Pelatihan Pelaku Didik Jilid 3: Membangun Pendidikan Berkarakter dari Dalam

0
12
Pelatihan Pelaku Didik Jilid 3
Menyanyikan Lagu Indonesia Raya, Pelatihan Pelaku Didik Jilid 3 di Masjid Rahmatan Lil Alamin, Kampus Al-Zaytun, Ahad, 15 Juni 2025
Lama Membaca: 6 menit

Al-Zaytun, Indramayu – Pelatihan Pelaku Didik Jilid 3 kembali digelar pada Ahad, 15 Juni 2025, di Masjid Rahmatan Lil Alamin. Ini adalah sesi ketiga dari rangkaian pelatihan mingguan yang dimulai sejak 1 Juni dan akan berlanjut hingga Milad Al-Zaytun pada akhir Agustus. Kali ini, Al-Zaytun menghadirkan Prof. Dr. Sri Widiyantoro, M.Sc., Ph.D., IPU, guru besar ITB dan ahli seismologi tomografi kelas dunia, sebagai narasumber utama.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

Lebih dari dua ribu peserta dari berbagai latar belakang hadir, terdiri dari guru, wali santri, santri, eksponen hingga petani, untuk mengikuti acara bertema “Menuju Transformasi Revolusioner Pendidikan Berasrama demi Terwujudnya Indonesia Modern di Abad 21 dan Usia 100 Tahun Kemerdekaan.” Kegiatan dimulai sejak pukul 05.30 WIB dengan olahraga kebugaran kaki (OKK), sarapan bersama, dan dilanjutkan sesi utama di masjid. Rangkaian acara mencakup pembukaan, lagu Indonesia Raya tiga stanza, sambutan panitia, pemaparan narasumber, arahan Syaykh Al-Zaytun, sesi tanya jawab, dan penutup.

Prof. Sri Widiyantoro sebelumnya menjabat sebagai dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB selama dua periode (2011–2020). Ia memiliki rekam jejak akademik dan riset yang luas, dengan lebih dari 220 publikasi ilmiah, h-index 30, serta kolaborasi dengan institusi global seperti MIT, University of Cambridge, ANU, dan US Geological Survey. Dalam paparannya, ia menekankan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada ilmu pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kecakapan berpikir.

Penekanan tersebut tidak berdiri sendiri. Pemaparan Prof. Sri Widiyantoro menjadi bagian penting dalam menyuntikkan perspektif ilmiah berbasis riset ke dalam ekosistem pendidikan Al-Zaytun. Ia tidak hanya berbicara soal geofisika dan teknologi bumi, tetapi juga menyentuh aspek strategis: bagaimana pendidikan tinggi dapat menjadi ujung tombak transformasi bangsa bila ditopang oleh karakter kuat, visi berkelanjutan, dan keterhubungan antara ilmu dan nilai.

Sebelum sesi utama dimulai, suasana pelatihan telah dihidupkan oleh wawancara langsung bersama peserta dari berbagai latar. Kirana Askar Palupi, pelajar kelas 11 IPSB Mahad Al-Zaytun, menyampaikan refleksi tajam tentang sistem pendidikan Indonesia yang dinilainya terlalu sering meniru sistem negara lain tanpa menyesuaikan realitas lokal. Ia menginginkan pendidikan yang membentuk karakter Gen Z agar lebih inisiatif dan percaya diri, alih-alih pasif dan ikut-ikutan.

Dari sisi pelaku pendidikan dan masyarakat umum, hadir pula suara kritis dari Bang Udin, peserta asal Jawa Timur yang juga menjadi YouTuber di CBU – Celoteh Bung Udin. Dia menyoroti pentingnya pendidikan berjiwa, tidak hanya struktural, tetapi juga menyentuh ruh. Menurutnya, Indonesia belum benar-benar merdeka dalam pendidikan selama kurikulum terus berganti tiap pergantian pemimpin. Ia mengapresiasi Al-Zaytun sebagai model pendidikan berkarakter yang nyata bebas dari praktik bullying dan mendidik secara berkesinambungan.

Sementara itu, Pak Suharmanto, peserta dari Sleman, Jawa Tengah, yang juga merupakan pelaku pendidikan, menyampaikan kekaguman mendalam atas sistem pendidikan terpadu di Al-Zaytun. Ia menyebut bahwa seluruh ekosistem kehidupan di kampus ini, dari pertanian, pangan, hingga lingkungan, menjadi inspirasi konkret bagi pembentukan lembaga pendidikan masa depan.

Dalam prakata panitia, Ust. Muhammad Iqbal Aulia menegaskan bahwa pelatihan ini merupakan bagian dari gerakan besar yang telah digagas oleh Syaykh Al-Zaytun, AS Panji Gumilang, sejak Milad Al-Zaytun ke-25. Gagasan tersebut terangkum dalam narasi “Indonesia Raya 1000 Tahun ke Depan” dengan semangat remontada from within yakni kebangkitan dari dalam.

Melalui ekosistem pendidikan yang menyatu antara formal, nonformal, dan informal, serta pendekatan berasrama berkelanjutan, pelatihan ini menjadi ikhtiar konkret membentuk generasi yang siap menyongsong Indonesia Emas 2045. Pilar utamanya adalah pengembangan kurikulum abad 21 melalui pendekatan L-STEAM (Low Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematics), yang menjembatani ilmu dengan keterampilan dan nilai-nilai karakter.

Advertisement


Ilmu, Iman, dan Karakter sebagai Landasan Transformasi

Di hadapan lebih dari dua ribu peserta dari berbagai latar, pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pengurus asrama, hingga petani dan praktisi pendidikan, Prof. Dr. Sri Widiyantoro, M.Sc., Ph.D. membuka pemaparannya dengan menyebut dirinya bukan ahli pendidikan, melainkan seorang ilmuwan yang ingin ikut belajar dari ekosistem Al-Zaytun yang disebutnya “terstruktur dan terintegrasi secara luar biasa, dari PAUD hingga universitas.

Sebagai ahli seismologi tomografi dengan pengalaman riset dan akademik lintas benua (Jepang, Australia, Amerika), Prof. Sri Widiyantoro menekankan bahwa pendidikan sejati tidak hanya melibatkan ilmu akademik, tetapi juga “pembentukan akal, adab, dan akhlak.” Ia mendorong integrasi antara ilmu, iman, dan karakter, serta mengajak agar peserta didik dikembangkan sebagai calon pemimpin yang berpikir kritis, berempati, dan mampu hidup dalam kompleksitas global.

Dalam paparannya, ia menyampaikan bahwa esensi pendidikan adalah “learning to think and learning to solve problems.” Dua hal ini, menurutnya, merupakan fondasi utama dalam menyiapkan generasi emas 2045. Ia menyoroti pentingnya pembelajaran yang tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga dalam ekosistem kehidupan sehari-hari, seperti model pendidikan berasrama yang diterapkan di Al-Zaytun.

“Kalau waktu bisa dimundurkan,” katanya, “saya ingin sejak kecil tinggal di asrama seperti ini.” Ia mengenang pengalamannya di Kyoto dan Canberra, serta menekankan bagaimana kedisiplinan dan keteladanan para profesor khususnya di Jepang, membangun karakter dan budaya kerja yang kuat, yang kemudian ia terapkan kepada mahasiswanya di ITB.

Prof. Sri Widiyantoro juga menggarisbawahi urgensi lifelong learning, literasi digital, dan pemanfaatan teknologi seperti AI (Artificial Intelligence) secara bijak. Dalam konteks ini, ia mendorong guru dan dosen untuk menjadi coach, fasilitator, dan role model bagi peserta didik, bukan sekadar penyampai materi. “Guru yang dibutuhkan Indonesia emas adalah yang visioner, adaptif, mendidik karakter, dan mendorong pemikiran kritis dan kreatif,” ujarnya tegas.

Ia menutup presentasinya dengan pesan penting: “Jika ingin melihat Indonesia Emas 2045, lihatlah pendidikan hari ini. Dan jika ingin melihat pendidikan hari ini, lihatlah siapa gurunya.”

 

Kembali ke Akar Peradaban: Pidato Penutup Syaykh Panji Gumilang

Dalam pidato penutup, Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang menyampaikan pidato reflektif yang mengajak peserta untuk menengok ulang akar peradaban pendidikan dan urgensi membangun tatanan baru yang berbasis nilai dan disiplin. Dengan gaya khasnya, Syaykh Panji Gumilang menguraikan bahwa pendidikan yang diimpikan bukanlah sekadar instrumen teknokratis, melainkan “alat membentuk manusia seutuhnya untuk menjaga ibu pertiwi.”

Syaykh Panji Gumilang menegaskan pentingnya memahami frasa tema secara tepat: transformasi revolusioner pendidikan, koma, berasrama. Bukan “pendidikan berasrama” yang hanya sekadar soal asrama fisik, tetapi pendidikan yang memungkinkan perubahan total dalam jiwa, pola pikir, dan tata hidup peserta didik. Ia menekankan bahwa model pendidikan berasrama adalah warisan peradaban sejak zaman Yunani Kuno, dari Athena dan Sparta, yang melahirkan filosof dan patriot melalui kurikulum ketat dan disiplin: Agoge.

Syaykh Panji Gumilang menyambungkan pemikiran filsuf seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi, hingga Francis Bacon, dan menyebut novum gradum sebagai tawaran konseptual Indonesia untuk membangun masa depan. Baginya, Al-Zaytun bukan hanya lembaga pendidikan, tapi cikal-bakal model pendidikan nasional baru, “Al-Umm Madrasatun Kubro”, ibu pertiwi sebagai madrasah besar yang mengasuh anak-anaknya secara utuh melalui pendidikan karakter, spiritualitas, dan keilmuan.

Syaykh Panji Gumilang juga mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar pencapaian formal. Ia menyebut sejumlah presiden RI yang berlatarkan pendidikan berasrama, dari Bung Karno hingga SBY, sebagai contoh bahwa disiplin dan karakter terbentuk kuat dalam sistem berasrama. Ia bahkan menyebut bahwa pendidikan berasrama bukanlah “pesantren” dalam pengertian sempit, tetapi sistem asrama terpadu berbasis kurikulum abad 21 (L-STEAM) yang memadukan sains, teknologi, seni, dan nilai-nilai kehidupan.

Dalam gaya sindiran tajam namun humoris, Syaykh Panji Gumilang menyinggung realitas eksploitasi sumber daya, seperti nikel di Raja Ampat, yang menurutnya “menggali topsoil demi laba, bukan demi masa depan.” Ia menegaskan bahwa novum gradum adalah alternatif yang tidak menggali tanah, tapi menumbuhkan manusia. Sistem ini, katanya, “harus disebar ke 500 daerah di Indonesia, masing-masing dengan 300 hektare tanah yang mandiri dan terpadu.”

Pesannya jelas: “Jadikan pendidikan sebagai pondasi peradaban. Bangun sistem yang tidak terputus. Wujudkan Indonesia yang benar-benar merdeka dari dalam.”

Tak hanya menyentuh aspek filosofis, Syaykh Panji Gumilang juga turun ke ranah praktis. Dalam sesi interaktif bersama peserta dari komunitas petani P3KPI, ia memberikan arahan teknis untuk meningkatkan produktivitas pertanian hingga 7 ton per hektar, dengan pendekatan sains, teknologi, dan nilai-nilai Pancasila. Ia menyebut praktik pertanian bukan hanya soal hasil, tetapi juga cermin keimanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. “Petani Pancasilais itu tidak berkata ‘cuma’, tapi selalu bersyukur,” tegasnya.

Lebih jauh, Syaykh Panji Gumilang membuka peluang beasiswa pendidikan bagi anak-anak petani anggota P3KPI untuk belajar di Al-Zaytun, dengan syarat komitmen melanjutkan pendidikan hingga lulus kelas 12. “Kalau mengakui sekolah di Al-Zaytun tertib dan unggul, maka masukkan anak-anak ke sini,” katanya. Tawaran ini disambut haru oleh peserta dan menandai sinergi strategis antara pendidikan, ketahanan pangan, dan keadaban bangsa.


Suara Generasi dan Harapan Masa Depan

Sesi tanya jawab menjadi refleksi mendalam tentang tantangan generasi muda hari ini. Kirana Sekar Palupi, pelajar kelas 11, mengungkap kegelisahan generasinya, yang merasa belum menemukan sense of purpose atau panggilan hidup. Ia mengkhawatirkan jika ketidakpastian ini dibiarkan, bonus demografi 2045 bisa berubah menjadi bencana demografi.

Prof. Sri Widiyantoro menanggapi dengan kisah pribadinya. Ia mengajak generasi muda untuk tenang, menggali minat dengan jujur, dan berjalan sesuai aliran hidup tanpa beban ekspektasi berlebihan. “Jangan khawatir,” katanya. “Dengan passion dan disiplin, kalian akan sampai pada tujuan. Generasi kalian justru lebih siap dari generasi kami dulu.”

Sementara itu, peserta lain menanyakan bagaimana membuat pelajar senang belajar. Prof. Sri Widiyantoro menjawab bahwa pembelajaran harus dimulai dari rasa senang, “learning must begin with joy”. Ia mendorong pendekatan pendidikan yang ramah minat dan tidak kaku, agar siswa tidak hanya mengejar nilai, tapi membentuk karakter dan pengetahuan sebagai bekal masa depan.

Akhir kata, pelatihan Pelaku Didik Jilid 3 ini bukan sekadar agenda pelatihan. Ia adalah bagian dari gerakan strategis membentuk manusia Indonesia baru: unggul dalam ilmu, kokoh dalam iman, dan teguh dalam adab. Dengan melibatkan ilmuwan, pendidik, petani, dan pelajar dalam satu ekosistem pendidikan berasrama, Al-Zaytun menegaskan bahwa pendidikan adalah proyek peradaban, bukan sekadar urusan kurikulum.

Syaykh Panji Gumilang dan Prof. Sri Widiyantoro, dalam narasi dan pendekatan yang berbeda, menyatu dalam semangat yang sama: menyiapkan generasi emas Indonesia bukan dengan retorika, melainkan pembiasaan, keteladanan, dan penguasaan ilmu yang utuh. (Atur/TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments