Rekor Unik PDI Perjuangan

 
0
416
Foto kenangan dua petugas partai Jokowi dan Megawati Soekarnoputri pada Peringatan Hari Lahir Pancasila di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu 1 Juni 2013

Catatan kilas jalan perjuangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai kader di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri memiliki keunikannya sendiri. Menghadapi tekanan pembonsaian selama 32 tahun Orde Baru dan gelombang pengkhianatan internal paska reformasi, tetapi tetap eksis, bahkan tampil sebagai pemenang dalam Pileg dan Pilpres 2014 dan 2019. Sementara mereka (kader) yang berkhianat, sejauh ini, tidak satu pun yang ‘menjadi apa-apa’, hanyut entah ke mana. Unik. Apakah bakal ada kader terbaik yang berkhianat akan memecahkan rekor unik ini?

Perihal tekanan pembonsaian dan pembantaian (Kudatuli) dan sebagainya semasa Orde Baru, terlalu panjang bila diuraikan dalam catatan kilas ini. Itu telah menjadi sejarah kelabu jalan terjal demokrasi di Indonesia menuju reformasi 1998. PDI dipecah menjadi dua: PDI Suryadi (bentukan pemerintah) dan PDI Mega (Kongres Surabaya 1996). Lalu, PDI Mega bermetamorfosa menjadi PDI Perjuangan (1 Februari 1999) dan menjadi kekuatan politik pra dan paska reformasi hingga saat ini. Sementara, PDI Suryadi akhirnya ‘tidak menjadi apa-apa’.

Menjelang Pemilu 1999 beberapa elit partai politik negeri ini menggempur PDIP sebagai musuh bersama. Pada masa tenang tahapan Pemilu 1999, jutaan spanduk dan tabloid yang menyudutkan PDIP disebar di seantero negeri, bernafas politik fundamentalis Islam. Tetapi uniknya, PDIP dengan Caleg apa adanya justru tampil sebagai pemenang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi DPR. Rekor pemenang Pemilu paska reformasi yang belum terpecahkan. Bukti, rakyatlah yang punya kedaulatan bukan hasrat dan skenario politik kumpulan elit politik.

Walaupun kemudian di Sidang Umum MPR 1999, kemenangan PDIP itu digembosi oleh yang menamakan diri Poros Tengah dan Golkar. Untungnya, Gus Dur yang brilian dengan kekuatan politik PKB (13.336.982 suara atau 12,61 persen, 51 kursi DPR), dalam keadaan kesehatan mata tidak prima, berhasil memanfaatkan ‘kegalauan’ Poros Tengah dan Golkar tersebut sehingga dia terpilih menjadi Presiden, mengalahkan Megawati. Kemudian, Gus Dur pun bermanuver dalam pemilihan Wakil Presiden. Akbar Tandjung (Golkar dan Poros Tengah) yang dijanjikan akan didukung PKB menjadi Wakil Presiden kena prank. Gus Dur (PKB) justru merangkul Megawati (PDIP) dan terpilih menjadi Wakil Presiden. Kedua sahabat politik itu pun bersatu kembali.

Tetapi, Gus Dur tampaknya kebablasan terlalu ‘meremehkan’ kemampuan politik Megawati. Gus Dur terkesan ingin menguasai PDIP dengan ambisi dan ‘kekuatan uang’ ingin menempatkan orangnya memimpin PDIP pada Kongres I PDIP 27 Maret-1 April 2000 di Semarang, Jawa Tengah. Gus Dur salah hitung dan gagal total. Tidak berhenti di situ, Presiden Gus Dur memecat Laksamana Sukardi, kader PDIP ‘kesayangan’ Megawati, dari kursi Menteri BUMN; hampir bersamaan dengan memecat Jusuf Kalla (Golkar) dari jabatan Menteri Perdagangan, dan Hamzah Haz (PPP) dari kursi Menko Kesra. Badai politik pun terjadi. Berujung pemberhentian Gus Dur dari jabatan Presiden pada Sidang Istimewa MPR 2001. Megawati menjadi Presiden dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden (2001-2004). Sementara pengaruh politik Gus Dur pun semakin surut, berpuncak pada ‘terkudetanya’ Gus Dur dari PKB oleh Muhaimin Iskandar, murid dan keponakannya sendiri.

Saat itu kondisi ekonomi dan politik Indonesia masih sangat terlalu berat setelah krisis multidimensional 1998. Namun, Megawati berhasil melewatinya dan mulai menstabilkan dan merecoverynya. Namun, PDIP (dan PPP) belum terkonsolidasi sebagai partai penguasa. Maklum setelah 32 tahun ditindas Orde Baru. Di samping itu, ada dua menteri kepercayaannya bermanuver, mem-prank dan mengkhianatinya. Pada Pemilu 2004, PDIP melorot ke urutan kedua dengan perolehan suara 21.026.629 (18,53%) memperoleh 109  kursi DPR (19,82%), diungguli Partai Golkar 24.480.757 suara (21,58%) dan 127 kursi DPR (23,09). Kemudian, dalam Pilpres 2004 dan 2009, Megawati pun dikalahkan SBY.

Tetapi hal itu adalah tantangan eksternal PDIP. Keunikan yang ingin dicatat dalam kolom ini adalah pembelotan atau pengkhianatan kader internal PDIP sendiri. Gelombang pengkhianatan kader PDIP terbesar pada era reformasi terjadi pada tahun 2005. Tepatnya, pada kongres PDI-P 2005 sekelompok kader, di antaranya Laksamana Sukardi dan Roy BB Janis, yang disokong Arifin Panigoro menentang pemberian hak istimewa (prerogatif) kepada ketua umum partai dan lalu mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang mengambil sistem kepemimpinan kolektif berjumlah 35 orang.

PDP sempat ikut Pemilu 2009, tapi hanya memperoleh 896.660 suara (0,86%). Partai ini pun kemudian terpecah dua yakni kubu Laksamana Sukardi dan kubu Roy B.B. Janis. Dan, tidak menjadi apa-apa lagi.

Demikian juga beberapa partai yang sempat berdiri bernafas (berakar, berlatar) PNI, Marhaen, PDI dan PDIP, sejauh ini juga tidak ada yang berjaya. Umumnya layu sebelum berkembang, tidak menjadi apa-apa. Demikian juga kader-kader PDIP pembelot lainnya. Jauh berbeda dengan Golkar. Beberapa partai yang tokohnya keluar dari Golkar justru berkembang, seperti Demokrat, Gerindra, dan Nasdem, serta Hanura dan PKPI yang sempat berkibar.

Itulah keunikan dan keistimewaan PDI Perjuangan di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri. Apakah Budiman Sudjatmiko atau Effendi Simbolon bahkan atau mungkin Jokowi (jika akhirnya berkhianat mendukung Prabowo) akan memecahkan rekor unik ini? Jangan-jangan malah juga mengikut menjadi tidak apa-apa?

Advertisement

Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini