Kokohkan Diri Pembaharu Islam

 
0
226
Azyumardi Azra
Azyumardi Azra

[WAWANCARA] – Ketokohannya sebagai pembaharu Islam Indonesia semakin mantap dan strategis. Dia kini guru besar sekaligus Rektor di almamaternya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sudah berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatul-lah, Jakarta. Kemurnian berpikir, sehingga pendapatnya sering menjadi rujukan sekaligus sebagai ‘pemadam kebakaran’ atas berbagai potensi konflik yang mungkin terjadi.

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dahulu tahun 1978 adalah aktivis mahasiswa dan intelektual muda yang gencar membangun wacana pemikiran tentang Indonesia, Pembangunan dan Islam. Dia pernah bersikap berani menggelar demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Presiden Soeharto yang dinilai semakin represif terhadap mahasiswa, gencar melakukan Golkarisasi di kampus serta memecat dosen-dosen IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang anti pemerintah. Aktivitasnya yang berlangsung saat Sidang Umum MPR itu ditindas aparat keamanan dengan merangsek menyerbu kampusnya yang terletak di kawasan Ciputat. Kampus didobrak dan banyak mahasiswa berlumuran darah.

Dia lalu merasa bersalah dan trauma sebab tak tega melihat akibat gerakannya, banyak teman-temannya digebukin. Gerakannya lalu bergeser murni ke gerakan intelektual. Dia mematangkan diri sebagai tokoh pembaharu Islam dengan mengambil studi tingkat master hingga doktor ke Columbia University, satu dari 10 universitas paling top di Amerika Serikat, antara tahun 1986 hingga 1993.

Dia menyebut penunjukannya sebagai Rektor IAIN pada 14 Oktober 1998 sebagai “musibah”. Sebab dia tidak menyukai birokrasi yang serba struktural. Dia menyebut birokrasi tak cocok di lingkungan universitas.

Tanpa banyak publikasi, dalam tempo beberapa tahun, dia berhasil mengubah wajah IAIN itu, yang disimbolkan dengan perubahannya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dia berhasil menggandeng Bank Pembangunan Islam (Islam Develoment Bank/IDB) dan Pemda DKI Jakarta membangun total 18 gedung perkuliahan baru bertingkat dua hingga tujuh, berikut prasarana dan sarana secara lengkap. Bersama sebuah lembaga dari Jepang, tahun 2005, dia berencana membuka Fakultas Kedokteran disertai kelengkapan rumah sakit praktek.

Dia mengubah UIN dari eksklusif menjadi inklusif. Ilmu agama murni diintegrasikan dengan ilmu-ilmu sekuler. Dengan kelengkapan disiplin ilmu, ditambah jumlah 17.000 lebih mahasiswa yang direkrut dari siswa-siswa terbaik seluruh Indonesia berdasarkan seleksi penerimaan yang kompetitif, bukan mustahil dalam waktu singkat ke depan, UIN akan menjadi pusat keunggulan pendidikan tinggi ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler.

Perjalanan hidupnya mengalir begitu saja. Dia menyebutkannya sebagai sebuah koinsidensi-koinsidensi yang saling mempengaruhi yang melejitkan namanya semakin kokoh sebagai tokoh pembaharu Islam Indonesia. Dia tak pernah ngoyo dalam melakukan segala sesuatu kecuali berbuat maksimal untuk setiap tugas dan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya.

Dia juga konsisten sebagai pengajar, sebagai dosen hingga guru besar , tak pernah bekerja di tempat lain sebab memang dia berasal dari kampus dan dibesarkan di situ. Posisi murni sebagai intelektual bukan berarti tak punya warna dan sikap politik. Golput, misalnya, adalah sikap politik yang menurutnya kurang bertanggungjawab sebab demokrasi saat ini masih perlu dibangun. Karenanya, pasca kemunduran Pak Harto semua pihak harus bertanggung-jawab atas konsolidasi politik yang masih berlangsung. Walaupun dia memahami alasan orang menjadi golput, namun, menurutnya, sikap itu sebaiknya dihindari.

Maka tak salah, bila orang menyebutnya aset bangsa yang sangat berharga demi masa depan. Azyumardi, bukan tipe orang yang suka menyodor-nyodorkan diri.Melihat tipenya itu, kalaupun suatu ketika ditunjuk menjadi menteri, dia akan mungkin akan berpikir dulu, apakah dia sudah merupakan orang yang paling baik dan pas mengisinya.

Dia memang sangat bersahaja, tipikal seorang intelektual kampus sejati. Dia membesarkan UIN hanya bermodalkan keberanian mengajak semua pihak bermimpi besar. Kini sebagian besar mimpi itu sudah tercapai. Ia tinggal menata setumpuk gagasan menjadikan UIN itu, sebagai sebuah institusi Islam, menjadi lokomotif pembaharuan di bidang pemikiran Islam Indonesia maupun internasional.

Advertisement

Berikut perbincangan Wartawan TokohIndonesia DotCom dengan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, suami dari Ipah Farihah kelahiran Bogor 19 Agustus 1959 yang dinikahinya 13 Maret 1983 dan memberinya empat orang anak. Perbincangan berlangsung Sabtu 31 Juli 2004 di kampusnya yang asri, UIN Syarif Hidayatullah, Jalan Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat, di Selatan Jakarta.

MTI: Anda bisa menceritakan tentang masa kecil di kampung halaman serta bentuk pengasuhan orang tua?

AZA: Ini, ceritanya panjang tapi mungkin saya tidak perlu cerita terlalu panjang. Salah satu buku tulisan saya mungkin bisa membantu, di sini banyak human interest-nya (katanya, sambil menyodorkan kopi salah satu bab buku karyanya, “Islam Substantif).

MTI: Tentang pengasuhan orangtua di masa kecil, nilai-nilai apa yang bisa Anda petik?

AZA: Yang pertama itu adalah disiplin, disiplin soal waktu disiplin soal belajar. Yang kedua adalah etos kerja. Orangtua saya sekali-kali mereka itu ngomong bahwa kita harus bekerja keras berusaha mencapai yang sebaik-baiknya. Itulah yang saya ambil dari kehidupan masa kecil orang tua yang selalu berusaha bekerja keras, tidak pernah menyerah, selalu menciptakan tantangan di dalam dirinya sendiri, itu yang menjadi kekuatan pendorong bagi saya.

Yang ketiga yang juga yang sangat berpengaruh adalah cinta pada ilmu. Jadi, orangtua saya itu meskipun tidak sekolah tinggi tapi mencontohkan kepada saya bahwa ilmu itu sangat penting. Oleh karena itu meskipun mereka susah dalam kehidupan tapi semua anak-anak mereka itu sekolah dan semuanya menjadi sarjana.

MTI: Yang paling dominan mendorong Anda hingga bisa menjadi seperti sekarang ini pendidikan dari orangtua atau contoh dari orang lain seperti Buya Hamka?

AZA: Oh ya tentu saja dari orangtua saya. Kalau dari Buya Hamka saya banyak belajar mencoba mengambil hikmah tentang sikapnya yang moderat, toleran, juga berpijak pada prinsip.

Saya itu selalu ada dorongan berusaha untuk memiliki etos kerja dan bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu tidak mau setengah-setengah, itu support dari orangtua. Jadi meskipun saya sibuk seperti sekarang ini, misalnya saya masih terus menulis makalah, artikel dan sebagainya, itu karena itu tadi etos kerja. Itu yang saya ambil dari pengalaman waktu kecil.

MTI: Merasa bersentuhan dengan konsepsi-konsepsi pemikiran Islam, itu mulai kapan?

AZA: Sebetulnya saya tidak pernah membayangkan seperti sekarang. Jadi, saya itu dari dulu hidupnya mengalir saja. Salah satu prinsip hidup saya biar saja mengalir seperti air. Bagaimana nanti yang penting kita berusaha sebaik-baiknya. Hari ini lebih baik dari kemarin, dan hari besok lebih baik dari hari ini Itu saja prinsipnya. Saya tidak pernah punya cita-cita.

Tahun 1978 setelah terjadi huru hara d isini dulu dimana tentara masuk. Waktu itu saya masih tingkat II, mahasiswa digebukin, dosen-dosen digebukin, banyak yang berdarah-darahlah di kampus ini digebukin oleh tentara. Setelah itu tahun 1979 saya mulai menjadi reporter di majalah Panji Mas. Waktu itu Panji Mas masih dipimpin oleh Buya Hamka. Jadi saya berhubungan dengan Buya Hamka lebih pada soal-soal perkembangan Indonesia di Indonesialah.

Jadi, di kampus Ciputat ini saya mulai terlibat dalam kelompok-kelompok diskusi, aktif di HMI. Di HMI juga banyak diskusi. Dari situlah kemudian mengembara ke dalam berbagai bidang. Topik-topik diskusi pada waktu itu pada tahun-tahun terakhir 70-80 itu banyak membahas masalah pembangunan, Islam dan Pembangunan, agama dan pembangunan, agama dan modernisasi. Ya, itulah, mulai dari situ minat saya dan saya kemudian terus berkembang.

MTI: Anda cenderung berada di tengah menjadi pemikir Islam, bukan aktivis lembaga?

AZA: Ya, mungkin kecenderungan pembawaannya lebih ke dunia akademis, keilmuan, daripada menjadi aktivis baik itu di ormas maupun juga di politik. Itu, saya enggak aktif di situ. Dulu saya memang pernah menjadi Ketua Umum HMI cabang Ciputat tahun 1982-1983, tapi saya pikir, ya sudah saya stop itu kemudian menerjunkan diri ke dalam bidang keilmuan lebih intens.

Apalagi setelah saya tamat dari sini tahun 1983, kemudian sempat bekerja di LIPI selama 2 tahun yakni sampai tahun 1985. Tiga tahun setelah itu saya kembali mengajar di sini, dan kemudian baru terus kuliah S-2 dan S-3 di Amerika, New York, di Columbia University. Jadi ini mungkin kecenderungan saya, kecenderungan pribadi yang tidak tertarik pada politik.

MTI: Apakah itu berarti Anda tidak punya warna politik atau tidak diwarnai politik?

AZA: Oh ya, saya tentu punya sikap politik cuma tidak berafiliasi juga terlibat ke dalam politik itu. Misalnya pada pemilihan umum saya termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan sikap golongan putih atau golput. Apalagi jaman sekarang setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan kita mengembangkan demokrasi maka demokrasi di Indonesia ini masih perlu di konsolidasikan.

Untuk konsolidasi itulah maka warga negara mempunyai tanggung jawab untuk memperkuat demokrasi. Oleh karena itu menurut saya meskipun bisa saya pahami kenapa orang bisa menjadi golput tapi golput merupakan sikap yang kurang bertanggung jawab. Saya bisa memahami kenapa orang bisa golput, tapi hemat saya itu sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia.

MTI: Ketika memilih kuliah S-2 S-3 sasarannya hanya menjadi ilmuwan atau ada hal lain, sebab memilihnya ke Amerika bukan Kairo atau ke Timur Tengah?

AZA: Sebetulnya tidak terlalu terencana kuliah ke Amerika ataupun ke Mesir. Itu juga mungkin mengikuti jalan jalur perjalanan hidup saja. Meskipun dulu saya pernah aktif di kelompok diskusinya Dawam Saharjo di LP3ES waktu dia menjadi direktur di LP3IS tahun 1978, 1979 dan awal 1980. Saya sering terlibat diskusi dengan Mas Dawam terutama tema-tema tentang pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, modernisasi, kemudian juga tentang kepincangan-kepincangan pembangunan, teori-teori tentang centre dan marginal dan sebagainya, antara pusat dan pinggiran.

Kemudian kenapa ke Amerika saya kira itu kebetulan saja. Dalam pengertian, pada waktu itu Menteri Agamanya, Pak Munawir Sjadzali yang wafat minggu lalu (Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA adalah Menteri Agama tahun 1983-1993, tokoh yang lahir di Desa Karanganom, Klaten 7 November 1925, meninggal dunia 23 Juli 2004), dia kelihatannya menyadari betul pentingnya dosen-dosen IAIN yang pada waktu itu muda-muda seperti saya ini mendapatkan pendidikan khususnya pendidikan di Barat.

Rupanya Pak Munawir ini dalam pikirannya, karena Pak Munawir Sjadzali S-2-nya dari George Washington University melihat ada manfaatnya maka dia pengen dosen-dosen muda ini belajar ke Amerika. Maka kemudian melalui jaringannya dia mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan dubes Amerika pada waktu itu di Jakarta, Paul Wolfowitz yang sekarang menjadi Assisten Menteri Pertahanan. Nah, disitulah ceritanya sehingga kemudian tahu 1986 saya termasuk diantara 6 orang yang, melalui skema yang berhasil di program yang dibikin oleh Pak Munawir dengan Dubes Amerika Paul Wolfowitz.

Lima orang lainnya adalah Prof. Dr. Faisal Ismail sekarang Sekjen Departemen Agama, kedua Prof. Dr. Kodri Azizi Dirjen Kelembagaan Islam Depag, ketiga Dr. Mulyadi Kartanegara dosen di sini, keempat Prof. Dr. Din Syamsuddin Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Sekjen MUI dan dosen juga disini, kelima Dr. Toha dosen di Surabaya, dan keenam saya.

Jadi sekali lagi tidak direncanakan. Saya sering melihat apa yang saya capai itu pertama, karena koinsidensi. Koinsidensi sejarah, koinsidensi-koinsidensi di dalam perkembangan di lingkungan saya. Jadi ada koinsidensi saya tamat dari IAIN tahun 1983, menjadi dosen di sini walaupun sempat kerja di LIPI, kemudian ada Pak Munawir Sjadzali yang punya obsesi seperti itu, kemudian disini ada rektornya Prof. Harun Nasution almarhum juga punya keinginan-keinginan seperti itu. Jadi ada pertemuan-pertemuannya.

Menurut saya saya diuntungkan oleh keadaan. Saya merasa bahwa saya ini tidak pintar-pintar amat banyak orang lain yang lebih pintar dari saya tapi saya diuntungkan oleh keadaan, oleh koinsidensi-koinsidensi yang tadi itu. Misalnya ketika orang susah sekali mencari beasiswa tapi saya alhamdulillah dapat beasiswa untuk S-3 dari universitas saya sendiri. Dan itu tidak mudah untuk mendapatkan beasiswa di universitas itu, Columbia University itu merupakan salah satu universitas dari 1o universitas yang paling top di Amerika. Saya merasa koinsidensi-koinsidensi sering terjadi dalam kehidupan saya.

MTI: Tapi, koinsidensi itu masih selalu menguntungkan?

AZA: Ya, membuat saya itu mendapat banyak manfaat dan keuntungan dari situ.

MTI: Setelah pulang dari Amerika ada perubahan orientasi atau pemikiran misalnya lebih toleran, liberal, atau bagaimana?

AZA: Saya ‘kan belajar sejarah di Columbia itu. Saya punya master dua, Kajian Timur Tengah dan Bidang Sejarah, MA. Kemudian M.Sc dalam bidang sejarah juga. Dari sejarah itulah saya tidak hanya mengetahui teori-teori yang bersifat wacana-wacana spekulatif. Teori ‘kan spekulatif juga.

Tapi melihat betul secara historis apa yang aktual pernah terjadi dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia. Sehingga, itulah mungkin juga mempengaruhi cara pandang kita sehingga kita tidak bisa melihat itu secara black and white. Dalam kehidupan sosial khususnya dalam kehidupan sosial, politik, budaya, tidak bisa melihat hitam putih karena di dalam sejarah perjalanan kehidupan manusia itu banyak sekali faktor yang mempengaruhi orang untuk bertindak. Itulah mungkin yang mempengaruhi saya, seperti itu, dan saya merasa lebih konsisten dalam dunia akademis.

Nah setelah pulang saya diminta oleh Menteri Agama waktu itu, Tarmizi Taher, untuk mendirikan dan mengembangkan jurnal berbahasa Inggris Studia Islamika. Sampai sekarang saya masih Pemimpin Redaksinya. Islam di Indonesia ini kan kurang dikenal, jarang orang menulis dalam bahasa Inggris, tidak ada jurnal yang berbahasa Inggris. Jurnal ini bisa ditemukan di hampir seluruh pusat-pusat kajian tentang Indonesia dan tentang Islam di luar negeri, di perpustakaan-perpustakaan universitas dan pusat-pusat kajian di luar negeri.

Waktu ini saya hanya dibekali modal komputer butut, gedung kantor yang enggak memadai, tapi saya tetap bertahan. Sejak pulang dari luar negeri tidak pernah bekerja di instansi lain saya hanya di sini saja dari dulu. Awal-awalnya susah tapi saya punya prinsip begini, kita harus mengerjakan sesuatu itu tidak bisa setengah-setengah. Jadi harus punya komitmen, enggak bisa ini kita pegang, ini kita pegang, sehingga akhirnya semuanya enggak ada yang jadi. Jadi harus ada satu yang kita pegang terus sampai jadi.

MTI: Kalau dilihat dulu harus menulis untuk dapat menutupi kebutuhan dasar tapi sekarang malah menjadi rektor, apakah pencapaian itu sudah mencukupi?

AZA: Ya, saya sesungguhnya orang yang tidak ngoyo saya hanya ingin berbuat. Tapi, berbuat namun tidak memaksakan diri apalagi memaksakan orang lain. Jadi tahun 1993-1994 mendirikan jurnal, tahun 1994 -1995 saya ke Inggris di Oxford University ikut program Doktoral. Saya pulang ke sini, kembali lagi mengelola Studia Islamika, dan kemudian di Lembaga Riset UIN yaitu Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Apa doktor dari luar negeri terus harus memegang posisi lebih dari orang lain? Saya enggak begitu. Jadi saya tetap saja mengelola jurnal, biasa saja, enggak banyak menuntut macam-macam kepada IAIN.

Saya juga pernah menolak jabatan, ditawarin jadi ketua jurusan dan lain sebagainya saya menolak. Biarlah saya selesaikan dulu jurnal ini mungkin ini memberikan kontribusi tertentu bagi IAIN. Tahun 1997 saya diminta oleh Pak Quraish untuk menjadi PR I itu juga saya tolak dengan berbagai alasan, mungkin ada enam atau tujuh alasan untuk tidak menerima.

MTI: Tapi, kesediaan akhirnya Anda menerima jabatan Purek diangggap orang pula sebagai pertanda kesediaan menjadi calon rektor di kemudian hari?

AZA: Saya malah bilang ke Pak Quraish, salah satu alasan saya tidak menerima ini adalah takut saya kebablasan. Bukan saya saja yang kebablasan tapi orang lain juga kebablasan.

Nah orang melihat saya berbuat maksimal mungkin ada satu hasilnya, orang punya harapan akhirnya memilih saya. Jadi orang lain kebablasan memilih saya, kebablasan menaruh harapan kepada saya. Dan itu terbukti. Ketika Pak Quraish ditarik jadi Menteri kemudian ada pejabat sementara di sini yakni Prof. Achmad Sukarja menyiapkan pemilihan rektor dan kemudian saya terpilih. Bukan hanya sekali, setelah habis masa jabatan tahun 2002 dipilih lagi, kebablasan.

Hasil yang dicapai di sini ada beberapa. Pertama, kampusnya hampir seluruhnya baru, kemudian sudah berubah dari IAIN menjadi UIN yakni universitas, dan mahasiswanya dari lima ribu sekian ketika saya pertama kali menjadi rektor, sekarang sudah 17.000-an karena banyak program baru, fakultas-fakultas baru dibuka.

MTI: Apakah Anda tidak takut kebablasan akan ekspektasi masyarakat meminta Anda salah satu anggota kabinet, misalnya?

AZA: Ya, yang pertama seperti yang memang pembawaan pribadi saya bahwa saya tidak akan pernah menyodor-nyodorkan diri, memperdagangkan diri sendiri. Jadi saya harus kembali pada prinsip saya, itu biarkan saja mengalir.

Kalau memang ada orang yang melihat saya itu pantas misalnya mengerjakan sesuatu hal yang lain, ya saya akan lihat dulu apakah saya kira-kira punya kemampuan untuk mengerjakan itu. Jadi harus dilihat dulu tidak bisa dengan serta merta saya mengatakan, “Oh ya, saya bersedia.”

MTI: Tapi kalau ternyata masih ada koinsidensi tentu Anda harus loyal pada atasan?

AZA: Ya, itulah kadang-kadang saya enggak bisa berbuat apa-apa meskipun yang punya diri itu saya sendiri. Tapi pada akhirnya ternyata diri kita tidak bisa di tentukan oleh diri kita sendiri ada faktor-faktor lain. Ya, itulah yang dinamakan takdir. Ada kejadian-kejadian seperti yang tadi saya sebut historical coincidence yang tidak bisa dielakkan. Meskipun kita mengelakkan tapi enggak bisa karena berbagai-bagai faktor.

MTI: Sepertinya Anda seorang yang persfeksionis sehingga tidak begitu saja menerima tugas kepercayaan orang?

AZA: Ingin sesuatu itu terbaik, gitu, perfek bukan seratus persen sempurna. Saya juga memahami kalau orang-orang punya kekurangan. Jadi kepada mahasiswa S-1, S-2, maupun di S-3 kalau saya bersikap perfeksionis maka mahasiswa saya itu banyak yang enggak lulus atau nilainya jelek-jelek.

Jadi, anda lihat kampus ini bersih, rapi, dan lain sebagainya itu karena saya ingin yang terbaik. Memang belum sempurna di sana-sini. Itulah yang saya bilang dengan konsistensi, tidak setengah-setengah. Jadi, saya masih suka keliling lihat kebersihan, mencontohkan kepada karyawan bagaimana seharusnya kebersihan itu.

MTI: Ketika dahulu menerima jabatan Rektor ada kondisi-kondisi yang Anda ajukan sebagai prasyarat. Bisa dijelaskan apa saja perubahan lain yang sudah terjadi?

AZA: Ya, waktu saya diangkat menjadi rektor kemudian melakukan pertemuan pertama dengan senat, saya bilang saya enggak menjanjikan apa-apa tapi mari kita sama-sama. Itu yang pertama, dan yang kedua, mari kita bermimpi. Kita harus berani bermimpi.

Dari mimpi yang besar itulah kemudian nanti yang kita coba wujudkan secara bersama-sama. Kita harus berani bermimpi. Bermimpi saja enggak berani apalagi melakukan sesuatu. Jadi, itu saja kata kuncinya. Ya, memang membangkitkan etos, mendorong memiliki inner driver, dorongan dari dalam.

Alhamdulillah pembangunan kembali kampus ini sudah selesai. Kita punya kampus di sini Kampus I dan Kampus II. Kita punya fakultas-fakultas yang semakin kompetitif, tidak mudah masuk. Beberapa jurusan sangat kompetitif, seperti Psikologi hanya 1 dari 10 yang mendaftar yang diterima. Kemudian jurusan Teknologi Informatika hanya 1 dari 15 pendaftar yang bisa diterima.

Total mahasiswa sekarang 17. 000-an. Terus fakultas terakhir adalah Fakultas Kedokteran, belum semua jurusannya ada. Yang baru menerima mahasiswa tahun ini adalah jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, peminatnya juga besar. Kita hanya terima 80 tapi yang daftar dekat-dekat 1.000. Itupun baru satu jalur penerimaan yaitu SPMB lokal belum yang nasionalnya. Dalam waktu dekat juga akan dibuka Jurusan Farmasi. Juga dalam waktu yang tidak terlalu lama Jurusan Ilmu Kedokteran dan Ilmu Keperawatan.

MTI: Calon mahasiswa itu menurut pengamatan Anda sudah merupakan siswa terbaik di sekolah asalnya?

AZA: Ya siswa terbaiklah, kalau tidak siswa terbaik mereka tidak akan bisa masuk ke situ. Susah mereka masuk. Terbaik karena sangat kompetitif.

MTI: Kalau boleh tahu, masih adakah mimpi baru Anda tentang kampus ini?

AZA: Sekarang mimpinya sebagian sudah terlaksana. Mimpi kita sekarang adalah membuat salah satu fakultas kedokteran yang terbaik di Indonesia ini. Oleh karena itu kita sekarang sedang merancang fakultas kedokteran yang juga memiliki rumah sakitnya sendiri, rumah sakit universitas dengan laboratorium yang lengkap dan lain sebagainya.

MTI: Mimpi yang lain?

AZA: Enggak ada mimpi yang lain, sementara ini enggak ada. Alhamdulillah karena mimpinya sebagian besar sudah menjadi kenyataan, jadi tinggal sedikit lagi.

M

Dengan nama IAIN terkesan ekslusif setelah menjadi Universitas Islam Negeri sudah mulai inklusif?

 

AZA: Ya, kita inklusif. Universitas ini inklusif meskipun ada nafas Islamnya, ya. Tapi ini universitas yang terbuka, negeri, terbuka untuk siapa-siapa. Yang beragama lain ada di sini sekarang. Kalau di Pasca itu ada calon pastor ada calon pendeta mengambil kuliah di sini. Di S-1 juga ada orang Kristen.

Dan kita punya kerjasama dengan dunia internasional. Mahasiswa-mahasiswa asing juga semakin banyak. Baru dua hari yang lalu kita terima surat dari sebuah perguruan tinggi di Malaysia mengirim mahasiswanya kesini 18 orang. Juga kita punya kerjasama program internasional dengan universitas-universitas luar. Karena saya percaya semua universitas di Indonesia ini bisa maju bisa terangkat ke tingkat internasional kalau kita kerjasama dengan dunia internasional. Kalau kita eksklusif tidak akan bisa maju.

MTI: Anda menggagas pemikiran demikian masih terkait dengan latar belakang studi historikal tadi?

AZA: Saya ‘kan pada dasarnya bukan orang birokrat. Sejak saya di sini menjadi rektor, anda boleh lihat hampir tidak ada orang yang berpakaian safari di sini. Saya sendiri tidak pernah punya sepotong pun pakaian safari sampai sekarang. Kenapa begitu? Karena safari itu adalah simbol birokrat. Birokrasi itu tidak cocok di universitas. Meskipun birokrasi diperlukan tapi kita tidak boleh menjadi seorang birokrat. Jadi simbol-simbol yang seperti itu enggak.

Saya juga pada dasarnya melarang memanggil saya Pak Rektor. Panggil nama saya saja. Jadi, jangan panggil nama saya Pak Rektor. Orang sini memanggil saya Pak Edi, atau Pak Azra, atau Pak Mardi, atau kak Edi, bang Edi. Kecuali sedang dalam memimpin rapat resmi tidak enak maka panggil saya Pak Edi. Saya di rumah itu dipanggil Edi. Kalau tetangga saya memanggil saya Pak Mardi.

Jadi, saya selalu bilang kita ini bolehlah jadi pegawai negeri tapi kita harus meninggalkan budaya pegawai negeri yang tidak sehat misalnya birokratis, selalu struktural, atau juga budaya pegawai negeri itu tidur siang. Makanya, sejak saya jadi rektor jam kerja saya itu mulai 7:30 sampai jam 16:00.

MTI: Apakah bersikap tidak birokratis itu sebab ketika mahasiswa Anda suka turun ke jalan?

AZA: Ya, kalau turun ke jalan itu saya kira sifat mahasiswa seperti itu, dimana-mana juga mahasiswa harus seperti itu. Tapi, tentu saja dengan pertama harus berpikir yang rasional tidak anarkis. Sebab kalau mahasiswa anarkis itu tidak cocok sebab mahasiswa itu memberi kekuatan moral. Mahasiswa harus memberikan contoh bagaimana orang yang terdidik menyampaikan pandapatnya, mengeksposkan ketidaksukaannya terhadap sesuatu hal. Dan itu harus disampaikan dengan cara yang santun yang beradab.

Jadi, menurut saya sangat penting kelompok-kelompok moral manapun dia harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral kalau tidak dia akan kehilangan hak moralnya. Kita tidak bisa mengatakan stop korupsi sedangkan kita sendiri korupsi, itu tidak bisa. Jadi ada satu konsekuensi di situ.

MTI: Kontribusi pemikiran Anda terhadap masa depan bangsa ini sangat dibutuhkan terutama pasca pemilihan presiden, dimana akan ada kepemimpinan baru dan dengan bangunan demokrasi yang baru?

AZA: Ya, saya kira memang siapapun yang jadi presidennya, agenda-agenda yang masih tersisa perlu menjadi prioritas yakni penciptaan good governance, pemerintahan yang baik. Good governance yang tentu saja pemerintahan yang bersih, kemudian betul-betul memiliki komitmen untuk pemberantasan KKN, komitmen untuk penegakan hukum. Saya kira agenda-agenda seperti ini yang belum selesai masih jauh dari harapan.

MTI: Pemikiran apa yang bisa Anda sumbangkan untuk masa depan bangsa?

AZA: Ya, selama ini juga saya sudah memberikan banyak sumbangan ya, atau paling tidak mengungkapkan hal-hal seperti kita perlu tadi sebagai kaidah. Menciptakan good governance, melakukan konsolidasi demokrasi, menegakkan hukum, melakukan rekonsiliasi diantara berbagai elemen bangsa, memulihkan kembali harkat dan martabat bangsa karena citra bangsa kita ini terpuruk di depan mata internasional, bagaimana kita melihat perlakuan orang-orang asing terhadap para TKW kita di berbagai negara, misalnya di Singapura, di Hongkong.

Indonesia itu bangsa yang besar. Menurut saya salah satu tugas dari kepemimpinan nasional masa depan adalah memulihkan kembali harkat dan menumbuhkan kembali proud sebagai bangsa Indonesia. Saya menganggap Indonesia ini terlalu lama menjadi sleeping giant menjadi raksasa yang tidur. Jadi, salah satu tugas pemimpin itu adalah membangkitkan harga diri memberikan semangat terus menerus.

Jadi kalau pemimpinnya sudah terus mengeluh di depan publik bagaimana negara ini bisa maju, memiliki kebanggaan. Menumbuhkan kebanggaan ini menurut saya juga salah satu yang sangat penting. Karena kalau kita sudah memiliki kebanggaan saya kira kemudian itu bisa menjadi inner driving force, menjadi kekuatan pendorong dalam diri kita untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.

MTI: Salah satu pilar menuju itu pendidikan?

AZA: Oh ya jelas, pendidikan jelas merupakan salah satu kuncinya, kunci pokoknya itu. Jadi pendidikan harus diberikan perhatian yang lebih besar. Kuncinya adalah perbaikan nasib guru, pembenahan kurikulum dan penyediaan fasilitas.

Yang saya kira kuncinya adalah perbaikan kesejahteraan. Tapi peningkatan kesejahteraan saja enggak cukup kalau tidak ada penegakan hukum. Oleh karena itu saya kira pemerintahan yang akan datang punya kewajiban untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, pegawai negeri khususnya pejabat-pejabat. Tapi juga harus dijelaskan oleh siapapun presidennya, kalau dia masih macam-macam dengan gaji yang sudah layak akan ditindak. Tapi jangan dibandingkan dengan menteri-menteri Singapura misalnya, enggak bisa dibandingkan.

Tapi kalau kebutuhan-kebutuhan pokoknya sudah bisa terpenuhi masih juga melakukan hal seperti itu, kepemimpinan nasional harus punya keberanian menindak itu, menterinya, atau siapa saja, terutama pejabat-pejabat tinggi. Pejabat tinggi ini apa sih yang dibutuhkan lagi, fasilitas sudah dapat. Kalau mobil tinggal naik tidak pernah memikirkan bensinnya. Yang memikirkan bensinnya ‘kan masyarakat, tapi setelah itu masih korupsi juga. Kalau kepemimpinan nasional tidak berani menuntas kerakusan itu saya kira akan semakin rusak negara kita ini.

MTI: Untuk mengembalikan harkat dan martabat, Anda punya mimpi cara mengatasinya?

AZA: Ya. Yang pertama harus sering-sering diungkapkan bahwa bangsa kita ini bangsa yang besar, bangsa yang berharkat, bangsa yang punya sejarah yang membanggakan di masa lalu.

Kita merdeka bukanlah pemberian orang lain tapi kita betul-betul merebut kemerdekaan itu dengan darah dan air mata. Dan ini harus diingatkan secara terus menerus. Itu tugas dari kepemimpinan nasional. Jadi kita harus terus bilang begini, saya dalam skala yang terbatas di sini di Universitas Islam ini mengatakan, kita harus jangan sampai memiliki mental pecundang, mental orang kalah, atau psychology of the loser, psikologi orang pecundang orang kalah.

Saya sering bilang, memang selalu orang bilang kalau dalam penelitian kita ini kalah dengan Malaysia. Akhirnya lama-lama memang psikologi kita psikologi orang kalah. Nah, kita di UIN ini setiap tahun kedatangan tamu dari Malaysia minta bekerjasama, mengirim mahasiswanya ke sini tidak hanya dalam ilmu-ilmu agama tapi juga dalam ilmu-ilmu yang lain.

Jadi, kita harus memiliki psychology of the winner psikologi orang menang. Misalnya psikologis kita adalah psikologis kalah, pecundang, lama-lama kita memang jadi pecundang. Tidak pernah jadi pemenang. Jadi tugas kepemimpinan nasional itu membangkitkan kebanggaan kita harkat kita.

MTI: Salah satu pusat pendidikan Islam terpadu yang kini menjadi phenomenal adalah Kampus Ma’had Al-Zaytun di Indramayu yang menggagas ide perdamaian dan toleransi. Namun agaknya UIN Jakarta tak kalah phenomenal sebab berada di tengah kota dengan 17.000 lebih mahasiswa dan masih mempunyai kesempatan berkembang lebih besar?

AZA: Kita juga seluruhnya dalam bahasa yang lain begitu. Yang kita rumuskan sebagai visi dan misi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di sini ini adalah mengintegrasikan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Jadi kalaupun kita orang Islam, Islamnya itu adalah Indonesia bukan Islam di Arab dan macam-macam itu.

Ekspresi kulturalnya adalah ekspresi kultural yang Indonesia.

Jadi, kita jangan membuat dikotomisasi terhadap Islam pada satu pihak dengan Indonesia pada pihak lain. Kecintaan kita terhadap Islam tidak mengurangi kecintaan kita terhadap Indonesia, itu yang ingin kita realisasikan di sini. Dan juga begitu, kecintaan kita kepada keindonesiaan juga tidak mengurangi kecintaan kita kepada kemanusiaan. Jadi, karena keindonesiaan itu juga tidak eksklusif milik orang Islam, di dalamnya juga ada orang-orang lain yang non muslim dan sebagainya, maka kemudian kecintaan kita kepada keindonesiaan sama dengan kecintaan kita juga kepada kemanusiaan yang universal.

Jadi itu yang kita rumuskan dalam visi di universitas ini. Secara subtantif, saya kira tidak banyak beda dengan apa yang dirumuskan oleh Pak Panji Gumilang.e-ti/ ht/ms

Tokoh Terkait: Azyumardi Azra, | Kategori: Wawancara | Tags: Islam, pembaharu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini