
Di Al-Zaytun, pernikahan bukan sekadar seremoni dua insan, tapi peristiwa kebangsaan yang sarat nilai. Dalam nuansa sederhana namun penuh makna, pernikahan Fajar Sofyan dan Zaytunah binti Abdul Halim menjadi panggung spiritual, intelektual, dan kebudayaan, dimulai dengan lagu Indonesia Raya tiga stanza hingga nasihat hidup yang menyentuh. Ikatan ini menegaskan bahwa membangun rumah tangga bisa sekaligus membangun peradaban.
Oleh: Ali Aminulloh
Pernikahan bukan sekadar penyatuan dua insan, tetapi juga merupakan ibadah agung yang dijalankan dalam jangka panjang. Ia adalah syariat ilahi yang menjadi washilah (perantara) bagi keberlangsungan umat manusia. Melalui pernikahanlah kehidupan terus berlanjut, melahirkan generasi baru untuk meneruskan estafet peradaban. Tidak berlebihan jika pernikahan disebut sebagai salah satu peristiwa agung dalam sejarah umat manusia—mitsaqan ghalidza—sebuah perjanjian yang berat, sakral, dan penuh tanggung jawab.
Pernikahan juga bisa dimaknai dari berbagai sudut pandang. Ia bisa menjadi ajang pesta, wahana silaturahim, penguat jaringan kekeluargaan, bahkan sarana diplomasi antara dua kerajaan. Di beberapa daerah, pernikahan menjadi kesempatan bisnis. Namun lebih dari itu, ia juga bisa menjadi panggung transformasi keilmuan—perjumpaan tokoh, kerabat, dan kolega, sekaligus menjadi ruang kontemplasi akan nilai-nilai luhur yang membentuk peradaban.
Seperti halnya pernikahan Fajar Sofyan bin Supardi dan Zaytunah binti Abdul Halim, yang digelar pada Sabtu, 14 Juni 2025, di Wisma Tamu Al-Ishlah Al-Zaytun. Prosesi pernikahan yang berlangsung khas dengan gaya Al-Zaytun: sederhana namun sarat makna. Sebuah penanda bahwa keagungan tidak selalu ditampilkan lewat kemewahan, tapi lewat nilai-nilai luhur dan kematangan spiritual.
Simbol Kebangsaan dalam Sebuah Prosesi Sakral
Prosesi dimulai dengan sesuatu yang unik dan monumental: menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam tiga stanza. Semua hadirin—keluarga mempelai, tamu undangan, bahkan petugas KUA—larut dalam penghayatan mendalam. Lagu dipimpin oleh Agung Rijoto, WNI keturunan Shanghai sekaligus sahabat Al-Zaytun. Dari bait ke bait, semangat kebangsaan merasuki suasana pernikahan: Seruan Indonesia bersatu, ajakan mendoa agar Indonesia bahagia dan seruan untuk berjanji agar Indonesia abadi”.
Pernikahan pun bergeser dari sekadar seremoni religius menjadi momentum kebangsaan. Nilai-nilai luhur dalam bait lagu Indonesia Raya menyatu dalam prosesi, membangun makna baru bahwa pernikahan juga merupakan bagian dari perjuangan membangun Indonesia yang abadi.
Selanjutnya, dilakukan prosesi serah terima calon pengantin, sebuah tradisi yang berakar dalam budaya Nusantara. Bertindak sebagai wakil pengantin pria adalah Ust. Suwandi, S.H., Guru MA Al-Zaytun, dan dari pihak pengantin wanita adalah Drs. Miftakh Jafar Syubbani, M.Pd., Pakdenya (Ua) Zaytunah sekaligus eksponen YPI Al-Zaytun. Momen ini menjadi ajang perkenalan dua keluarga besar, simbol penyatuan dua garis sejarah, dua harapan, dan dua semesta yang kini menjadi satu.
Akad, Nasihat, dan Tanda Awal Sebuah Perjalanan
Prosesi utama dimulai dengan pembacaan surat permohonan dari calon pengantin wanita kepada ayahnya sebagai wali. Dilanjutkan dialog antara wali nikah dan calon mempelai pria, yang berisi konfirmasi permohonan anaknya, penjelasan tentang identitas keluarga, hingga rincian mahar. Dengan penuh khidmat, wali mengabulkan permohonan itu dan akad nikah pun dilangsungkan dengan ayah kandung sebagai wali nikah langsung.
Pernikahan ini disaksikan dua saksi terhormat: Datuk Sir Imam Prawoto, KRSS, MBA, CRBC dari pihak perempuan, dan Syafruddin Ahmad, S.H., M.H. dari pihak laki-laki. Setelah akad dinyatakan sah, para pihak menandatangani berkas pernikahan yang dipimpin oleh Kepala KUA H. Kosim, S.Ag., M.Si., dilanjutkan dengan penyerahan buku nikah dan mahar kepada mempelai perempuan.
Satu momen penting dan penuh makna adalah penyampaian nasihat pernikahan oleh Pakle (paman) pengantin perempuan, Drs. Amich Al-Humami, M.Ed., Ph.D. Nasihat itu menjadi titik puncak kontemplasi spiritual tentang makna membangun rumah tangga, menjadi manusia bertanggung jawab, dan mengemban amanah Allah dalam bentuk pasangan hidup.

Dalam tradisi Islam, pernikahan bukan sekadar penyatuan dua insan, tetapi juga merupakan ibadah agung yang menjembatani cinta, iman, dan keturunan. Drs. Amich Al-Humami, M.Ed., Ph.D., dalam nasihat pernikahannya, mengingatkan bahwa menikah adalah sunnah Rasulullah yang sarat berkah. Pernikahan menjadi sarana melanjutkan generasi manusia yang bertakwa dan berilmu, sekaligus menjaga kehormatan diri dari godaan syahwat yang merusak. Menikah bukan menunggu kaya, tetapi tentang kesiapan lahir batin untuk memikul amanah besar. Allah sendiri telah menjamin, bahwa siapa pun yang menikah dengan niat tulus akan diberikan keluasan rezeki.
Al-Qur’an menyebut akad nikah sebagai miitsaqan ghalidza, perjanjian yang kukuh, yang hanya tiga kali disebut dalam wahyu Ilahi — salah satunya adalah dalam konteks hubungan suami-istri. Amanah ini bukan ringan: seorang laki-laki menerima tanggung jawab penuh dari wali perempuan, menjadi pemimpin yang wajib menjaga, membimbing, dan menafkahi istri dengan cara yang baik. Rasulullah sendiri mencontohkan bahwa pernikahan adalah bentuk tertinggi dari komitmen, bukan hanya antara manusia, tetapi juga di hadapan Allah. Maka dari itu, pernikahan adalah janji yang tidak boleh dikhianati dan harus dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan.
Ananda Zaytunah dan Fajar Sofyan kini telah mengikat janji dalam akad yang suci. Mereka memulai perjalanan sebagai suami dan istri dalam bingkai agama yang luhur. Semoga keduanya membentuk keluarga sakinah, penuh cinta dan rahmat, serta diberkahi keturunan yang saleh dan salehah. Sebuah rumah tangga yang bukan hanya tempat bernaung, tetapi juga ruang untuk tumbuh bersama, saling menguatkan dalam iman dan mencetak generasi masa depan yang menjadi permata bagi bangsa dan umat.
Usai nasihat, kedua mempelai menyampaikan permohonan doa restu dengan mendatangi dan menyalami satu per satu keluarga besar. Tak ada tangis haru, yang ada hanya sinar kebahagiaan dan kebanggaan dalam setiap wajah.
Epilog: Antara Doa, Seni, dan Harapan Masa Depan
Acara ditutup dengan ucapan hamdalah, lalu para tamu memberikan ucapan selamat, berfoto bersama, dan menikmati hidangan yang disediakan. Suasana kebahagiaan dilengkapi dengan pertunjukan seni yang memikat—dari gendingan tradisional, alunan keroncong, hingga lagu-lagu pop. Panggung dibuka bagi siapa pun yang ingin unjuk kebolehan menyumbangkan suara, menjadikan pernikahan ini sebagai ruang ekspresi bersama.
Tepat pukul 17.00, seluruh rangkaian prosesi pun ditutup secara resmi. Para tamu kembali dengan membawa kesan, bukan hanya tentang indahnya pernikahan Fajar dan Zaytunah, tetapi juga tentang bagaimana pernikahan bisa menjadi ladang nilai: tempat menyemai cinta, iman, ilmu, seni dan kebangsaan.
Pernikahan ini menjadi saksi bahwa ketika nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan dirangkai dalam satu ikatan perjanjian suci, maka lahirlah bukan sekadar pasangan baru—tetapi babak baru untuk peradaban yang lebih bermakna. (AM/Al-Zaytun Indonesia)