Pikirkan Indonesia 50 Tahun ke Depan

 
0
650
Pikirkan Indonesia 50 Tahun ke Depan
e-ti | sc

[WAWANCARA] Prof Dr Hasjim Djalal sebagai seorang diplomat senior dan tokoh hukum laut internasional punya andil besar dalam proses mewujudkan pengakuan dunia atas Indonesia sebagai suatu negara kepulauan (archipelagic state). Dalam rangka Tahun Emas Deklarasi Djoeanda dan Hari Nusantara 13 Desember 2007, kami mewawancarainya.

Kepeloporan Perdana Menteri Insinyur R. Haji Djoeanda Kartawidjaja, yang memaklumatkan Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957 sebagai klaim sepihak bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state), yang dianggap melanggar hukum-hukum internasional yang sedang berlaku pada saat itu sehingga memperoleh tentangan dari banyak negara besar, sudah menjadi catatan khusus dalam sejarah emas perjalanan bangsa Indonesia.

Djoeanda tak sempat menyaksikan bagaimana gagasannya menjadi sebuah kecenderungan internasional terutama bagi negara-negara kepulauan di seluruh dunia. Sebab tak lama kemudian, pada tanggal 7 November 1963 dia meninggal dunia.

Tetapi ternyata ada dua tokoh bangsa yang kemudian gigih melanjutkan cita-cita Djoeanda, untuk memperjuangkan Deklarasi Djoeanda sebagai ketetapan hukum di jagat internasional. Keduanya merupakan pakar hukum laut internasinal, yakni Prof. Dr. Moochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal.

Setelah dimaklumatkan pada tahun 1957, barulah 25 tahun kemudian bangsa-bangsa di dunia bersedia mengakui klaim Indonesia sebagai negara kepulauan, setelah ditetapkan Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut atau 2th United Nation Convention on the Law of the Sea, pada tahun 1992.

Cukupkah sampai di situ? Ternyata belum. Kedua pendekar hukum laut internasional yang dimiliki Indonesia masih harus bergerilya ke banyak negara, melobi para kepala pemerintahan dan kepala negara-negara sahabat agar bersedia meratifikasi UNCLOS 1982, sebagai syarat kemutlakan pemberlakuannya di seluruh dunia.

Faktanya, barulah pada tahun 1994 UNCLOS diterima menjadi hukum internasional setelah 60 negara bersedia meratifikasinya.

Di tahun 2007 sudah 50 tahun Deklarasi Djoeanda melegenda. Tetapi visi sesungguhnya untuk menyatukan Indonesia di segala aspek kehidupan, justru semakin mengarah ke kemunduran. Para pemimpin bangsa yang pernah berkesempatan menjadi pimpinan nasional, sesungguhnya memiliki milestones tersendiri dalam merealisasi “mimpi” Djoeanda. Tetapi hasilnya tetap saja belum maksimal betul.

Upaya terbaru yang terlihat adalah penggalangan 16 Menteri Kabinet Indonesia Bersatu untuk duduk bersama dalam satu meja bundar menggelar National Ocean Summit di Jakarta pada hari Selasa 4 Desember 2007, supaya sepaham untuk melakukan percepatan pembangunan kelautan pada aspek ekonomi, lingkungan hidup, sumber daya manusia dan Iptek dan kelembagaan.

Bahkan, pada bulan Mei 2009 nanti Indonesia akan berkesempatan menjadi tuan rumah pertemuan para kepala negara dan pemerintahan dari 146 negara di dunia, serta para cendekiawan dan stakeholder lainnya, yang menggelar World Ocean Conference di Manado, Sulawesi Utara.

Advertisement

Melihat fakta kekinian setelah Deklarasi Djoeanda dicetuskan 50 tahun yang lalu, sesungguhnya terbersit, apa yang akan terjadi dengan masa depan Indonesia 50 tahun yang akan datang. Sebuah pertanyaan yang menggelitik karena lambannya bangsa ini memanfaatkan potensi kelautan yang dimiliki. Berikut petikan wawancara Haposan Tampubolon dan Saut Situmorang dengan Prof. Dr. Hasjim Djalal, Penasehat Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, yang memiliki kapastitas sebagai pakar hukum kelautan internasional di mana di sepanjang kiprahnya gigih memperjuangkan kepentingan kelautan Indonesia di forum-forum dunia.

Bapak Hasjim Djalal dikenal sebagai tokoh hukum laut internasional yang gigih melakukan lobi-lobi tingkat dunia untuk memperjuangkan visi kelautan kita. Bapak bisa menjelaskan, bagaimana posisi terbaru Indonesia di sisi geopolitik dan geostrategis dunia?

Posisi strategis Indonesia sudah sangat banyak diketahui bahwa kita sangat penting. Dalam arti letak perairannya berada di antara dua samudra dan dua benua. Payah mencari negara di dunia yang memiliki posisi seperti itu.

Permasalahan yang dihadapi bangsa kita sejak dahulu, sudah berlangsung ratusan tahun, yang pandai memanfaatkan posisi itu justru orang luar. Sampai hari ini kita tidak mampu mengambil keuntungan dari posisi yang sangat strategis itu. Yang pandai dan mampu adalah Singapura.

Singapura dalam posisi di tengah jalan mampu mengembangkan industrinya, perkapalannya dan segala macam. Kita kelihatannya belum mampu, padahal memiliki unsur-unsur yang sangat strategis. Tidak ada orang yang bisa lewat dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik tanpa melalui kita, atau dari Pasifik ke Hindia.

Itu satu poin. Yang kedua, walau keadaan kita sangat strategis, besar, banyak, dan kaya, Singapura tidak mempunyai resources karena dia kecil, tetapi karena kita kurang pandai memanfaatkan alam maka banyak dicuri orang. Sejak jaman penjajahan sudah begitu, sampai sekarang masih seperti itu juga. Kekayaan alam kita banyak tetapi tidak mampu memakmurkan rakyat.

Yang ketiga, karena kita besar, kekayaan alam banyak, akhir-akhir ini terasa kita lebih banyak merusak daripada memanfaatkannya. Seperti hutan yang hancur, laut kita juga sudah rusak. Sekarang kita menghadapi terumbu karang yang rusak. Karena tidak paham, kita menganiaya alam. Maksudnya mungkin tidak untuk menganiaya, tapi begitulah yang terjadi.

Permasalahannya pada ketidakmampuan atau desain pembangunan kita salah?

Kita kurang mampu. Tapi ada faktor lainnya, faktor kekuatan juga faktor kelemahan. Kelemahan ini masih kurang kita fahami.

Kelemahan pertama, kita negeri kepulauan yang mempunyai pantai, laut dan poros. Poros artinya laut yang “berlobang-lobang”, yang bisa dimasuki infiltrasi orang lain. Oleh karena itu kita melihat kejahatan terjadi tanpa mampu kita kontrol. Ada pabrik narkoba terbesar di dunia yang letaknya di celah-celah pantai selatan laut Jakarta. Sulit membayangkan di negeri yang jutaan penduduknya orang bisa membuat pabrik narkoba.

Yang kedua, dari semula kita sudah mengatakan kemakmuran hanya bisa kita capai melalui persatuan. Kesatuan dan persatuan adalah tema utama Indonesia sejak merdeka. Sejak jaman kolonial kita tidak ada kesatuan dan persatuan. Dengan demikian orang luar yang datang ke negeri ini dengan gampangnya mengadudomba. Bukan kita yang bersatu menghadapi orang luar, tapi orang luar memanfaatkan posisi kita, kedudukan kita, dan kekayaan alam kita. Dulu pulau ini bertengkar dengan pulau ini, etnis ini dengan etnis ini berkelahi.

Kita berusaha menghilangkan itu lewat Deklarasi Djoeanda. Tapi bangsa ini lupa dengannya. Sebentar kemudian mulai lagi berkelahi. Pertentangan banyak sekali antar pulau, antar suku, antar agama. Selalu ada yang berkecamuk. Kita kurang sadar hal itu tidak bisa menumbuhkan kekuatan. Tetapi justru menumbuhkan kelemahan. Inilah yang jaman dulu dipakai oleh Belanda.

Sampai sekarang, metode adu domba masih berlangsung?

Masih. Walaupun sekarang saya tidak tahu siapa yang menghasut. Tetapi dimana-mana orang kita masih bertengkar.

Menurut penilaian Bapak selaku sesepuh bangsa, isi Deklarasi Djoeanda secara kejiwaan apakah sudah tercapai?

Secara visi kejiwaan itu bagus. Tapi keresapan kejiwaan itu yang sejak dulu sudah pahit, sampai sekarang ada gejala sudah tidak baik. Sekarang sudah dikembangkan lagi dengan sistem yang baru yang belum tentu juga mulus. Cuma cara pengembangannya kita belum memahami sehingga pertentangan menonjol-nonjol lagi.

Dalam bentuk apa dia menonjol, semangat kedaerahan yang berlebih-lebihan, semangat keagamaan satu dengan yang lain saling bertengkaran, semangat kesukuan begitu juga. Padahal itu yang selama ini mulai kita tenangkan.

Sekarang antar pulau mulai merasa aneh dan merasa lain. Padahal Deklarasi Djoeanda mencoba untuk mempersatukan pulau-pulau. Laut dianggap sebagai penghubung.

Adakah Deklarasi Djoeanda mengandung visi ekonomi?

Ada, visi ekonominya. Sekarang, tanya saja kepada kawan-kawan, apakah visi ekonomi pertumbuhan yang besar dapat terjadi dengan perpecahan yang mengecil-ngecil.

Setahu saya, sewaktu masih sekolah, economic size sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Misalnya di sini ada perusahaan-perusahaan kecil. Kalau dia mau menjadi besar harus bersatu. Tapi yang terjadi di Indonesia tidak itu.

Perusahaan yang besar dibagi-bagi. Jadi secara teoritis economic size membawa pertumbuhan. Kita justru ke arah pengecilan-pengecilan dalam istilah pemekaran.

Contohnya, Eropa Barat dulu secara keseluruhan pecah tapi sekarang bersatu. Malah Eropa Timur ada yang masuk sehingga terdapat 25-26 negara bersatu dalam Uni Eropa. Kita satu negara yang dulu hanya 27 provinsi, sekarang entah sudah berapa provinsi. Yang kabupatennya dulu puluhan sekarang mungkin sudah ratusan.

Dari segi pemanfaatan ekonomi sumber daya alam laut, bagaimana komentar bapak?

Kalau resources-nya dikembangkan dengan cara membagi-bagi tentu economic size-nya akan hilang. Padahal misinya siapa yang paling mampu mengerjakan. Hasilnya saja yang bisa dibagi-bagi. Tapi kalau prosesnya yang dibagi-bagi, susah.

Sama dengan orang yang kerja keras mati-matian tumbuh dari bawah hingga menjadi besar dan kaya raya. Tetapi begitu bapaknya yang kaya meninggal tidak diteruskan, karena anak-anaknya bagi-bagi warisan. Anak yang membagi-bagi ini menjadi kecil-kecil padahal bapaknya sudah membesarkannya. bagaimana si anak yang kecil-kecil bisa tumbuh menjadi besar, kalau modalnya tidak lagi besar.

Dulu kita negara kecil sebab pernah berbentuk federal dan segala macam. Tahun 1949 pecahlah PRRI/Permesta. Pak Djoeanda bilang satu, dan dijadikannya satu sehingga kita menjadi besar kembali. Tetapi sekarang mulai dipotong lagi di sana sini.

Lemahnya pemanfaatan nilai ekonomis kelautan dapat diartikan kita belum berdaulat secara ekonomis?

Justru karena kita memotong-motong itu. Banyak asas-asas yang belum jalan. Pengelolaan resources perikanan, misalnya. Sekarang laut dibagi sekian mil untuk daerah ini sekian mil untuk daerah itu. Akibatnya pengelolaan laut secara utuh menjadi sulit. Padahal seluruh dunia sekarang berbicara mengenai pengelolaan yang berbasis ekosistem demi menjaga sustainabilitasnya. Ekosistem tidak berdasarkan bagi-bagi wilayah. Ekosistem berdasarkan resources, dia tidak tahu batas wilayahnya.

Kalau begitu, persoalan apa sesungguhnya sedang dihadapi bangsa ini di lapangan?

Rasa kesatuan yang dulu kita tonjolkan dan perjuangkan sekarang menjadi berkurang. Dulu pejuang kemerdekaan mempunyai cita-cita untuk kepentingan bangsa dan negara. Sekarang lain, saya dulu, kepentingan daerah saya dulu. Mental pejuang kemerdekaan kita dulu, Indonesia yang penting makmur, masuk penjara pun mau kalau perlu dibuang pun mau. Idealisme berfikirnya jangka panjang. Sekarang tidak begitu lagi. Pokoknya saya terpilih dulu lima tahun setelah itu terserah Tuhan.

Jika demikian masihkah relevan Deklarasi Djoeanda?

Menurut saya sangat relevan sekali. Sebab eranya bisa berubah tapi persoalan pokoknya masih tetap sama. Kalau kita melupakan esensi pokoknya kita celaka. Deklarasi Djoeanda ide pokoknya mempersatukan bangsa. Beliau tidak melihat laut Jawa, Sulawesi, Maluku sebagai laut bebas. Tidak gampang memperjuangkan itu. Seluruh dunia ketika itu memprotes. Tapi beliau melihat itu sebagai salah satu yang harus diperjuangkan dengan sabar, dan bertahun tahun. Itu dari sisi kesatuan bangsa.

Dari segi lain, resourses, Deklarasi Djoeanda pada dasarnya memperluas kekayaan alam Indonesia untuk keperluan bangsa Indonesia

Menurut Bapak, bagaimana meredefenisi Deklarasi Djoeanda?

Cerita saja panjang lebar kepada para pemimpin kita. Saya yakin pemimpin kita sadar kegunaannya yaitu untuk kesatuan bangsa, pembangunan bangsa, dan memperluas sumber daya alam. Tapi mereka kemungkinan tergoda dengan kepentingan-kepentingan jangka pendek sehingga tidak menekankan jangka panjang.

Aktualisasi Deklarasi Djoeanda yang visioner itu masih jauh ke depan. Makanya saya sedang mikir-mikir, pada tahun 1945 kita memproklamirkan kemerdekaan dengan wilayah nasional sebagaimana dimiliki Hindia Belanda 3 mil dari pantai, sehingga laut-laut itu bukan laut nasional kita. Tetapi Djoeanda menjadikannya menjadi laut nasional. Itu sangat visionaris.

Coba kita pikirkan. Setelah 50 tahun Deklarasi Djoeanda, ke mana bangsa kita mau pergi. Pada tahun 1957 penduduk Indonesia masih sekitar 80 juta jiwa, sekarang 240 juta jiwa. Untuk 50 tahun yang akan datang ke mana mau kita bawa lagi bangsa ini. Djoeanda dulu membawanya kepada Kesatuan Nusantara.

Nanti setelah kekayaan alamnya habis, demikian pula hutannya, ikannya, terumbu karangnya, pemikir-pemikir kita sudah harus mulai belajar dari Pak Djoeanda untuk memikirkan masa depan bangsa 50 tahun yang akan datang.

Jika demikian halnya, kebijakan apa yang harus diambil bangsa Indonesia?

Kita inventarisir kekayaan laut kita, seperti ikan. Ikan tidak bisa berkembang kalau tidak sustainable. Kalau ikan terlalu banyak diambil, kalau diambil telurnya, anaknya, maka dia tidak bisa berkembang. Karena itu harus ada cara-cara pengambilan ikan yang benar.

Merupakan isu besar di dunia perikanan menjamin sustainabilitas sehingga anak-anak ikan tidak diambil, ikan yang sedang bertelur tidak diambil. Bagaimana mengambil ikan pada waktu yang tepat, jumlah berapa boleh diambil.

Perikanan harus dikaitkan dengan yang lain. Beda dengan mineral di situ saja dia. Sedangkan ikan lari. Banyak ikan di Pasifik, Samudra Hindia, bertelurnya di Indonesia setelah itu keluar lari ke Afrika atau kemana-mana.

Harus ada kemampuan kita mengelola perikanan secara regional dan internasional. Kita harus ikut aktif dalam RFMO, Regional Fisheries Management Organization. Di sekeliling kita ada organisasi itu. Celakanya Indonesia tidak ikut. Alasannya tidak punya duit.

Secara khusus mengenai Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang menjadi penghela kemajuan kelautan dan perikanan kita tetapi anggarannya hanya Rp 3,5 triliun. Apa komentar Bapak?

Departemen ini sudah capek teriak-teriak. Sekarang kan model demokrasi, reformasi, tidak boleh satu departemen saja ambil kebijakan. Jadi harus terkait dengan departemen lain. Itu tadi, baru satu masalah ikan. Kemarin di Cilacap penangkapan ikan turun menjadi 80 persen karena alam.

Kedua sumber daya migas, timah dan lain-lain. Yang saya pertanyakan, apa dan berapa nilainya serta dimana kekayaan mineral dasar laut itu berada. Di perut bumi yang kita tahu cuma migas karena itu cepat menghasilkan duit. Tapi tidak tahu dimana ada emas, berlian dan sebagainya. Timah, kita tahu ada di perairan Bangka Belitung, Pulau Singkep. Di tempat-tempat lain apa lagi yang ada. Itu, prospek masa depan yang sekarang belum kita ketahui benar.

Peluang mengelola sumberdaya alam cukup besar, mengapa kebijakan umum kita belum mengarah ke sana?

Kalau mineral bukan unsur DKP, tetapi departemen lain. DKP hanya ikan, kalau tambang urusan lain lagi. Yang sudah diketemukan adalah migas, tapi sudah hampir habis, bahkan kita sudah net importir sekarang.

Yang ketiga, mencari energi dari laut, misalnya memanfaatkan arus laut untuk membangkitkan listrik, memanfaatkan ombak untuk listrik. Di Sumbawa, pernah dicoba memanfaatkan OTEC, Ocean Thermal Energy Convertion. Jadi, perbedaan suhu air di udara dengan air di bawah kalau disalurkan bisa membangkitkan listrik. Pernahkah dipikirkan memanfaatkan ombak yang begitu banyak, seperti di pantai Utara Jawa pasang naik pasang surut.

Mungkin ketersediaan sumber daya manusia kita yang berorientasi ke laut masih sangat kurang?

Mungkin juga. Saya berfikir, filosofi pembangunan kita berbeda dengan negara lain. Contoh Cina, menjadi negara besar yang cepat maju dengan cadangan devisa 1,2 triliun dollar AS. Dasar pembangunan Cina berpegang pada ajaran Mao Tze Tung pada tahun 1970, atau 30 tahun yang lalu.

Empat pokok pembangunan Cina adalah modernisasi pertanian; modernisasi industri; mempunyai science dan technology; dan modernisasi pertahanan. Mereka tidak pernah mikirkan laut selama zaman Mao Tse Tung. Yang dipikirkan adalah darat dengan long march-nya. Barulah setelah Mao meninggal, Cina mengembangkan visi kelautan.

Modernisasi apa yang kita lakukan? Dulu, pernah ada penghargaan dari FAO. Sekarang di mana pertanian kita?

Perindustrian kita pernah disebut “Macan Asia”, setelah reformasi kemudian hilang. Science and technology di era Habibie disebut teknologi lompat katak, kalau jalan terus tidak sampai-sampai sehingga melompat-lompat.

Mungkin, kita perlu mereview filosofi pembangunan jangka panjang yang menjadikan Wawasan Nusantara sebagai basis. Di sinilah saya menghargai Deklarasi Djoeanda itu.

Menurut Bapak, berarti, dalam konteks itu sangat diperlukan kehadiran perguruan tinggi kelautan seperti Insitutut Kelautan Indonesia?

Ya, sesungguhnya dari dulu saya sudah bicara mengenai hal itu tetapi tidak jadi-jadi juga. Sekarang pendidikan tinggi berserak. Dalam arti perikanan lain, pertambangan lain, satu sama lain tidak ada hubungannya. Menurut saya harus ada visi yang jelas berfikir masa depan yang jauh. Kita harus berfikir mengenai bangsa dan negara ini secara keseluruhan. Sebab itulah tema pokok Deklarasi Djoeanda. mti Pewawancara: Haposan Tampubolon, Saud Situmorang, dan Amron

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: Hasjim Djalal, | Kategori: Wawancara | Tags: deklarasi, djoeanda

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here