
[WAWANCARA] – WAWANCARA: Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, SH, seorang pemimpin berusia muda (37 tahun) punya visi membangun Purwakarta Berkarakter berbasis religi dan kearifan lokal. Dan untuk mewujudkannya, ia menggariskan kebijakan strategis Sembilan Langkah Menuju Digjaya Purwakarta.
Untuk lebih mengenal dan mendalami pikiran, kebijakan dan program-programnya, Wartawan Tokoh Indonesia dan Berita Indonesia, mewawancarainya Oktober 2008 di ruang kerjanya, Kantor Bupati Purwakarta. Kantor itu termasuk bangunan tua yang dibangun Belanda dulu. Konstruksinya kokoh dan tinggi. Jendelanya pun lebar dan tinggi. Jendela itu sengaja dibiarkan terbuka lebar, supaya sirkulasi udara lancar. Sehingga tidak perlu memakai pendingin ruangan. Bahkan lampu listrik pun tidak perlu dinyalakan, karena ruang kerjanya itu cukup terang dengan jendela terbuka tersebut.
Dia kelihatan sangat bersahaja. Memakai topi hitam kebanggannya. Semua pekarangan Kantor Pemerintah Kabupaten Purwakarta itu pun dibebaskannya dari kenderaan bermotor. Tidak boleh ada yang parkir di situ. Hal itu, sengaja dilakukannya dengan tujuan mendorong para staf dan karyawan serta warga masyarakat lebih menikmati naik sepeda atau jalan kaki.
Saat wawancara, ia pun sangat lepas, luwes dan cerdas. Jika tidak berulangkali diberi kode dengan menunjuk arloji oleh Kabag Humasnya Ibu Nina Meinawati, yang mendampinginya, percakapan dengannya akan terus mengalir cerdas hingga beberapa jam. Padahal, ia masih punya agenda yang lain, di samping puluhan tamu masih menunggunya. Berikut petikan wawancara dengan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, SH.
Anda seorang pemimpin muda, berusia 37 tahun. Sebelum terpilih menjabat Bupati Purwakarta, sudah lima tahun menjabat Wakil Bupati. Tampaknya Anda berpotensi jadi Obama Indonesia. Kini, sebagai Bupati, mau seperti apa Purwakarta ini dalam pikiran Anda?
Saya ingin selalu mengembangkan sesuatu itu berdasarkan potensi yang dimiliki atau berdasarkan karakter yang dimiliki. Purwakarta, punya beragam karakter. Dari mulai karakter masyarakat industri, karakter sebagai masyarakat pertanian, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Termasuk di dalamnya adalah perikanan, perkebunan, kehutanan dan berbagai potensi yang dimiliki. Termasuk potensi-potensi yang bersifat identiti lokal masyarakat. Misalnya, kemampuan untuk membuat gerabah atau keramik, kemampuan untuk membuat makanan yang punya citra rasa Purwakarta.
Nah, kerangka itulah yang ingin dikembangkan. Karena, tidak ada kekuatan untuk membangun sebuah bangsa kecuali berasal dari kekuatan bangsa itu sendiri. Kekuatan bangsa sebenarnya kan kekuatan kultur wilayahnya. Kekuatan kultur wilayahnya ditopang oleh kekuatan manusianya. Sehingga menurut saya, setiap orang harus terintegrasi dengan potensi di sekitarnya. Nah, inilah yang ingin dikembangkan. Dalam sisi idealisme, ini sebenarnya sebuah kerangka berpikir jangka panjang yang tidak mungkin dicapai dalam waktu lima tahun. Tetapi obsesi saya adalah meletakkan kerangka dasar yang kuat.
Karena selama ini, ketika memimpin sebuah daerah, kebanyakan ingin membuat yang instan saja dan berpikirnya dalam parameter lima tahun atau parameter sepuluh tahun. Saya tidak. Saya ingin membangun parameter jauh lebih ke depan dengan memanfaatkan waktu yang lima tahun ini membuat fondasi yang kuat tentang Purwakarta. Karena dengan kekuatan itulah kita akan mempunyai daya tahan.
Di dalam hidup ini, setiap manusia yang punya integrasi dengan lingkungannya, punya integrasi dengan alamnya, maka dia sangat kebal terhadap penyakit. Ini yang ada dalam frame berpikir saya tentang pembangunan. Jadi kalau pembangunan bisa mengintegrasikan diri dengan seluruh potensi dirinya maka akan sangat kuat daya tahannya terhadap krisis global.
Sebuah pikiran yang sangat mendasar. Jadi Anda mau membangun daerah ini dengan karakter, kemampuan dan potensi sendiri?
Karena begini, saya melihat ya, waktu tahun 1997-1998-1999, kita mengalami krisis yang begitu kuat. Ternyata krisis ini sangat terasa kekuatannya, kemudian hantamannya bagi mereka yang membangun kekuatan industri, membangun kekuatan pertanian dengan modal pinjam tanpa ada kekuatan potensi diri yang dimiliki. Sehingga banyak bank yang tidak likuid, banyak perusahaan yang tidak mampu lagi bersaing kemudian bangkrut. Banyak industri-industri sektor riil yang tidak bisa lagi memperoleh pinjaman dari perbankan.
Tapi, bagi mereka kaum petani, para pedagang kecil, industri-industri kecil, dari mulai indusri makanan, sampai pakaian dan kerajinan, tetap mempunyai ketahanan yang kuat. Mereka memang goyah tetapi kegoyahan itu tidak menghancurkan. Artinya, hanya oleng sedikit. Saya selalu ngomong, beberapa kali, misalnya Purwakarta dihantam oleh badai perubahan sistem keuangan, tetap saja tukang puyeh masih tetap bertahan sampai sekarang. Tetap saja yang namanya tukang simping masih bertahan. Tetap saja para pedagang tradisional itu masih bertahan. Tetap saja ternyata pasar-pasar tradisional masih bisa bertahan dengan kuat. Ternyata, sebenarnya itulah yang kita miliki, daya tahan ekonomi informal ini. Negara-negara maju itu sangat sulit menghadapi krisis. Kenapa? Karena negara-negara maju, seluruh sistem keuangannya itu menggunakan sistem yang digital. Semuanya terkontrol dengan kekuatan digital. Sehingga ketika sistem digitalnya kena sebuah penyakit, maka semua terjangkit penyakit.
Indonesia, itu kan, dalam dunia kesehatan sendiri tidak hanya dunia kesehatan medik tetapi banyak yang nonmedik. Bahkan yang nonmedik ini kadang-kadang sangat dipercayai oleh mereka yang sangat paham terhadap medik. Dalam sistem ekonomi juga saya lihat, yang punya kekuatan fundamental adalah ekonomi nonformal yang tidak bisa dikontrol oleh kekuatan perbankan. Begitu kuat, peredarannya juga sangat sulit diprediksi, sehingga hantaman krisis apa pun tetap dia punya daya tahan dan tetap berjalan.
Ini sebuah keunggulan. Yang kalau dalam sistem perang, dulu kita dalam sistem perang konvensional, kita kalah. Tapi ketika kita memasuki perang gerilia, kita memiliki kekuatan yang begitu besar, kuat dan sulit dikalahkan. Berangkat dari metodologi itu, sehingga kultur kita ini sama dengan Vietnam. Jadi, kita harus belajar terhadap keberhasilan Vietnam hari ini. Karena, berangkat dari situlah dia membangun kekuatan kebangsaannya. Jadi kita harus belajar.
Artinya, kalau itu dipedomani oleh pemimpin bangsa ini, kita akan kuat. Tapi, langkah-langkah konkrit untuk itu, apa yang akan Anda gerakkan?
Kita melihat dan membuka dulu lembaran Purwakarta. Dalam hal ini, saya cenderung mengembalikan Purwakarta pada habitatnya, pada karakteristik wilayahnya. Karakteristik wilyahnya harus senantiasa dijaga dan diriksa kalau dalam bahasa seharian.
Dalam bahasa saya itu, ‘laksadariksa lemburkula raharja ning bangsakula’. Artinya, memelihara kampung itu sebenarnya membangun kejayaan bangsa. Nah, kita hari ini selalu bicara tentang Indonesia, bicara tentang kebangsaan tetapi kita tidak bicara tentang desa. Sehingga menjadi rapuh. Nah, saya ingin mengembangkan Purwakarta itu berdasarkan potensi-potensi itu.
Misalnya, daerah-daerah perikanan, seperti Jatiluhur, itu harus berkembang sesuai dengan kultur perikanannya. Maka sistem perikanan harus tersistem dalam kehidupan masyarakat, dimulai dari sistem pendidikannya yang harus mengarahkan anak-anak itu pada pemahaman persoalan-persoalan perikanan air tawar. Sehingga mereka ke depan menjadi sebuah kekuatan yang bisa mengelola potensi danau yang dimilikinya. Tidak seperti hari ini, kita menjadi kuli dari berbagai kepentingan ekonomi yang ada di Jakarta, Bandung dan di kota-kota besar lainnya. Ini yang harus diubah. Dan untuk itu, harus ditumbuhkan kultur kepercayaan anak-anak kita.
Kemudian, misalnya ke wilayah selatan, itu adalah daerah perkebunan, daerah hutan. Maka anak-anak ini harus dididik kembali untuk memahami bagaimana kultur teh. Bagaimana anak-anak itu memahami bagaimana menanam teh, bagaimana memetik teh, bagaimana memasarkan teh. Begitu juga misalnya sektor yang bersifat agrobisnis lainnya, palawija, sayur dan sejenisnya. Anak-anak harus dididik kembali. Dikembalikan lagi kepada habitatnya. Sekolah-sekolah harus tumbuh menjadi kekuatan yang terhabitat dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan alamnya. Kemudian juga daerah persawahan dikembalikan menjadi kekuatan. Padinya Purwakarta sebenarnya, ingin saya gagas dengan sistem organik.
Kemudian, ke wilayah utara sudah jelas kita sudah memproklamirkan diri sebagai daerah industri. Maka anak-anak harus ditumbuhkan mental memahami keragaman. Keragaman etnis, keragaman budaya. Keragaman bisa jadi keyakinan karena tumbuh menjadi daerah industri.
Sikap toleran, harus tumbuhkan etos kerja, daya saing sejak dini. Bangunnya tidak boleh lagi kesiangan. Sekolahnya tidak boleh lagi kesiangan, harus disiplin, ketat, keras. Kenapa? Karena mereka sudah memproklamirkan diri menjadi masyarakat industri. Nah, sehingga nanti mereka tidak lagi tergopoh-gopoh menghadapi persaingan dengan luar daerah, dengan luar provinsi, dengan luar negara. Karena ke depan, ada sebuah aspek global yang tidak bisa dibantah. Kita tidak bisa lagi menolak kunjungan tenaga kerja dari yang lain kalau dia memang jauh lebih berkualitas. Kita juga tidak bisa menolak kuli kasar dari negara-negara lain kalau mereka jauh lebih murah. Nah, semangat itulah yang sebenarnya harus dibangun sejak sekarang.
Kebanyakan selama ini kita ini shock. Ketika ada perubahan dari kultur masyarakat, kita tidak terbiasa dengan perubahan itu dan tiba-tiba. Ketika tiba-tiba, kita shock. Begitu kita shock, kita pingsan. Begitu kita bangun, semuanya sudah berubah. Karena itu, kita itu menjadi masyarakat yang pinggiran. Nah, ini yang harus dibangun. Pola inilah yang ingin diwujudkan di Purwakarta ini dengan sistem yang disebut dengan ‘Sembilan langkah ngawal nguna negri raharjo‘.
Sembilan langkah ngawal nguna negri raharjo, dimulai dengan membangun sistem pendidikan yang berbasis kearifan lokal. Sistem pendidikan berbasis kearifan lokal ini diharapkan mampu membangun keunggulan global, karena dengan kearifan lokal itulah keunggulan global itu bisa diwujudkan. Saya jujur saja, sangat kagum terhadap China yang dalam pergulatan ekonomi yang begitu kuat sekarang, pergulatan politik dunia, aspek global yang begitu kuat, mereka muncul dengan integritas dirinya, sehingga China menjadi sebuah negara yang sangat diperhitungkan dengan integritas ke-China-annya.
Saya juga kagum terhadap negara kecil yang namanya Iran. Di tengah-tengah tekanan dunia internasional yang begitu kuat pada dirinya, dia tumbuh menjadi orang yang mempunyai integritas diri. Punya kemapanan dalam berpikir, punya kestabilan dalam emosi, sehingga menjadi negara yang diperhitungkan.
Saya juga sangat kagum sekarang pada Malaysia sebagai reprentasi dari Melayu. Mereka tumbuh dengan kekuatan Melayunya. Nah, sehingga kalau Indonesia kan tidak bisa diidentikan dengan Melayu, karena Indonesia itu sangat beragam. Nah, bagaimana kalau identiti-identiti ini muncul dalam setiap karakter wilayah, dan semangat yang dibangun dalam setiap orang untuk tidak membangun semangat eksploitatif.
Hari ini orang selalu ingin instan, ingin menggali sumber daya alam, disebut eksploitatif. Melupakan aspek-aspek jangka panjang yang jauh lebih bermanfaat. Hari ini orang berorientasi pada uang, pada aspek-aspek yang bersifat material, padahal itu tidak menghasilkan kebahagiaan. Tetapi yang inmaterial semakin ditinggalkan, padahal yang inmaterial itulah kebutuhan esensi manusia.
Nah, sistem pendidikan perlu dibangun dengan itu. Kalau dalam bahasa saya, ‘hari ini kita hanya menyekolahkan anak di sekolah saja, tapi di jalan anak kita, tidak disekolahkan. Di rumah anak kita, tidak disekolahkan. Sehingga kita menjadikan sekolah itu menjadi berhala pendidikan. Karena menjadi berhala pendidikan, maka sekolah dianggap segala-galanya dalam mendidik anak-anak agar menjadi orang-orang cerdas. Ternyata tidak bisa memberikan jawaban, karena sekolah itu adalah hanya bagian kecil dari sistem pendidikan. Tapi sistem pendidikan yang dikembangkan di rumah, di jalan, di warung, di tempat kerja, semuanya harus tersistem dalam satu sistem yang namanya pendidikan.
Hari ini, pendidikan diidentikkan sekolah, sehingga orang yang tidak sekolah dianggap orang yang tidak dididik, sehingga hanya orang yang bersekolah dianggap orang yang terdidik. Dan ternyata yang dilahirkan, banyak yang tidak sekolah jauh lebih terdidik daripada orang yang sekolah. Nah, berbagai problematika yang dilahirkan oleh bangsa hari ini, dilahirkan oleh orang-orang yang terdidik problematika itu. Bukan oleh orang-orang yang tidak terdidik. Nah, ke depan barangkali, bukan saya anti pendidikan formal, tetapi bagaimana pendidikan formal terintegrasi dengan semangat pendidikannya, bukan hanya semangat sekolah untuk dapat sertifikatnya. Hari ini kan, orang cenderung itu. Nah ini yang pertama.
Yang kedua, saya ingin mengembangkan sistem pembangunan yang berbasis pedesaan. Berbasis pedesaan itu, dari mulai sistem otonomisasi desa dari sisi aspek fiskal, otonomisasi desa dari sisi aspek kebijakan-kebijakan daerah, di mana kepala desa harus tumbuh menjadi kekuatan, pemimpin yang mandiri di setiap desa. Hal ini adalah bagian dari upaya untuk melakukan keadilan ekonomi. Karena kalau sistem keuangan negara ini, RAPBN yang begitu besar ini nanti muncul menjadi RAPBD provinsi, terus RAPBD provinsi menjadi RPBD kabupaten. Kalau seluruh RAPBN, RAPBD provinsi dan kabupaten ini tersentral pada yang namanya desa, seluruh uang yang ada tersebar di situ, maka terjadilah keadilan ekonomi. Tidak ada lagi sentralisasi keuangan pada sebuah wilayah.
Kemudian membangun semangat transparansi. Dengan keuangan tersebar ke wilayah-wilayah terkecil, maka akan mudah sekali orang melakukan kontrol tehadap sistem keuangan tersebut. Mengontrol uang yang jumlahnya lebih kecil lebih mudah dibanding dengan yang besar. Bukunya lebih tipis, lebih mudah membacanya.
Nah, kalau sistem keuangan ini paradigmanya sudah dibangun dalam paradigma pedesaan, maka seluruh rakyat kita mengawasinya tidak akan terlalu jauh. Tidak akan ngomongin Jakarta, tidak ngomongin Bandung, tidak ngomongin Purwakarta. Dia akan ngomong tentang desanya. Bagaimana pembangunan? Apakah terlaksana tidak di desanya? Apakah kebijakan negara sudah terserap di desanya. Ini yang menjadi fokus kita tentang pedesaan.
Yang berikutnya adalah, kita ingin membangun sistem bagaimana para pegawai ini tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan yang memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Tetapi di situ harus jelas reward and punishment (penghargaan dan sanksi)-nya sebagai seorang pegawai negeri. Selama ini, sistem kepegawaian kita itu kan, yang rajin-yang tidak rajin, ya sama saja gajinya. Yang malas-yang tidak malas, ujung-ujungnya tergantung nasib juga. Banyak yang rajin tidak bisa jadi apa-apa. Banyak yang malas tapi bisa jadi apa-apa. Nah, ini juga problem yang harus diluruskan. Sistem kepegawaian kita harus mulai diubah ke arah paradigma dimana kekuatannya harus mengarah pada profesionalisme. Kalau profesionalisme, harus mengarah kepada tingkat kesejahteraan. Dan kesejahterannya harus mencerminkan keadilan yaitu, kemampuan dia bekerja dan ketidakmampuan dia bekerja.
Kemudian orientasi berikunya adalah, kita ingin mendekatkan seluruh pelayanan ini pada masyarakat, termasuk pelayanan di bidang kesehatan. Orang selalu bicara tentang rumah sakit. Rumah sakit ini punya keterbatasan-keterbatasan, daya jangkaunya. Saya cenderunglah di setiap kecamatan itu minimal di beberapa daerah wilayah kecamatan, ada satu Puskesmas yang punya kemampuan untuk merawat dan menginapkan para pasiennya sehingga daya mobilitasnya tidak terlalu menonjol ke kota. Dan yang paling utama adalah antisipasi berbagai wabah yang kadang menyerang secara mendadak. Contoh muntaber, ketika muntaber, orang semua dirujuk ke rumah sakit pemerintah di tingkat kabupaten. Yang muntabernya kompak lagi, sekabupaten. Maka problemnya, terjadi penumpukan. Tapi kalau di setiap kecamatan ada Puskesmas yang bisa menangani, tidak terjadi lagi penumpukan-penumpukan pasien itu. Ketika ada bencana-bencana yang bersifat kejadian luar biasa.
Kemudian yang berikutnya orientsi kita adalah ingin mengoptimalkan seluruh potensi air yang dimiliki. Karena, Purwakarta ini walaupun punya Danau Cirata dan Jatiluhur, tidak bisa mengoptimalkan potensi air tersebut, karena letak kita lebih tinggi. Sehingga kita ingin memanfaatkan aliran-aliran sungai yang ada di Purwakarta ini. Itu bermafaat bagi kepentingan dunia pertanian. Tidak terbuang airnya percuma ke laut. Ini yang fokus kita.
Yang berikutnya adalah, kita ingin mengembangkan sistem jalan. Jalan itu mulai dibangun dengan jalan-jalan yang disebut dengan jalan hotmix dan beton. Orientasi kita, seluruh jaringan jalan darat sampai tingkat pedesaan itu harus baik. Jadi, jangan sampai terjadi ketimpangan pembangunan. Orang kota menikmati hotmix setiap saat. Orang desa, badannya sakit-sakit kalau lewat. Tapi anehnya, orang kota itu yang sakit kalau bangun tidur, karena oksigennya sudah tidak baik lagi. Orang desa, walaupun jalannya jelek tapi badannya tak pernah sakit kalau bangun tidur, karena badannya tiap hari digerakkan. Itu lebihnya. Ada berkah di situ.
Jadi pengembangan jalan ini, harus diimbangi oleh kesadaran publik, rakyat, terutama kepemilikan tanah. Karena saya lihat ada ketimpangan di situ. Ketika jalan masuk ke pedesaan, maka harga tanah naik. Ketika harga tanah naik, rakyat cenderung menjual tanahnya. Sehingga orientasi jalan membangun kekuatan ekonomi rakyat, berbanding terbalik dengan realita. Ketika ada jalan hotmix, rakyat sudah tidak punya tanah lagi. Akhirnya dia tidak bisa lagi optimalisasi potensi hutan, potensi perkebunan, potensi pertanian sawah, perikanan. Karena apa? Karena kepemilikannya sudah berubah. Jadi giliran desa itu mengalami kemajuan, giliran mobilitasnya mudah, mereka malah tidak memiliki aset apa pun. Ketika dulu jalannya terjal, itu aset mereka. Ini problem, lho. Dan ini mungkin bukan hanya di Purwakarta. Setiap daerah mengalami hal seperti itu. Kalau begitu, untuk apa pembangunan itu dilaksanakan kalau tidak melahirkan rasa keadilan di masyarakat. Begitu kan?
Jadi logikanya sebenarnya, kalau dikasih jalan hotmix, tanahnya malah dijual, lebih baik nggak dikasih jalan sekalian. Sebenarnya logikanya seperti itu kalau ingin menggunakan logika keadilan ekonomi. Tetapi kita ingin juga secara pelan memberikan pemahaman. Jadi kalau jalannya baik, tanahnya mahal, jangan cepat-cepat dijual hanya untuk beli mobil, beli motor untuk keperluan konsumtif.
Ini problem pedesaan hari ini dan dialami oleh dorongan anak-anak muda yang tidak tertarik lagi terhadap dunia pertanian. Sehingga yang harus dilakukan adalah bgaimana menghormati dunia pertanian menjadi dunia yang terhormat. Maka, kalau ingin menghormati dunia terhormat maka bagaimana produk-produk pertanian itu mendapat perlindungan dari negara, dan petani merupakan bagian yang harus dilindungi. Karena tidak punya arti bangsa ini, walau punya berbagai produk, tapi pertaniannya mengalami kebangkrutan. Tidak ada lagi minat, kenapa? Karena uang banyak tapi kalau nggak punya beras, kan rugi juga. Nggak bisa apa-apa. Nggak punya ikan, buat apa juga biar uang banyak. Tapi kalau punya ikan, punya beras, nggak punya uang juga tetap aman. Logikanya kan seperti itu.
Yang berikutnya, kita ingin mengembangkan konsep sistem industri dengan berbasis pelayanan publik. Di mana pemerintah daerah ingin ke depan itu, tanah-tanah untuk kepentingan industri ini, industri ini nggak usah beli tanah. Tapi pemerintah yang menyiapkan dengan konsep sewa. Sewanya pun diberikan, bebrapa tahun ketika industri ini sudah mulai ke arah produksi. Sehinga ketika ada investor datang, mereka tidak usah lagi mikir tentang pembebasan, tetapi mereka tinggal membangun dengan seluruh fasilitas disiapkan oleh pemerintah. Ini kan dilakukan oleh China, oleh Vietnam. Tapi saya juga berpikir, kemampuan saya dari mana kalau bikin begitu. Tapi saya punya obsesi ke arah itu. Minimal obsesilah. Lebihnya orang miskin kan, bisa mimpi jadi orang kaya. Saya karena pemimpin kecil di daerah, begitu kan, punya obsesi seperti itu. Kalau saya sudah jadi pemimpin yang besar mungkin tidak bisa punya obsesi lagi.
Yang terakhir adalah, kita ingin mengembangkan pembangunan ini berbasis karakternya, dari sisi fisiknya, desain-desainnya harus mulai terlihat. Gedung-gedung tua mulai harus direnovasi, tidak boleh kehilangan nilai-nilai orisionalitasnya. Jangan sampai bangsa ini kehilangan latar belakang sejarahnya dan lupa terhadap terhadap masa lalu. Sehingga dia tidak punya masa depan. Dan kemudian, di dalamnya kita ingin memberikan perlindungan kepada seluruh pedagang tradisional sehinga bisa mengembangkan sitem pasar tradisional dengan baik, pasarnya baik, pembelinya baik, kemudian regulasi keuangannya bejalan secara lancar. Dengan konsep sewa. Itu pun kita harus mengkaji, uangnya dari mana kalau kita membangun pasar sendiri. Tepai saya punya obsesi, negara ini menyiapkan berbagai fasilitas, rakyat ini tinggal mengisi dan menyewanya. Ini yang pikiran-pikiran saya tentang Purwakarta yang disebut dengan ‘Salapan lengka ngawal nguna negri raharjo’ (sembilan langkah menuju digjaya Purwakarta)
Konon ada program pelayanan publik gratis?
Ya. Di dalamnya, itu tadi yang disebut dengan pembangunan berbasis pedesaan. Pembangunan berbasis pedesaan itu di dalamnya kita memberikan layanan gratis bagi pengurusan KTP, kartu keluarga dan akte kelahiran. Yang sudah mulai sejak 6 Oktober dan kemudian nanti kita akan membentuk satuan pelayanan pmerintah di tingkat desa.
Berapa pos anggaran untuk itu?
Kita akan siapkan anggarannya untuk insentif pegawai operator komputer, insentif pelayan di tingkat desa, kemudian pembelian blangko dan kelengkapan teknis. Dari sisi pendapatan, memang kita mungkin menurun. Tapi saya akan mngejar di sektor lain.
Artinya, tidak memperhatikan anggaran berapa banyak.
Oh, tidak. Kalau untuk publik, kenapa tidak. Hanya berapa persen dari anggaran.
Tadi, masalah pendidikan yang pertama. Dan itu sangat mendasar, bahwa pendidikan tidak hanya di sekolah, tapi di semua aspek kehidupan, mulai dari keluarga, di jalan dan di mana-mana, begitu. Sementara konsep pendidikan dari pemerintah masih cenderang melalui sekolah. Lalu, bagaimana pendidikan di masyarakat ini, langkah apa yang bisa dilakukan pemerintah daerah?
Mengembalikan kembali pola kultur dan penegakan. Di kita ini yang kurang itu kan penegakan. Di jalan orang tidak dididik karena sistem pendidikan kita agak berat. Akhirnya lalulintas kita semakin semraut. Tingkat kecelakan semakin tinggi. Kan aneh itu? Terus kemudian, anak-anak kecil usia 7 -9 tahun sudah menggunakan kendaran bermotor. Itu kan problem.
Di Inggris, saya pernah dengar, gitu lho dalam cerita, putranya pangeran Charles mengendarai mobil di jalan tol, dikejar oleh polisi, ditilang, karena usianya baru 14 tahun. Artinya, yang diperlukan adalah ketauladanan bagi semua. Artinya, orng-orang punya kemampuan lebih uangnya, jangn mempertontonkan anak-anaknya menggunakan kendaraan bermotor kalau belum cukup umur untuk menggunakan. Jika melanggar harus ditindak, siapa pun dia. Dan nanti bisa diterapkan di sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah secara tegas membuat peraturan sekolah. Dimana, melarang anak-anaknya ke sekolah menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dan dikembalikan lagi bila perlu pakai sepeda.
Langkah-langkah apa yang dilakukan untuk menyosialisasikan itu?
Ya. Saya secara rajin ya tetap mngampanyekan menggunakan sepeda ke sekolah. Tetapi secara tegas saya belum membuat kerangka kerja yang jelas bagi kepala sekolah. Tetapi nanti setelah konsolidasi internal organisasi saya berjalan dengan baik dan efektif, insyallah, ke depan setelah infrastruktur, jalannya sangat memadai, saya akan mencoba untuk melakukan pendekatan dengan pola ini.
Saya kira itu sangat mendasar. Kesadaran pendidikan harus muncul dari bawah, bukan hanya di sekolah tapi dari rumah tangga, begitu ya? Itu yang sagnat kurang sehingga masyarakat ini tidak hanya tergantung kepada pendidikan di sekolah.
Ya. Persis. Dulu kan banyak yang dilahirkan oleh pendidikan nformal. Banyak para sastrawan yang lahir bukan dari pendidikn formal. Banyak jurnalis handal, lahir bukan dari sekolah-sekolah jurnalistik, tetapi lahir secara alamiah. Banyak juga para pengusaha, para pengrajin, seniman dan budayawan dan kelompok-kelompok profesi lainnya yang lahir secara alamiah dengan karakter pendidikan informal pada lingkungannya. Nah, karakter informal itulah yang harus kita kembangkan menjadi kekuatan. Dan yang paling utama dari seluruh karakter itu sebenarnya kemampuan kita dan keinginan kita untuk melangkah. Itu yang dikembangkan.
Keteladanan perlu di situ ya. Terutama instansi pemerintah, para pejabatnya harus menjadi teladan?
Saya, contoh kecil misalnya, mencoba untuk area pemerintah ini, yang sederhana ini, tidak ada lagi kendaraan. Hanya untuk menyuruh orang jalan kaki. Kenapa? Karena jalan kaki, hari ini menjadi barang yang langka, dengan banyaknya naik-turun mobil, naik-turun motor. Kecenderungan orang tidak jalan kaki. Maka ancaman terhadap kesehatan, semakin tinggi degradasi kesehatannya.
Jadi menyuruh orang supaya jalan?
Ya. Minimal orang jalan dari situ ke sini. Sederhana saja.
Yang kedua tadi, pembangunan berbasis pedesaan. Dan itu berarti untuk mewujudkannya tidak semudah program dari atas ya? Kalau program dari atas, kita konsep, kita drop dananya, itu bisa dijalankan. Jadi ini tentu bukan pekerjaan mudah. Lalu, apa kiat untuk bisa memudahkannya?
Untuk memudahkannya adalah diberikan kembali keyakinan kepada masyarakat bahwa kita berpegang teguh pada pola-pola kultur yang diwariskan oleh orang tua kita dulu. Itu bisa melahirkan kesejahteraan. Ini yang harus diyakinkan betul. Kenapa orang desa sekarang tidak percaya diri lagi terhadap lingkungan pedesaannya, karena mereka menganggap bahwa dengan berpegang teguh pada sistem yang diwariskan oleh orang tuanya dulu, itu melahirkan kemiskinan material. Bagaimana kita melakukan sentuhan-sentuhan strategi agar anggapan kemiskinan material itu berubah. Nanti menjadi kekayaan material. Kemudian yang terutama juga, kekayaan spiritual. Karena, kekuatan spiritualitas inilah yang menjadi roh dalam kehidupan kita. Kita mengandalkan logika dan materialisme saja ternyata tidak melahirkan kebahagiaan apa pun.
Kemarin itu, saya melihat ada running text di sebuah stasiun tv yang mengatakan bahwa 30 ribu warga Jepang bunuh diri karena gangguan ekonomi. Padahal kalau kita lihat, Jepang itu jauh lebih maju secara ekonomi dengan kita, tapi kenapa malah angka bunuh dirinya malah tinggi. Mungkin di situ ada kekuatan-kekuatan spiritual yang mulai ditinggalkan. Ini yang harus menjadi orientasi kita, dan bangsa kita kan mengajarkan tentang spiritualitas. Dan hari ini spiritualitas ditinggalkan orang ke materialitas semua. Materialitas itulah akhirnya melahirkan kefrustasian, karena tidak ada kepuasan di situ.
Tadi Anda sebut ada satuan pelayanan pmerintahan di pedesaan. Bagaimana formatnya?
Formatnya itu nanti, kita tergabung dengan yang disebut dengan polisi desa. Di situ nanti ada unsur Babinkamtibmas, Babinsa, unsur-unsur perwakilan pemerintah yang berfungsi memberikan pelayanan secara langsung terhadap masyarakat, petugas penyuluh, bidan desa, dokter kalau dimungkinkan. Terus kemudian tenaga fungsional pertanian, kehutanan, koperasi, dan berbagai hal yang memang diperlukan oleh pedesaan. Selama ini kan para pegawai negeri itu tertumpu di kota, di SKPD-SKPD di tingkat ibu kota kabupaten. Nah, problemnya kan mereka jadi tidak bersentuhan. Sehingga kalau membuat perencanaan pembangunan, itu kadang tidak disurvei dulu. Dia mengira-ngira saja. Dan nanti kalau setiap satuan kerja mempunyai staf yang bertugas di lapangan, maka seluruh program itu nanti didasarkan pada metodologi dan sistematika yang lebih riil dan kemudian juga menyentuh kepentingan masyarakat.
Karena melibatkan polisi dan yang lain, tidak ditakutkan menjadi represif?
Oh, nggak. Polisi desa, itu kan konsep Babinkamtibmas. Itu kan sebetulnya tidak mengedepankan pola represif. Mereka itu kan lebih mengedepankan pola kebinamitraan. Jadi, polisi persahabatan. Dari sisi kultur, bisa saja dalam perspektif ke depan hal-hal yang bisa ditangani secara musyawarah di pedesaan dikembalikn lagi dengan pola lama. Tidak harus mesti ditangani selalu menjadi aspek hukum formal. Kalau bisa ditangani dari sisi aspek kultur, kenapa tidak diselesaikan dengan kultur? Karena ditangani dengan aspek hukum formal juga high cost.
Semua program memerlukan dana. Berbasis pedesaan, berarti ada alokasi dana. Ada peningkatannya nggak dana untuk pembangunan pedesaan?
Saya berencana memang akan melakukan peningkatan. Peningkatan itu dua hal. Yang pertama, dari sisi aspek nilai mungkin meningkat. Kedua juga mulai mengarah kepada keadilan. Sistem yang akan saya gunakan nanti, perkembangan dana pedesaan itu nanti disesuaikan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk. Tidak dibikin sama dalam setiap desa.
Saya memerhatikan kemarin, ketika Pilkada di sini kita memberikan bantuan Rp 9 juta per desa. Ternyata itu tidak mencerminkan rasa keadilan karena ada yang jumlah pemilihnya 800, ada yang jumlah pemilihnya 3.000, dan ada yang jumlah pemilihnya 8.000. Bayangin, subsidi untuk yang 800 sama dengan 8.000, tidak mencerminkan rasa adil. Ini yang menjadi bahan koreksi kita ke depan.
Artinya, untuk satu tahun ke depan ini seperti apa konkritnya?
Ya, kita berdasarkan indeks jumlah penduduk. Misalnya, kita subsidi pembangunan desa, dana alokasi desa, kita hitung, misalnya per penduduk misalnya Rp 5.000 kali sekian ribu penduduk, berarti sekian. Begitu. Nah, sekarang itu kan dibikin sama. Penduduk banyak atau sedikit dibikin sama. Sehingga sekarang, banyak yang menjadi problem, misalnya wilayah kabupaten kota yang kebetulan sangat sedikit penduduknya, sangat sedikit kecamatannya, sangat sedikit jumlah desanya, mereka kadang sampai kebingunan uangnya harus disalurkan kemana karena wilayahnya sangat kecil. Jalannya sudah pada bagus, fasilitasnya sudah pada bagus, kan begitu. Sedangkan yang luas, uangnya sangat sedikit, terbatas. Bikin jalan nggak cukup-cukup karena ruas jalannya sangat panjang. Ini kan aspek-aspek yang menjadi bahan pengkajian kita.
Terus yang lain tadi, masalah kesehatan, dimana akan diadakan penyebaran pelayanan, kalau memungkinkan Puskesmas mempunyai fasilitas rawat inap. Itu salah satu program. Kemudian, masalah kesehatan ini, ada seorang dokter yang baru kami wawancara, dia bilang misalnya kesehatan itu, pengobatan hanya 10 persen dari masalah kesehatan. Ini yang perlu dicermati, begitu dia bilang. Seharusnya yang dilakukan yang pertama adalah mencegah orang sakit. Bagaimana pendapat Anda?
Nah, inilah kesalahan kita. Kita ini kalau bicara kesehatan selalu bicara Puskesmas. Bicara kesehatan, bicara rumah sakit. Padahal sudah jelas, kalau Puskesmas sih ada unsur mencegahannya ya. Kalau rumah sakit itu kan murni pengobatan. Jadi sebenarnya, bukan dinas kesehatan kalau begitu, tapi dinas kesakitan. Karena program yang diurus adalah bagaimana membangun fasilitas untuk orang sakit. Berarti dinasnya bukan dinas kesehatan tapi dinas kesakitan. Karena yang diurusnya orang sakit bukan orang sehat. Sehingga paradigma yang harus kita kembangkan adalah memahami kesehatan sebagai integrited pembangunan.
Jadi bicara tentang kesehatan, itu bukan bicara tentang Puskesmas saja. Rumah sakit itu bengkel. Nah, bicara tentang kesehatan adalah bicara tentang sistem pembangunan yang sehat. Dari mulai sistem tata ruang, sistem tata wilayah, sistem pertanian, sistem peternakan, perikanan, perhubungan, kemudian kebinamargaan, keciptakaryaan, pendidikan, semuanya harus melahirkan sistem yang masyarakatnya di situ sehat.
Sekarang ini kan, bagaimana rumah sakit tidak terus penuh oleh pasien, karena lingkungan kita sudah menjadi lingkungan yang tidak dimungkinkan untuk hidup sehat. Airnya sudah tercemar, udaranya sudah tercemar, lingkungannya sudah tercemar, bakteri sudah dimana-mana, virus dimana-mana. Makannya serampangan, olahraganya nggak pernah, misalnya. Ini kan problem. Nah untuk itu, maka dalam perspektif saya adalah, sebenarnya setiap individu, setiap SKPD, setiap dinas, setiap departemen, itu punya tanggung jawab untuk menciptakan iklim yang sehat.
Saya contohkan misalnya ruangan ini. Dulu itu Belanda koq kenapa lebih pintar dari kita. Karena daerah ini daerah tropis, maka Belanda bikin bangunan itu tinggi. Habis tinggi, dikasih lubang untuk sirkulasi udara. Habis itu dikasih jendela agar sirkulasi udaranya lancar. Disinilah akan melahirkan penghuni bangunan yang sehat. Digantilah oleh bangsa kita. Bangunannya dipendekkan, ventilasi udaranya tertutup rapat semua, lalu dipasang AC. Kemudian tengah hari itu makan, makannya banyak lagi. Habis makan banyak, masuk ke ruang ber AC, keringatnya nggak keluar. Kalorinya tidak terbakar, ngantuk, tidur, diabet. Ini yang belum menjadi kesadaran.
Jadi pelayanan kesehatan itu mencegah orang sakit ya?
Ya, mencegah orang sakit. Sehingga dalam prospek kesehatan, ukurannya bukan semakin banyaknya rumah sakit, kalau menurut saya. Bukan semakin banyak dokter spesialis. Ukuran keberhasilan kesehatan itu adalah semakin kosongnya rumah sakit karena tidak ada orang sakit. Semakin sedikit dokter spesialis, karena orang sakit itu semakin tidak ada. Berarti berhasil itu dunia kesehatan. Tapi kalau dokter spesialisnya semakin banyak berarti jumlah sakitnya semakin banyak, penyakitnya semakin bertingkat, kemudian kadar obatnya semakin tinggi. Berarti gagal dunia kesehatan. Makanya menjadi dunia kesakitan.
Mengenai tata kelola air. Sungguh tidak adil sebenarnya orang Jakarta terhadap Purwakarta. Jadi bagaimana tadi pemikiran Anda tentang tata kelola air itu supaya bisa dimanfaatkan, jangan percuma mengalir ke laut?
Purwakarta ini kan mengalirkan air ke wilayah utara. Dari wilayah utara, jadilah lumbung padi Jawa Barat, lumbung padi nasional. Menjadi cadangan pangan bagi masyarakat Indonesia. Kemudian, kita mengalirkan air ke Jakarta, kemudian diminum orang-orang Jakarta. Tetapi kita sendiri tidak mendapat apa pun. Untuk itu, sudah hal yang wajar kalau pemerintah memberikan kompensasi. Kompensasinya, saya tidak menuntut uang. Saya nuntut agar aliran-aliran sungai yang terbuang airnya ini bisa dikelola masyarakat kita dengan membangun sistem irigasi yang baik.
Apakah hal itu sudah pernah diajukan atau belum?
Sering. Mudah-mudahanlah dengan kepemimpinan saya, pengajuannya dikabulkan.
Apakah pengajuannya itu lewat prosedur. Ada keputusan DPRD?
Kalau pengajuan, bupati kan bisa mengajukan ke pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum.
Kan bisa ditingkatkan supaya lebih diperhatikan?
Ya. Mudah-mudahan ke depan. Saya hanya minta itu saja kok, aliran-aliran sungai ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dunia pertanian karena itu prasyarat untuk membangun kesejahteraan rakyat. Orang bertani, misalnya padi, sekali setahun cuman sekali musim hujan. Kalau musim hujannya kayak sekarang ini, nggak karu-karuan begini kan, nggak kemana-mana, masih bisa mempertahankan orang untuk hidup. Apalagi kalau sistem irigasinya terkelola dengan baik mungkin bisa melahirkan seperti yang disebutkan tadi, kesejahteraan material.
Tadi Anda juga mengemukakan mengenai pembinaan aparatur negara. Program itu, kalau tidak didukung dengan keteladanan, juga seperti tadi Anda bilang, itu bisa hanya dalam pikiran?
Persis. Selama ini mungkin, konsepsi itu berada di pikiran saya tetapi secara perlahan ia netes sedikit-sedikit ke dunia birokrasi di Kabupaten Purwakarta. Kenapa? Karena kita masih baru. Kita kan tidak mungkin dalam tujuh bulan ini melakukan langkah-langkah yang frontal. Dari sisi aspek, jurus dalam sebuah ilmu pencat silat misalnya, maka kuda-kuda saya harus kuat dulu. Saya yakinlah dalam tahun ini, kuda-kuda ini sudah kuat. Dan tahun depan itu, kita sudah mulai mengarah pada profesionalisme itu. Profesionalisme dalam tanda kutip. Dalam perspektif kita yang masih awam tentang makna profesionalisme. Tetapi nanti, secara kolektif itu akan terbangun.
Pak Harto dulu juga kan dalam waktu 32 tahun memimpin, kan tidak langsung ke-32 tahun itu kokoh. Lima tahun pertama, ini yang dikerjakan, lima tahun kedua, ini. Dan, dia betul kuat kan pada tahun ketiga, tahun keempat. Kan gitu.
Masalah kepemimpinan. Anda itu seorang muda yang memimpin sebuah kabupaten yang terdiri dari beragam masyarakat mulai dari yang muda sampai yang tua. Tentu banyak di sini yang merasa lebih punya kepemimpinan dari Anda. Bagaimana cara Anda untuk tampil dan didengar?
Ya. Saya selama ini termasuk orang yang lamalah bergaul dengan masyarakat. Berkomunikasi dengan masyarakat. Bicara di depan orang tua, itu bukan hal ketika saya jadi pemimpin sekarang. Saya sejak kelas 6 SD sudah bisa ngomong di depan orang tua, pidato. Jadi bukan hal yang baru. Saya waktu kecil saja pidato didengarin orang koq. Apalagi sudah jadi bupati pasti lebih didengarin lagi. Jadi tidak ada hal aneh, gitu. Karena kita terbiasa bergaul. Saya menjadi ketua kelas itu sejak kelas satu SD. Memimpin itu sejak kelas satu SD.
Dalam informal, saya dulu penggembala kambing. Saya ketua penggembala kambing sejak kecil. Jadi kita tahu bagaimana mengelola, bagaimana berkomunikasi. Jadi bukan hal yang baru lagi. Kadang-kadang saya terlalu ke-pede-an. Mungkin karena usia muda, saya merasa apa yang saya sampaikan ini begitu dipahami oleh banyak orang. Padahal orang mungkin tidak paham dan mungkin orang tidak suka dengan apa yang saya sampaikan.
Nah saya sekarang itu justru terbalik, saya belajar untuk tidak pede. Karena, sejak kecil saya selalu pede, gitu lho. Nah, saya takut over dosis kepercayaan diri saya. Nah, itu tidak baik. Over confident itu kan tidak baik. Nah, saya sekarang mulai belajar untuk tidak percaya diri agar ada kataleduran dalam diri saya.
Jadi memang mengasah wisdom ya. Kebijaksanaan?
Ya. Anda pintar mujinya.
Bukan muji. Tapi memang Anda menguasai bidang tugas pelayanan Anda sebagai pemimpin. Kami banyak bertemu dengan para pemimpin di negeri ini karena mengelola Tokoh Indonesia. Tapi terkadang kami sulit untuk menulis seseorang, karena tidak tahu apa yang akan ditulis. Hanya standar saja, gitu?
Ya, mengalir begini karena ditanya sama orang cerdas. Kalau ditanya sama orang biasa-biasa, nggak mengalir begini.
Tapi kembali dulu ke masalah kepemimpinan yang tadi. Walaupun jawabannya begitu, tapi ada tantangan kali dalam masalah kepemimpinan ini?
Ya, tantangan pasti banyak. Setiap pekerjaan pasti ada tantangan. Kepemimpinan saya sangat banyak tantangan. Mungkin di antara bupati di Indonesia ini, saya yang paling sering didemo. Bahkan, ada langganan. Setiap jumat, saya didemo, gitu. Didemo, karena ada kerangka pemahaman yang saya sampaikan yang menimbulkan kontroversi, gitu. Nah, saya justru belajar dari itu.
Untuk itu, dalam perspekif ke depan, mungkin saya harus merubah style. Untuk itu tadi, belajar untuk tidak percaya diri dengan apa yang diucapkan. Sehingga proses mengkaji setiap ucapan-ucapan itu lebih didahulukan dibandingkan dengan berucap. Karena memang kebiasan saya itu spontan. Pikiran dan ucapan itu hampir bareng.
Bisa Anda flashback dulu biografi Anda. Dari masa kecil sudah menjadi pemimpin, ketua kelas dan yang lain. Bisa diceritakan bagaimana proses itu bisa terjadi?
Semuanya alamiah. Saya selalu meyakini, apa yang saya lakukan, apa yang saya dapat, dan apa yang saya perbuat semuanya tidak lepas dari Allah SWT, yang menentukan segala sesuatu. Jadi, banyak hidup ini yang tidak terencana dan tidak direncanakan. Satu prinsip saja dalam hidup ini, kerja keras. Ketika orang sudah kerja keras, tidak usah merencanakan sesuatu, karena Allah akan memberikan sesuatu. Ini yang ada dalam diri saya.
Jadi kalau kita menjadi seorang karyawan, sudahlah, jangan dulu berpikir mendapatkan gaji. Karena pada akhirnya gaji itu akan diberikan manakala kita bekerja dengan baik. Nah, prinsip-prinsip itu yang kuat dalam diri saya. Dan kemudian, saya sangat asik dengan penerawangan berpikir tentang Indonesia ke depan. Dan kemudian saya asik juga melakukan kontempelasi tentang Indonesia masa lalu. Sehingga saya itu, orang yang selalu terkontempelasi oleh nilai-nilai masa lalu dan terobsesi dengan nilai-nilai masa depan. Itulah yang membikin saya selalu menjadi enjoi dalam setiap kesempatan dan selalu optimis dalam menghadapi segala sesuatu. Karena segala sesuatu yang diberikan, yang berat, itu pasti ada titik ringannya. Sesuatu yang diberikan ringan, pasti ada titik beratnya. Sehingga kita hadapi segala sesuatu itu dengan sikap optimis, kemudian juga tetap dengan gaya yang biasa-biasa saja, sederhana.
Bagaimana ceritanya sampai bisa menjadi wakil bupati dalam usia 32 tahun?
Faktor perjalanan saja. Faktornya, saya bekerja saja.
Sebelum menjabat ketua Golkar?
Saya sekretaris Golkar. Sebelum sekretaris, saya wakil sekretaris Golkar.
Pada usia berapa memasuki politik?
Sejak kuliah saya sudah bersentuhan dengan dunia politik. Dimulai dari tukang nulis pidato. Tukang nulis pidato ketua partai Golkar Purwakarta, almarhum Babisni waktu itu. Tahun 1993 itu, saya sudah menjadi penulis pidatonya ketua partai. Ketika reformasi, banyak orang-orang muda yang loncat meninggalkan Golkar karena dianggap partai orde baru, saya malah asyik dengan Golkar. Kenapa? Karena ada sebuah barang yang ditinggalkan oleh banyak orang, potensi saya jadi pemimpin itu menjadi besar, karena saingannya menjadi sedikit. Dan hal itu memang terjadi. Dan bagi saya, berkah juga reformasi ini, karena tanpa reformasi ini, tidak mungkin saya jadi ketua partai. Waktu itu kan tidak mungkin. Sangat sulit saya menjadi anggota DPRD. Apalagi jadi bupati. Tapi dengan reformasi ini, dimungkinkan setiap orang untuk memimpin.
Jadi saya mengalami itu. Ketika reformasi, saya menjadi pengurus partai, menjadi sekretaris, saya menjadi anggota DPR, dan saya tidak merencanakan menjadi wakil bupati waktu itu. Ya, itu sudah menjadi ketentuan Allah, karena segala sesuatunya sangat mendadak. Saya diminta oleh teman-teman waktu itu untuk maju. Dimintanya untuk menjadi bupati tapi saya menolak, karena saya melihat kapasitas diri saya. Kemudian, saya konsisten untuk mendukung Pak Lily waktu itu menjadi bupati, dan saya menjadi wakil.
Dan kemudian ketika menjadi wakil bupati, saya tahu wakil bupati itu sedikit pekerjaannya. Saya tidak pernah mengeluh dengan sedikit pekerjaan atau tidak ada pekerjaan. Saya justru senang punya kesempatan untuk berkeliling. Dalam setiap saat bertemu dengan masyarakat, berkomunikasi, berdialog, memahami mereka, kemudian melihat alur birokrasi. Saya belajar betul selama lima tahun, dan kemudian saya ikut pilkada dengan keyakinan sejak awal bahwa saya akan menang, karena saya lebih mengenal rakyat dibanding dengan yang lain. Saya lebih mengenal Purwakarta. Samapi jalan kecilnya saya tahu. Jalan bagusnya, jalan jeleknya saya tahu di sebelah mana. Dengan keyakinan itulah saya maju dan alhamdulillah, saya terpilih. Dan ketika saya terpilih, saya sudah tidak bingung lagi program apa yang akan mau saya kembangkan. Karena selama lima tahun sudah tahu apa yang harus dilakukan. Itu yang dimiliki.
Tadi ada program berbasis desa. Membangun bangsa dari kampung. Seperti apa bangsa ini maunya dalam pikiran Anda?
Dalam pikiran saya, bangsa Indonesia itu dalam kebhinekatunggalikaan, dalam keragaman, dalam perberdaan. Kampung-kampung harus tumbuh menjadi kekuatan kampung. Punya integritas kebudayaan, punya integritas ekonomi, punya integritas politik, punya integritas pertahanan. Ini yang saya inginkan.
Anda juga mungkin pasti menerawang daerah Tapanuli sana, Danau Toba, Medan sana. Saya juga ingin menerawang tentang Purwakarta, tentang Jawa Barat dalam karakter kesundaannya. Nah, kalau setiap orang mempertahankan lingkup kampungnya maka Indonesia akan kuat. Kampung kita tidak lagi tercabik-cabik. Dan kalau saya, ingin melihat keanekaragaman itu, perbedaan itu, orang toleran satu sama lain, saling menghormati dan saling menghargai. Kultur itulah yang ada dalam diri saya.
Jadi, kebhinekatunggalikaan itu adalah bagian dari sunatullah yag tidak bisa terbantahkan. Memang kita diciptakan berbeda. Karena kita diciptakan berbeda, maka kita harus menghormati perbedaan itu. Yang membedakan di antara kita itu hanya satu, logat bahasa, warna kulit, jenis makanan, tapi esensinya sama. Esensinya sama, secara roh, kemanusiaan itu sama. Yang membedakan hanya itu saja. Nah, ini yang saya inginkan dan saya membayangkan tentang Indonesia.
Seorang pemimpin, keberhasilannya sangat banyak dipengaruhi dari rumah. Dari titik berangkatnya dari rumah. Kondisi rumah, keluarga, terutaama isteri. Bagaimana kondisi rumah mndukung kegiatan Anda?
Alhamdulillah, saya punya istri walaupun masih relatif muda usianya, sangat memahami tentang pekerjaan yang saya miliki. Tidak pencemburu. Kemudian dia tegar ketika menghadapi berbagai tekanan politik yang begitu kuat. Kemudian memahami juga bahwa pemimpin hari ini harus dekat dengan rakyat. Secara ekonomi, kita tidak boleh lagi sayang terhadap harta benda yang kita miliki. Penghasilan yang kita miliki bukan hanya penghasilan kita, sudah penghasilan banyak orang. Suatu saat harus kita bagi. Jadi sudah terbiasa menerima tamu puluhan orang ke rumah.
Anak-anak saya tumbuh menjadi anak-anak yang memahami betul pekerjaan bapaknya. Menjadi seorang politisi, diangkat pemimpin pada daerahnnya. Dan anak-anak saya juga menjadi pemimpin di lingkungannya segala. Saya malah tinggal di kampung. Waktu itu, tinggal di rumah dinas, dan hari ini memilih tinggal di desa. Kenapa? Di rumah dinas, anak saya tumbuh menjadi eksklusif. Dia tidak punya teman, hanya berdua. Saya khawatir kalau dewasa punya kelainan. Sehingga saya bawa lagi ke desa. Anak-anak saya suruh bergaul dengan anak-anak desa. Mancing di pinggir kali, kemudian kemarin itu kan ada pemilihan kepala desa, ada ngubiak balong, anak saya ikut ngubiak balong. Kakinya bengkak-bengkak, saya biarkan. Mereka harus tumbuh menjadi anak yang hebat dalam linkungannya.
Isteri Anda kelihatan seorang ibu yang cantik. Bagaimana Anda mendapatkannya?
Mojang ini. (Sambil menunjuk ke arah Kabag Humasnya Ibu Nina Meinawati). Ya, cantik. Pemimpin itu kan harus punya selera. Saya melihat, presiden itu rata-rata istrinya cantik-cantik. Tidak ada salahnya, saya pun kalau bupati, istrinya cantik. Begitu kan.
Mendapatkannya, ya biasa saja. Memperlihatkan sikap keegoannya, memperlihatkan sikap biasalah. Kalau ingin dapatkan perempuan cantik, kita kan harus kelihatan seperti pandai.
Di mana ketemunya pertama kali?
Di Purwakarta, di rumah dinas bupati. Yang menjodohkan malah dia. Jadi, kalau mendapatkan perempuan cantik kan kita harus percaya diri dan sedikit kita sering berbohong, gitu. Akhirnya dapat. Kalau sudah dapat kemudian isteri kita, tahu kita aslinya kan. Ia menyesal, gimana, sudah jadi isteri, akhirnya diterima apa adanya kan.
Melihat penampilannya, cukup banyak kali kontribusinya untuk mendorong kepemimpinan Anda?
Ya, cukup banyak. Kalau saya tidak punya isteri yang sabar, yang bisa menerima keadaan, yah sudah berantakan. Tapi karena isteri saya selalu menerima, bahkan dari segi sistem, sangat menghormati saya sebagai pemimpin di keluarga. Dan tahu watak keras saya kalau sudah bersikap. Isteri saya itu kan sudah dibiasakan oleh saya untuk tidak diantar pakai mobil. Sekali-kali naik angkot pergi ke pasar, tidak boleh perintah staf. Istri saya tidak boleh perintah staf saya. Tidak boleh mencampuri urusan saya sebagai kepala daerah. Tidak bisa isteri saya nitip orang untuk jabatan tertentu. Istri saya nggak bisa. Dia tetap lebih banyak berperan sebagai ibu rumah tangga. Ibunya anak-anak. Saya lebih bangga isteri saya menjadi ibunya anak-anak. Dan lebih baik isteri saya melahirkan anak-anak yang kuat dan soleh.
Dan itu bisa dilakukan karena ibunya memang hebat?
Dan saya termasuk lelaki yang sangat konvensional. Jadi sikap saya sangat primitif sebagai suami. Bukan laki-laki modern seperti kebanyakan orang.
Terimakasih. Anda sangat memberikan wawasan yang baik. Bisa dibagi ke kepala daerah yang lain?
Sama-saama, terimakasih. mti/crs-benhard sihite
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)