang pemerintah ada di Jalan Thamrin. Sangat sedikit. Pulang kapan saja, ha…ha…ha. Jadi nggak ada yang lobby pemerintah.

Orang suka menganggap begitu, ya, PR, lobby. Tapi saya paling nggak suka itu. Karena waktu saya di pemerintahan juga nggak suka dilobby. Lain dengan menyampaikan pendapat melalui media, oke, terus, kirim ke SBY, gitulah.

Kembali ke masa-masa Anda ketika terlibat aktif berkiprah dalam pentas politik nasional. Itu, sesungguhnya ada nggak sih visi politik yang Anda perjuangkan di setiap gerakan itu?

Sangat sederhana visi politik saya. Hanya demokrasi, pluralisme dan hak azasi manusia.

Dan harus diingat, saya itu tidak pernah berpolitik. Karena saya itu tidak pernah menjadi anggota partai, tidak pernah menjadi anggota DPR, dan tidak pernah berhubungan dengan sektor publik kecuali sewaktu jadi Juru Bicara Presiden. Dan saya dipanggil menjadi Juru Bicara ketika saya muncul sebagai pemandu acara talkshow di televisi, dan penulis, dan hal-hal lain yang dilakukan secara swasta.

Dan waktu dipanggil Presiden Wahid, itu saya belum kenal sama dia, belum pernah ketemu sebelumnya. Belum pernah ketemu. Dia memang orangnya rada aneh juga, merekrut orang yang dia tidak kenal.

Makanya AM Fatwa bilang, “Wah, ini gimana, presiden badut mengambil juru bicara yang badut juga.” Cocok penilaian dia. Bimantoro bilang, “Wah, senang sekali Anda ada di sini. Anda kan orangnya lucu sekali.” Makanya, “Saya nggak tahu Kapolri nonton acara saya,” saya bilang.

Jadi bagi saya itu sangat luar biasa kesempatannya secara pribadi. Dan saya ngertilah politik karena saya juga dulu ikut mendirikan Golkar tahun 1966. Saya masuk daftar calon Golkar tapi tidak saya laksanakan. Dan tentunya teman saya semuanya ada di situ. Waktu di Istana tentu saya kerahkan semua kawan-kawan lama kebetulan generasi saya. Marzuki Darusman jadi Jaksa Agung, terus semualah di samping yang muda-muda.

Tapi saya nggak pernah ikut rapat PKB, nggak pernah ke basis NU, rapat malam-malam juga nggak ikut. Saya sih bekerja sebagai Juru Bicara sesudah itu juga nggak. Saya tidak berpolitik institusional, saya berpolitik warga negara.

Karena itu gembira saya pada waktu sistem Pemilu berjalan. Orang-orang seperti saya menjadi penting, SBY bisa menjadi presiden. Kalau dulu yang menjadi presiden harus orang dari partai. Jadi bagi saya politik itu citizen politics, politik warga negara.

Anda menjadi Juru Bicara Presiden pada era Gus Dur yang notabene sangat demokratis, katakanlah demikian. Dan beliau sudah menanamkan infrastruktur demokrasi berupa kebebasan, salah satunya membubarkan Departemen Penerangan. Masih banyak hal-hal lain yang sudah beliau lakukan. Apakah Anda merasa puas dengan kepemimpinan Gus Dur yang sedemikian singkat itu?

Saya sangat bangga berada bersama Gus Dur sebagai orang yang melemparkan visi wacana kepada masyarakat. Dan saya sedih bahwa dia tidak punya cukup waktu untuk merealisasikan visi tersebut dari kursi Presiden.

Tapi syukur alhamdulillah visi itu begitu kuatnya sehingga berkembang terus melalui cara-cara di luar institusi, terutama di luar negeri. Karena kebetulan kita lalu masuk ke dalam situasi pasca September Eleven (11/9-2001) kontra terorisme. Sehingga Islam di negara Barat di cap sebagai teroris radikal.

Waktu itu Gus Dur sudah tidak lagi Presiden. Saya menyertai beliau ke luar negeri untuk memberikan pesan mengenai Islam yang moderat. Jadi saya bangga akan hal-hal itu.

Saya sedih bahwa pemerintahannya tidak efektif, tidak berhasil, dan akhirnya tumbang. Tumbangnya Gus Dur itu proses politik yang kita harus terima saja. Kaya main bola, ya kalah gitu. Sedih kita kalah tapi ya kalah nggak apa-apa.

Karena itu saya tulis buku No Regrets. Saya tidak menyesal, saya berada bersama seseorang demokrat. Setiap Hari Raya Imlek kita ingat kapan itu mulainya. Setiap kita lihat TNI berusaha memperbaiki diri, kita tahu jaman Jenderal Wiranto dicopot.

Jadi awal-awalnya semua banyak di jaman Gus Dur, selain masa kepresidenan Habibie sebelumnya. Sesudahnya sih sudah tanggung jawab seluruh masyarakat saya kira.

Tetapi kenapa Juru Bicara Kepresidenan Gus Dur jarang sekali mengomunikasikan berbagai soal keberhasilan infrastruktur politik demikian, yang dibangun Gus Dur, sehingga masyarakat bisa jernih mengetahuinya?

Sering. Tapi kan pers waktu itu sangat berat sebelah. Sekarang sering saya diwawancarai di European Chanel, di Swara, di luar negeri. Buku saya itu (No Regrets) kita launching di seluruh dunia. Waktu Gus Dur jatuh pun saya sedang berada di Australia. Dan saya diminta Gus Dur untuk jangan pulang. Karena di situ saya melakukan press conference beberapa kali. Setiap hari masuk TV. Bahwa Gus Dur jatuh, dia adalah pencetus demokrasi di Indonesia.

Jadi orang yang tahu, yang ingin tahu mengenai demokrasi, tahulah bahwa dia itu Bapaknya Demokrasi. Orang yang nggak mau tahu ya memang hak mereka untuk mempunyai kesan lain.

Apakah Anda sungguh-sungguh tidak wajar merasa menyesal sebab ketika Gus Dur jatuh Anda justru sedang terkena serangan jantung dan harus dirawat di rumah sakit?

Pertama saya tidak pernah kena serangan jantung. Kedua saya masuk rumah sakit pada waktu Gus Dur masih di Istana. Dan itu diagnosanya adalah terlalu gemuk, karena terlalu banyak makan, dan tidak pernah berolah raga. Jadi nggak apa-apa.

Bahkan setelah Gus Dur keluar dari Istana saya jadi sehat sekali. Sampai sekarang saya bisa berenang 1.500 meter setiap pagi. Jadi sehat itu pengalaman.

Ya, saya tidak menyesal karena dalam politik kita jangan menganggapnya sebagai pribadi. Jangan karena pendapat kita tidak diterima lalu kita morang-maring.

Kita sih memberikan sumbangan kita. Sama dengan main bola. Kita berusaha main sedapat mungkin. Kalau kalah, jangan setelah pulang kita tendang lawan kita di atas bis.

Anda sampai saat ini masih rajin mengomunikasikan keberhasilan-keberhasilan Gus Dur, supaya masyarakat juga ikut bertanggungjawab sebagai warga negara?

Masih. Tapi saya kan bukan juru bicara Gus Dur. Jadi pada kesempatan seperti ini saya sampaikan. Saya kan sekarang juru bicara Wulan, juru bicara Eei untuk menjalankan perusahaan ini. Karena kita harus menjalankan peran kita di masyarakat secara konstruktif. Saya bukan ahli sejarah. Banyak ahli sejarah. Jadi bukan tugas saya untuk membela Gus Dur. Karena dia tidak perlu dibela.

Bagaimana sesungguhnya, kisah perjalanan kehidupan Anda sejak masa kanak-kanak termasuk bimbingan dan didikan orang tua, adakah filosofi tertentu yang ditanamkan sehingga sangat begitu berpengaruh kepada pembentukan kepribadian Anda?

Barangkali bukan filosofi tapi sosialisasi. Karena saya dilahirkan dalam keluarga yang sangat hangat. Ayah-Ibu saya membangun keluarga yang sangat harmonis, sangat kuat, dan merupakan unit yang pokoklah. Keluarga kami menengah. Tidak miskin tidak kaya. Ayah saya pegawai negeri di Departemen Luar Negeri.

Masa kecil saya banyak di luar negeri. Ayah Ibu saya memang memprioritaskan pengalaman luar negeri. Dari mulai travel, bahasa, sekolah. Uangnya habis ke sanalah. Kami nggak pernah punya banyak uang. Pulang juga mobilnya dijual dan sebagainya.

Tapi barangkali, yang membentuk saya adalah tahun-tahun masa saya sebagai anak-anak di Eropa. Itu membuka mata saya bahwa dunia ini begini. Bahwa saya bisa melihat Indonesia dari perspektif luar.

Mungkin dari situ lahir semacam kesadaran politik yang lebih luas dari orang rata-rata, dan saya sangat berterima kasih. Jadi kalau pun saya kemudian menjadi siswa pasti alam, menjadi teknolog, tapi saya tetap merasa warga negara. Saya ini orang Indonesia, saya ini warga dunia. Globalisasinya sudah dari awal ditanamkan oleh orang tua saya, di samping bahasa. Karena saya diajarkan bahasa, jadi saya punya akses terhadap informasi. Saya bisa baca dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Jerman dan sebagainya.

Di sini (Indonesia) saya menjalankan kehidupan yang biasa. Sekolah SMP, SMA, tapi saya sudah punya banyak minat di luar sekolah. Pada waktu SMP pun saya sudah baca Newsweek, Time. Ya agak kesepian juga karena saya tidak bisa obrolkan dengan kawan-kawan. Nanti dikira sok jago, lagi. Orang baca Si Kucung saya baca Newsweek.

Dan saya agak cepat matang saya kira. Pada masa anak-anak saja, saya itu merasa saya cocoknya anak umur 24 tahun, pada waktu umur saya 12 tahun. Mengapa 24 karena kalau ketemu orang umur 24 itu ngobrolnya asyik.

Jeleknya saya memang macet di 24, sampai sekarang. Sekarang pun saya paling asyik ngobrol sama orang umur 24. Jadi saya kehilangan banyak teman seangkatan. Sarwono Kusumaatmadja itu sahabat karib saya. Kalau dalam hidup saya ada sahabat karib, itu adalah Sarwono Kusumaatmaja. Tapi saya sudah tidak bisa ngobrol sama dia. Karena dia anggota DPD segala, kan.

Aku mah beginilah. Pergaulan saya kaya begini. Apalagi sekarang saya nggak punya istri. Jadi keluarga itu seperti di sini.

Karakter saya yang lain, selain saya itu orang global, katakanlah dalam pikirannya, dan selalu bisa mempertahankan kebiasaan travel. Kedua, juga orang umur 24 dalam arti tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Karena waktu saya nikah dengan istri saya, dia juga modelnya gitu. Tidak menjadi tua tidak menjadi ibu-ibu, seperti yang lain, tapi tetap saja bebas. Ini anak saya Satya (Satya Tulaka, datang menemui Wimar saat wawancara sedang berlangsung). Kita berteman sama dia, tidak seperti Bapak-Anak.

Itu yang tersosialisasi dalam keluarga adalah betul-betul demokrasi. Mendebat ibunya, mendebat bapaknya, terutama pada waktu kecil. Setelah besar tentu masing-masing punya jalan hidupnya sendiri.

Dengan kakak saya Rachmat, pun beda sekali hidupnya. Karena dia kan anggota DPR 30 tahun, menjadi duta besar, menjadi menteri. Saya jabatan resmi cuma setahun menjadi Juru Bicara. Dan itu bukan jabatan, kehormatanlah. Bukan jabatan kekuasaan, tapi pekerjaan professional, seperti Anda saja orang komunikasi.

Sampai sekarang kalau saya diminta ceritain hidup saya bisa berjam-jam. Karena saya sangat sadar akan hidup saya. Semuanya saya lihat dengan jelas. Di mana saya mulai dan di mana saya berada. Saya orang yang senang banyak tahu, senang komunikasi, senang ngomong senang juga mendengar, orang yang senang lihat tempat-tempat baru, tahu diri. Itu ada artikel mengenai saya. Menurut mereka saya orang kesepian padahal nggak juga. Judulnya: “Wimar Witoelar: Masih Memperjuangkan Rakyat?” Ditulis oleh John Bonam, di majalah B&B volume III No. 21 Februari 2005.

Karena anak saya di Belanda, sudah empat kali saya ke sana dalam tahun ini. Saya beruntung saya senang nonton tenis. Ya saya nonton Grand Slam di sana sini. Jadi seperti orang kaya. Padahal, ya memang nggak miskin. Tapi mengapa saya itu bisa ke sana-sini karena uangnya nggak dipakai yang lain. Nggak pakai jam Rolex, nggak pakai cincin mahal, nggak pakai baju bermerek. Jadi kehidupannya enaklah.

Yang paling saya sukai dalam kehidupan ini bahwa saya banyak kontak dengan orang-orang yang tulus. Seperti Anda, saya anggap tulus walaupun saya nggak kenal. Karena biasanya orang pers memang harus begitu. Kan harus tahu segala macam. Saya menghargai orang jadi pejabat tapi saya tidak sreg. Soalnya kehabisan obrolan kalau sama orang pejabat-pejabat itu. Kalau ditanya policy, gitu-gitu juga, kan, jawabannya.

Kesenangan Anda bergelut di bidang komunikasi warisan dari siapa itu, Ayah ataukah Ibu?

Barangkali ayah saya yang memang pamong praja dulu. Jaman dulu kan, jaman Belanda, polisi itu bukan suatu pekerjaan yang pisah. Dia suatu saat jadi lurah besoknya jadi polisi. Dia pernah jadi polisi, pernah jadi wedana, pamong praja. Dan pekerjaannya berdiplomasi, sebenarnya dengan rakyat.

Terus setelah kemerdekaan dia menjadi diplomat benaran di Deplu. Kerjanya juga ngomong. Ibu saya juga aktif di bidang sosial. Biasa sajalah, bukan aktivitas yang besar tapi banyak pergaulan. Kita banyak nonton banyak bicara. Jadi kerjanya ngobrol. Dan di rumah itu seperti seminar tiap pagi. Jadi rumah kami sudah tidak aneh karena sangat totok, gitu.

Bahkan waktu saya anak-anak, dianggap kurang lancar pergaulan saya. Karena terlalu banyak di rumah. Anak mami, bukan tukang berantam kaya Anda-Anda begini. Pulang sekolah di rumah. Terus kalau makan malam, makan pagi, selalu ngobrol.

Paling terasa waktu kegiatan angkatan 66 di mana saya jadi aktivis. Itu peralihan. Kami sudah dewasa, Rachmat dan saya. Orang tua saya belum terlalu tua tapi sudah mulai pensiun. Jadi setiap pagi itu kami briefing. Waktu itu sangat mengharapkan lahirnya Orde Baru.

Apa visi dan pandangan hidup Anda dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?

Saya sangat percaya bahwa demokrasi itu sederhana. Jadi nggak usah bilang itu rumit dan harus gini-gitu. Demokrasi itu satu sikaplah, intinya gitu. Dan prasyarat demokrasi tentu adalah semua yang kita sering bicarakan, pluralisme.

Karena bagaimana kita mau demokrat kalau kita membedakan orang atas dasar asal-usul, etnis, agama, dan sebagainya. Bagaimana kita bisa berdemokrasi kalau kita membiarkan oknum-oknum tentara melanggar hak asasi. Bagaimana kita bisa berdemokrasi kalau sebagian orang boleh mencuri dana publik dari orang lain. Jadi dari demokrasi lahir pengertian anti korupsi, hak sipil, pluralisme.

Sederhana. Dan itu, menurut saya, dijalankan sehari-hari saja. Tidak hanya dalam lembaga atau gerakan. Perlulah KPK lembaga penyadaran. Perlu itu tapi yang lebih perlu lagi sehari-hari tanpa label kita jalankan.

Jadi kalau ada orang Cina jangan dimaki, kalau ada orang India juga jangan di cemoohkan. Kalau orangnya nggak benar kita bilang nggak benar. Tapi nggak usah dijadikan sesuatu sentimen rasial atau agama. Yang paling penting saya kira itu. Karena hal-hal yang lain seperti pembangunan ekonomi itu adalah yang akan terjadi di mana pun.

Buktinya jaman Soeharto, diktator, ekonomi jalan. Di India demokrasi ekonomi jalan. Jadi jangan demi ekonomi kita mengorbankan hak sipil. Demi ekonomi mendahulukan pribumi terhadap keturunan. Saya sangat tidak setuju. Ekonomi harus berjalan di atas landasan yang jujur. Karena saya bilang sederhana, ya segitu saja nggak perlu diperpanjang-panjang.

Apa saja aktivitas lain Anda dalam kegiatan kemasyarakatan?

Nggak ada, kecuali yang dalam diri saya. Saya bukan anggota ini bukan anggota itu.

 

Masih adakah keinginan Anda untuk kembali muncul ke tengah-tengah masyarakat?

Maksudnya, secara formal? Pada waktu kampanye banyak sekali panggilan-panggilan untuk itu. Saya tidak ikut kampanye. Sekali saja saya nongol karena persahabatan saya dengan Gus Dur dan SBY, waktu itu di Sidoarjo, tapi SBY-nya nggak datang.

Terus waktu pembentukan kabinet segala, saya kan diajak ikut. Saya malah ngumpet-ngumpet. Karena betul, saya itu barangkali dalam transisi pribadi, dua tahun ini sendiri. Kemudian juga sudah banyak ngerjain itu. Saya merasa lebih segar di sini saja dengan kawan-kawan saya yang muda-muda ini.

Tentang perusahaan Anda sendiri, PT InterMatrix Indonesia bisakah Anda bercerita?

Bisa. Tentunya Anda tidak mau prosedur corporate. Itu ada website-nya juga. Ini adalah perusahaan consulting yang dibangun sebetulnya sejak tahun 1986.

Sejarahnya ginilah. Karena ini memang sangat melekat pada pribadi saya. Saya keluar dari ITB, dan sewaktu di ITB pun kerja part time-nya menjadi konsultan, karena tentunya gaji nggak cukup. Bidang saya manajemen. Jadi saya keluar menjadi konsultan manajemen pada ADB, pada Bank Dunia, secara pribadi menggunakan bendera perusahaan orang lain, dibayar.

Lama-lama saya pikir mendingan bikin bendera sendiri. Jadi saya bayarannya lebih besar, terus bisa nyuruh orang yang lain yang ngerjain. Jadi saya bikin Inter Matrix di tahun 1986 mengerjakan studi manajemen.

Tapi kemudian pada tahun 1993 sekonyong-konyong saya masuk ke televisi, Perspektif, di mana itu cukup mengagetkan bagi saya support masyarakat. Jadi agak terbengkalai pekerjaan konsultan saya. Bahkan nggak ada duit selama satu dua tahun di situ. Sampai saya melihat bahwa justru dari pekerjaan itu kita bisa melakukan pekerjaan PR.

Akhirnya kita bikin perusahaan PR, setengah-setengah. Tapi tiga tahun yang lalu ini jadi serius. Menjadi perusahaan yang benar, terdaftar, punya klien besar, pegawainya lumayan, ada 25 orang dan semuanya itu profesional. Jadi kami melakukan public relation dan komunikasi untuk perusahaan-perusahaan, orang-orang, isu-isu.

Soalnya ada public relation untuk isu misalnya subsidi BBM. Bagaimana menjelaskan kepada masyarakat bahwa subsidi ini gini, gini, gini. Kita pilih-pilih, yang mana kita setujui isunya kita kerjakan.

Kalau PR untuk perusahaan, itu terutama untuk perusahaan yang perlu meningkatkan citranya. Saya lihat ada dua macam perusahaan yang jelek citranya. Ada yang memang jelek, ada yang sebetulnya perusahaanya bagus cuma kurang dimengerti.

Kita konsentrasi pada yang kedua yang sebetulnya tidak dibangun di atas korupsi tapi suka disalah sangka. Sebagai contoh banyak klien besar yang kami tolak dulu. Saya nggak berani sebut orangnya entar marah.

Tapi kalau Anda lihat daftar klien kami, di website, itu perusahaan yang rata-rata, yang biasa-biasa saja, dan kita kerja secara profesional. Dengan sendirinya tanpa koneksi apa-apa karena juga nggak punya. Koneksi bagus Indonesia sekarang sebetulnya. Kecuali kalau Anda cari kontrak bikin jembatan atau jalan raya. Kalau kaya komunikasi susah juga dikoneksiinnya. Karena kaya restoran kalau nggak enak ya nggak dimakan.

Paling fasilitas yang saya punya adalah bahwa saya dikenal. Jadi kalau mau ketemu orang nggak ditanya kamu siapa sih, gitu. Paling nggak membuka pintu yang pertama.

Kami melakukan pekerjaan PR dan konsultansi, di samping program pemerhatian sosial melalui Perspektif Baru. Voter Education, misalnya, pendidikan pemilih menjelang Pemilu. Kemudian juga wawancara mengenai bebagai topik. Dengan koran-koran daerah tiap minggu ada saja wawancara Perspektif Baru. Topiknya bisa apa saja.

Kemarin tentang binatang, tentang tsunami, kadang-kadang mengenai hak asasi. Jadi masih. Saya darah keprihatinan sosialnya sangat kuat. Tapi kita bekerja supaya kita tidak usah disubsidi. Kita tidak menggunakan dana politik.

Kalau bicara roadmap ke mana arah peta perjalanan perusahaan Anda selanjutnya?

Itu market oriented. Dan marketnya dilihat tiga bulan ke depan. Karena ini adalah people base organization. Selama orang menghargai itu, oke, jangan jadi stres. Kemarin saja ada klien yang sulit. Kita berembuk. Kita bilang, terus nggak ini, begitu. Memang rada aneh perusahaan ini.

Anda punya rencana-rencana ke depan dalam waktu dekat ini?

Saya kira setelah saya sakit beberapa kali, satu kali sih hampir meninggal, istri saya juga meninggal, kakak saya meninggal, saya melihat keterbatasan umur orang. Jadi saya ini tidak mau bikin rencana dalam ukuran 100 hari atau 5 tahun. Berbuat baik tiap hari saja. Dijalanin saja mengalir dan jangan menangguhkan. Kalau mau berbuat baik dari sekarang saja.

 

Jangan cari duit dulu baru berbuat baik. Dari sekarang saja. Jadi langkah demi langkah saya coba jalankan secara etis. Dan itu menyenangkan juga. Karena tidak selamanya saya begini. Waktu saya mahasiswa sih ambisius sekali untuk ikut memperbaiki negara segala macam. Sekarang, ya, saya sudah cobalah 30 tahun beginilah hasilnya. Tambah baik tambah jelek, saya nggak tahu.

Anda, sepertinya termasuk kategori tipe manusia yang easy going?

Begitu kata orang. Tetapi ada juga yang bilang nggak. Ya, karena saya sendiri terus terang saja tidak punya tujuan komersil di sini.

Saya, barangkali satu hal yang saya belum sampaikan, dulu pengen punya sekolah. Bukan sekolah tinggi. Tapi sekolah dari kelas satu SD sampai SMA. Untuk mengulangi pengalaman saya sebagai anak kecil. Karena saya merasa disekolahkan orang tua saya di sekolah, di rumah dan di dunia, itu bagus sekali.

Jadi pada hakekatnya saya senang membina, mengajar. Kalau membina itu istilah Orde Baru, gitu ya, mendidiklah. Saya senang hura-huralah, dengan orang sama-sama memberdayakan. Kan saya pernah memenej Tim Nasional Tennis dan orang bilang sukses. Di ITB bikin klub sepakbola. Dari kecil senang bikin klub. Ini saya anggap seperti klub saja. Tapi di mana ada duitnya sehingga mereka bebas di sini.

Anda sepertinya punya jiwa pendidik juga, rupanya?

Betul. Tapi pendidikan formal sayangnya terlalu manja untuk itu. Dulu ya, makanya saya jadi dosen.

Saya pernah mendirikan Institut Manajemen, bangkrut dan sebagainya. Jadi senang. Di sini pun senang ngajarin apalah soal-soal kecil. Tapi kalau pendidikan terstruktur barangkali orang lain yang bikin, saya ikut ngajar. Sering sih, saya pernah pegang program manajemen.

Jadi di sini saling mendidik. Kalau tujuan saya, visi saya di perusahaan InterMatrix, bahwa setiap orang yang ada di sini menjadi tambah berdaya tambah pintar. Sehingga nanti kalaupun keluar dari sini akan lebih pintar daripada waktu masuk. Belum tentu lebih kaya, tapi lebih pintar. Karena gajinya nggak seberapa.

Artinya akses, ya. Saya beruntung punya akses, ke mana-mana dikenal. Jadi kan saya bisa bawa teman-teman. Mereka juga cepat kenalan. Jadi mereka kenal semua orang yang saya kenal.

Cita-cita mendirikan sekolah itu masih ada hingga sekarang?
Dulu, itu. Saya umur 59 tahun. Kalau saya banyak cita-cita entar capek lagi.

Nggak. Saya kira saya sekarang ingin meraih hasil dari investasi itu dan dibagi ramai-ramai.

Anda bisa bercerita mengenai keluarga, seperti tentang almarhum istri dan anak-anak?

Pada tahun 1970, ketika saya sudah lama menjadi mahasiswa, harusnya di titik akhir, tapi masih belum banyak yang selesai, saya mendapat grant dari pemerintah Amerika untuk keliling meninjau ke Amerika. Itu grant tiap tahun. Diundang dua kali dari 12 negara Asia Pasifik, diundang satu-persatu.

Indonesia sudah langganan. Sebelum saya ada Arif Budiman, Syahrir, Marsilam, Sarwono, Haryadi Darmawan, banyak. Giliran saya pergi, dari Thailand perwakilannya Suvatchara yang, kemudian setelah ketemu di perjalanan jatuh cinta dan nikah. Dia mahasiswa kedokteran, sudah dokter waktu itu, saya masih mahasiswa yang hampir drop out. Karena dia sudah dokter, dan akan melanjutkan spesialisasi ke Amerika, saya sekolahnya ngawur, jadi ya sudahlah, saya juga ambil beasiswa saja ke Amerika.

Di sini, sebetulnya karir saya baru mulai kalau secara politis. Karena waktu itu didirikan Golkar, yang model sekarang ini, saya bersama Rachman Toleng dan kawan-kawan di Bandung yang bertugas menghimpun mahasiswa. Jadi daftar calon (Calon Legislatif) Golkar Jawa Barat yang pertama itu saya ikut bikin. Ada Rachman Toleng, Marzuki Darusman, Rachmat Witoelar, Sarwono, banyaklah. Kalau dari Jakarta ada Akbar Tandjung dan lainnya. Soalnya Syahrir dan Marsilam berada dalam oposisi waktu itu.

Jadi saya harus milih. Politik, nih kalau saya masuk saya sudah ikut Akbar sekarang. Atau sekolah, gitu. Yah karena saya sedang jatuh cinta segala macam, dan merasa nggak enak kalau tidak selesai sekolah, jadi saya memilih sekolah.

Sekolahnya empat tahun. Pada tahun ke lima ada pemilu lagi saya dicalonkan lagi walaupun sudah di sana. Karena dianggap orang yang dibutuhkan. Tapi saya tolak waktu itu dengan memilih menjadi dosen di ITB.

Istri saya bawa ke sini. Dia bekerja sebagai dokter muda, dokter pemerintah, dengan melalui segala rintangan. Karena, tentunya nggak bisa bahasa Indonesia dan harus mencari kewarganegaraan.

Saya jadi dosen di ITB. Senang sekali ngajar. Terutama senang karena banyak pergaulan dengan mahasiswa, bertukar pendapat. Itu, akhirnya menjadi kejatuhan saya.

Sebab saya menjadi lebih senang bertukar pendapatnya daripada menjadi dosen. Sebagai dosen saya bagus. Saya beberapa kali dipilih menjadi dosen teladan. Karena kalau kuliah selalu datang. Kalau ditanya selalu jawab. Karena memang senang.

Tapi karena pelajaran saya juga ilmu ekonomi segala, itu menyangkut hal-hal yang sosial, jadi terlibat dalam gerakan mahasiswa. Ya sebagai orang yang ikut berpikir.

Jadi sajalah aku keluar dari situ. Menjadi konsultanlah di Jakarta. Sementara itu istri saya kariernya stabil. Dia dokter syaraf. Pada waktu dia meninggal, boleh dikatakan dia saya kira dipandang sebagai salah satu dokter syaraf yang paling baiklah. Karena walaupun bukan yang paling senior, tapi dia rajin sekali baca, riset, konferensi. Jadi dia mengajar juga model gitu.

Jadi di rumah kami punya dokter. Istri saya yang dokter sangat stabil juga emosional. Juga punya saya yang, seperti Anda bilang, kerjanya macam-macam, nggak jelas tapi toh merasa jelas. Saya sendiri merasa punya tema. Orang suka bingung. Ya lahirlah anak-anak kaya gini, gitu. Keluarganya baik sampai dia kena kanker dua tahun yang lalu. Sekarang saya dalam transisi.

Jadi saya kira kalau dua tahun orang tanya saya, ke mana saja dan sebagainya, walaupun saya bilang saya aktif di sini, tapi memang sebetulnya saya nggak mau ada beban emosi yang terlalu berat. Malas ke sana, ke politik ditanya-tanya, dihujat-hujat. Mendingan saya ngerjakan yang tenang-tenang. Sementara saya juga mencari keseimbangan. Karena saya belum pengalaman hidup tanpa istri. Slowly but sure.

Menarik juga kisah Anda tersebut. Kami turut prihatin. Lalu, sudah sejauhmana hubungan Anda dengan kang Rachmat belakangan ini?

Kang Rachmat itu sahabat karib saya dari lahir. Karena dari lima anak ini (Wimar Wiroewlar lima orang bersaudara kandung), dia nomor empat saya nomor lima. Kami yang selalu sama-sama.

Kita sering pindah-pindah ke Eropa ke mana. Kalau yang sudah lebih dewasa, kadang-kadang dia sekolah di mana di mana. Tapi kalau kita, sih selalu ikut orang tua. Jadi selalu sekamar, setempat tidur, semobil. Sangat akrab. Sampai jadi mahasiswa pun ke sekolah naik skuter bersama sampai diketawain orang. Nggak pernah berantam. Sangat akrab.

Menjadi aktivis mahasiswa sama-sama. Bahkan dia menjadi anggota DPR itu karena saya yang ngrojok. Saya yang kompor-komporin, ngajak. Yang pertamakali dia nggak mau. Malah saya palsuin tanda tangannya. Karena saya dulu semangat sekali. Kalau dia, kan, kaya sekarang saja moderat gitu.

Dia itu sebetulnya orang sebaliknya dari saya. Sangat stabil, sangat moderat, tidak senang konflik secara pribadi. Konflik politik sih suka jugalah. Kalau pribadi baik-baik. Artinya tidak mau mengambil posisi yang terlalu tajam dan kelihatan.

Kalau saya, misalnya ada sesuatu yang nggak senang, ya pergi saja. Kalau dia itu selalu menerima. Karena itu dia masuk Golkar saya ke Amerika. Di situlah pisah jalannya. Dia terus menjadi aktivis Golkar bersama kawan-kawan yang saya sangat hargai. Saya ikuti politik melalui merekalah. Itulah yang disebut Kelompok Bandung, di Fraksi Karya Pembangunan terdiri Sarwono, Marzuki, Joko Sudjatmiko segala macam. Ada bukunya malah, “Mereka dari Bandung”.

Saya ceritanya jalur jadi dosen, terus jadi konsultan, mencoba jadi pengusaha. Saya pernah usaha real estate, finance, tapi yah gitu-gitu saja. Jadi sangat jauh pekerjaannya. Bahkan boleh dikatakan bertentangan.

Waktu saya dianggap melawan rejim Soeharto dia adalah rejim Soeharto. Bahkan pernah dalam salah satu pencalonan, di Golkar itu kan pencalonan ditentukan dari atas, nama dia itu dicoret, sampai ke tangan Soeharto, karena kegiatan saya di ITB.

Di situ satu kali saya lihat Soeharto ini bijaksana juga. Karena ada yang pro dia, ada yang anti, akhirnya nggak bisa diselesaikan, dibawa ke Pak Harto. Kenapa, karena adiknya bikin ribut di Bandung. Soeharto bilang, “Lo, dulu Parman juga. Itu salah satu pahlawan revolusi yang jadi nama jalan S Parman, itu sama Ir. Sakirman Central Committe PKI adik-kakak. Jadi bisa saja dong,”.

Oh, jadi semua lolos. Cuma saya tanya yang mana yang PKI ha…ha…ha.

Jadi, saya saya dia dia. Itulah. Saatnya dia menjadi anggota MPR lagi, saya masuk penjara. Jadi lucu. Kalau ketemu ya ketawa-ketawa. Dia itu sebenarnya sama dengan saya. Cuma dia itu bertarung dalam sistem saya mewakili di luar. Karena saya lebih senang komunikasi daripada lobby. Kembali ke pertanyaan Anda, bagus tadi itu. Kalau Rachmat lobbynya kelas satu sana-sini sana-sini.

Terakhir ketemu malah pada waktu di dalam pemerintahan Gus Dur. Kita lihat kayanya suatu saat SBY ini bagus buat jadi presiden. Ceritanya dia mulai naksir-naksir.

Jadi setelah Gus Dur tidak lagi di Istana memang ada beberapa approach. Rachmat itu dari awal menangani SBY. Sekarang saja kegeser. Tiga tahun yang lalu dia nangani SBY saya itu suka mewakili Gus Dur. Jadi lucu saya suka berunding sama dia. Tapi baguslah. Dulu bertentangan sekarang seperti mau bersatu. Tapi ya memang bertentangan nggak, bersatu nggak, begitulah.

Cuma dia itu memang politician saya bukan. Saya ini begini begini saja. Dia jadi duta besar, saya nggak pernah jadi duta besar. Saya pikir kenapa saya jadi duta besar, karena memang nggak model saya untuk jadi duta besar.

Anda tadi katakan hanya bisa nyambung dengan orang usia 24 tahun. Dengan Kang Rachmat sendiri, masih bisa nyambung?

Oh nggak, nggak, saya nggak. Sudah lama saya nggak nyambung dengan Kang Rachmat mengenai obrolan publik. Tentu sebagai keluarga ya dia itu kakak saya.

Dia bukan teman ngobrol saya sehari-hari. Tapi kalau saya bermasalah dia pasti bantu. Dan sebaliknya. Mudah-mudahan saja dia nggak kena masalah jadi saya bisa tenang.

Kalau boleh bertanya secara pribadi, adakah rencana Anda untuk mencari pengganti Ibu?

Cari istri? Saya kira cari pengganti ibu saya.
Saya kira pernikahan itu ujung dari satu proses yang kita jalankan juga secara mengalir. Saya senang sama Wulan, saya akrab, eh tahu-tahu punya suami ya berhenti, gitu. Saya kenal semua orang, akrab, tap tap tap ya nggak tahu ujungnya.

Tapi jaman sekarang bukan jamannya orang perlu istri. Kalau orang-orang tua bilang ‘Wimar harus punya istri’, kenapa, ‘buat ngurusin kamu’. Kasihan juga ini. Ada orang yang didesain untuk ngurusin orang lain. ‘Ya, kalau kamu tua siapa yang ngurusin.’ Ya, ada suster barangkali kita sewa.

Saya kira istri adalah pelembagaan dari partnership yang kita harus jalankan kita uji. Jadi, jawabnya ya dan tidak. Tidak anti, tidak juga harus. Apalagi saya sudah punya keluarga. Harus ada sinkronisasi juga. Lebih penting kebahagiaan mereka (anak-anak) yang hidupnya, insya Allah jauh lebih panjang dari saya. Saya menderita beberapa tahun nggak apa-apa. Karena sudah senang sekian puluh tahun.

Istri saya orang yang sangat sempurna. Jadi bicara ganti ya nggak ada gantinyalah. Tapi berteman? Oh, jangan dibilang Wimar tidak mau berkenalan dengan wanita. Please, ngopi di Citos.

Pertanyaan terakhir, apa komentar Anda tentang kondisi sosial politik terbaru saat ini khususnya tentang Pemerintah SBY-JK?

Saya kira itu didahului dengan komentar terhadap situasi penataan politik saat ini. Yang itu, sangat penting kita ingat setelah terwujud berkat adanya Pemilu-Pemilu yang demokratis, Pemilu Parlemen, Pemilu Presiden. Dan itu yang harus dipegang lebih penting daripada hasilnya.

Pada waktu Pemilu kemarin saya nggak bisa dukung salah satu calon presiden karena dodol semua. Tapi pemilunya sih oke. Jadi pilih saja siapa yang paling Anda sukai atau paling sedikit Anda tidak sukai.

Karena ibarat pompa air. Itu, kalau pompa air kita baru, jangan harapkan begitu diginiin keluar air jernih. Kan harus keluar lumpur dulu, cacing, kecoa dan sebagainya.

Jadi Pemilu pertama itu begitu. Tapi kalau kita terus rajin lama-lama akan keluar yang bersih. Sekarang kita membuat Pemilu, kita membuat presiden yang punya keistimewaan, start kuat kemudian wuuu…ut gitu, ya turun terus. Tapi biarin saja. Karena sekarang adalah test untuk masyarakat bagaimana menanggapi pemerintah yang begitu.

Menurut saya Pemerintah ini nggak jalan. Tapi nggak usah diapa-apakan. Yang sekarang harus jalan masyarakatnya. Apa betul sih kita selalu perlu Pemerintah. Banyak sekali kegiatan kita yang tidak memerlukan Pemerintah.

Pemerintah diperlukan untuk pekerjaan besar memberantas korupsi dan sebagainya. Tapi kalau semua mengurusi pemberantasan korupsi, nggak ada yang ngurusin kerjaan sehari-hari.

Jadi, kalau prinsip saya, biarlah beberapa orang menanggapi itu. Atau orang seperti saya menanggapinya setiap ada isu yang perlu ditanggapi. Saya ngomong, sih, kalau orang lain nggak ngomong. Saya pernah keluar artikel di Kompas mengenai tabrakan Jagorawi karena nggak ada yang ngomong. Tapi kalau orang lagi ramai-ramai ngomongin sesuatu, nggak usah ngeroyok, gitu. Karena kita perlu membagi diri.

Jadi menurut saya, pandang-an saya terhadap pemerintah ini, kita amati dia. Terutama melalui pers-lah bagaimana kelanjutan-nya. Tapi kita juga berusaha untuk bekerja secara produktif supaya paling tidak di Pemilu yang akan datang kita punya pilihan yang lebih baik.e-ti/ht-ms

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: Wimar Witoelar, | Kategori: Wawancara | Tags: Presiden, juru bicara

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini