Pengabdian Sepanjang Hayat
Achmad Tirtosudiro
[ENSIKLOPEDI] Ahmad Tirtosudiro adalah seorang tokoh yang tak lelah mengabdikan diri dalam berbagai bidang dan jabatan di negeri ini. Mulai dari karyawan kereta api sampai menjadi jenderal, Kabulog, duta besar, Dirjen dan terakhir sebagai Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) periode 1999-2003. Mantan Pj. Ketua Umum ICMI periode 1997-2000, ini juga berperan dalam mengantarkan BJ Habibie menjadi presiden.
Ia menggantikan posisi BJ Habibie di ICMI ketika Habibie dalam proses pencalonan Wakil Presiden. Achmad sendiri sudah aktif di ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) sejak persiapan berdirinya. ICMI yang didirikan pada awal Desember 1990 tidak berpolitik. . Namun, menurut Ahmad, sebagai organisasi cendekiawan, harus berani dan mampu membantu pemerintah. Achmad Tirtosudiro menjadi Ketua Umum ICMI wilayah DKI Jakarta periode 1991-1996. Dalam posisinya di ICMI, ia banyak berdiskusi dengan BJ Habibie tentang pembangunan masyarakat madani dan Indonesia baru.
Salah satu yang paling utama disoroti Achmad Tirtosudirto adalah masalah pendidikan. Bagi suatu bangsa, pendidikan adalah wajah yang selalu akan dilihat pertama kali sebagai parameter kualitas anak bangsa. Pendidikan tidak bisa ditelaah secara sambil lalu. Sebagai titik sentral citra bangsa yang determinan, pendidikan berkembang sedemikian dinamik selaras dengan dinamika kehidupan dua komponen yakni guru dan murid.
Menurutnya, harus diakui dengan lapang dada, bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Sejak awal, Indonesia terjebak dalam dua pilihan sulit yang belum terpecahkan, yakni apakah harus mendahulukan education of mass ataukah education of quality, yang menurut Achmad keduanya harus berjalan secara terpadu.
Ketika berbincang dengan wartawan Tokoh Indonesia di kamar kerjanya (Ketua DPA), ia juga menyoroti masalah pemerintahan yang bersih dan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Menurutnya, hal ini memang sudah terjadi sejak jaman kolonial Belanda hingga melahirkan seorang tokoh Multatuli atau Douwes Dekker. Multatuli mengkritik pemerintahan korup, akibatnya dipecat dari jabatannya sebagai asisten residen, kemudian meninggal secara tragis di negerinya.
KKN pun akhirnya memuncak pada pemerintahan republik, baik semasa pemerintahan Soekarno mau pun era Soeharto hingga saat ini. Terjadinya kasus penyelundupan uang ke luar negeri oleh seorang menteri di zaman Soekarno — namun wartawan yang membongkarnya diseret ke pengadilan — merupakan contoh kasus korupsi yang memalukan.
Belakangan KKN malah makin merajalela. Ironisnya, tokoh teladan semakin langka. Berbagai alasan yang masuk akal membela KKN diciptakan. Alasan paling klasik adalah kecilnya gaji. Akhirnya terciptalah kejahatan-kejahatan berkrah putih.
Apa langkah mengatasinya? Menurut Achmad, hukum harus ditegakkan. Penegak hukum harus digaji dengan layak. Pemerintahan harus memiliki anggota kabinet yang memenuhi persyaratan kualitatif, yakni bermoral tinggi dan kredibilitasnya, mendapat dukungan politik yang cukup untuk menyusun program dengan orientasi mensejahterakan rakyat. Di pihak lain, iklim moral masyarakat pada umumnya dan pelaku bisnis pada khususnya harus terus dibenahi dengan sistem penegakan hukum yang tegas.
Sebagaimana yang diyakininya, lingkungan keluarga merupakan lingkar pertama yang harus terus menerus dibina untuk mengembangkan iklim yang bermoral, sehingga akan menentukan warna moral secara makro.
Ada sepuluh langkah buah pikiran Achmad untuk memberantas korupsi. Pertama, pemerintah harus punya nyali baja untuk memberantasnya. Kedua, terapkan hukum seberat-beratnya untuk kedua belah pihak, baik si penggoda maupun yang tergoda. Ketiga, benahi sisitem undang-undang atau peraturan yang rapuh yang memberi peluang perkorupsian. Keempat, galakkan efissiensi, rampingkan berokrasi.
Kelima, anggaran yang di tempat basah harus dibuat pas-pasan agar tidak terjadi peluang korup. Keenam, pemerintah harus punya target dalam menyelesaikan setiap kasus korupsi. Ketujuh, manfaatkan sebesar-besarnya jasa LSM sejenis ICW. Kedelapan, beri imbalan yang cukup untuk pelapor pelaku korupsi. Kesembilan, pers harus pro aktif secara simultan mengkampanyekan anti korupsi. Dan, kesepuluh, himbauan kepada pejabat atau pemimpin agar tidak hanya bicara. Buat langkah bersejarah yang mendapat dukungan dari rakyat, bukan cuma numpang lewat saja karena mempertahankan kepentingan parpol/koalisi yang nota bene hanya berputar sekitar kekuasaan.
Doa Ibu
Doa seorang ibu, yang melahirkannya 8 April 1922, dengan nama Mohammad Irsyad dan panggilan Mamit, yang kemudian menyandang nama Ahmad Tirtosudiro, kiranya anaknya menjadi seorang jenderal, akhirnya menjadi kenyataan. Kekuatan doa yang ampuh, ibu H Aminah yang bersuamikan M.Tirtosudiro dari Plered, Kecamatan Purwakarta, Jawa Barat ini, telah mengantarkan sang anak meniti karir dari seorang karyawan kereta api hingga mencapai puncak dan benar-benar menjadi seorang jenderal (prajurit) dan hamba Allah. Apa pun pangkatnya di kemiliteran, Tirtosudiro mengaku dirinya tetap seorang prajurit yang dalam setiap gerak-geriknya di bawah pengawasan mata Yang Maha Kuasa.
“Sebagai hamba Allah, dan seharusnya bagi muslim di mana pun, mata Allah mengamati gerak-gerik kita dalam kehidupan. Maka barang siapa pun melakukan kejahatan seberat zarrah pun, Allah SWT akan melihatnya,” demikian Achmad menyebut satu ayat dalam Surah 99;7-8.
Kalimat itu, menurut pengakuannya tetap tergantung pada sudut batinnya dalam perjalanan hidupnya hingga hari tuanya. Pesantren Legok, dengan H. Thoha sebagai pimpinan dan sekaligus kakeknya, telah mencetak Mamit menjadi hamba Allah yang dalam perjalanan karir dan hidupnya diterangi suar imaniah.
“Tugas utama saya, memilih jalan lurus, sejauh yang saya yakini, lalu menjalaninya sejauh yang saya mampu. I’ll be the best as the best being, through the best way, Lillahi ta’ala,” katanya.
Tirtosudiro menyerahkan penilaian perilaku itu kembali kepadaNya. “Seseorang yang mengenal saya secara dekat, menjuluki saya sebagai seorang perfectionist dan juga menyebut saya si kaku,” ucapnya. “Ini akibat saya lebih mendengar AKA (Apa kata Allah) dari pada AKO (Apa kata orang).”
Keyakinan akan kebenaran yang dijalaninya, tergambar jelas tatkala Achmad mengemban tugas sebagai Kabulog pertama sejak didirikan tahun 1966. Saat itu, tuduhan pers terlontar bagai anak panah. Ketika Bulog terpaksa harus impor beras demi perut rakyat yang tak bisa menunggu, dengan harga lebih mahal dari harga dalam negeri sehingga harus defisit sejumlah Rp. 12 milyar. Masyarakat menyebut Bulog hanya political move. Achmad pun dituduh sekongkol nonpri. Namun, ia pun merasa tak perlu menjernihkan persoalan, karena ia yakin benar dan atasannya juga membenarkannya.
Terlahir dari ibu yang lingkungannya lekat dengan pesantren dan ayah sebagai pegawai menengah (ambtenar) yakni Kepala Stasiun Djawatan Kereta Api (DKA) di Ardjawinangun, Tjirebon tahun 1922-1928, Mamit merupakan sosok perpaduan dua lingkungan yang mengantar dirinya mampu berada di tengah pergaulan tingkat mana pun, baik priyayi, anak kampung mau pun pesantren. Kehidupan masa kecil, sebagaimana layaknya anak-anak lain seusianya, Mamik lekat dengan permainan seperti main klereng, adu jangkrik, layangan, adu muncang dan bermain sepak bola dengan jeruk bali yang dibubuy (dipendam dalam abu panas, supaya lembek).
Putra ke lima dari enam bersaudara ini tak menemui kesulitan mengawali masa pendidikan di sekolah, karena ayahnya sebagai pegawai DKA mempunyai hak untuk menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda. Tatkala sang ayah mendaftarkan Mohammad Irsyad (Mamit) ke HIS (Holand Inlandse School) di Cirebon, bertepatan dengan tahun Sumpah Pemuda (1928) namanya berubah menjadi Achmad.
Selama di HIS, Achmad tidak menetap di satu sekolah, karena ayahnya seringkali dipindahtugaskan. Pertama pindah ke HIS di Cimahi, ketika ayahnya pindah ke Plered, HIS Arjuna di Bandung, HIS Arjuna di Bogor (hingga tamat tahun 1936). Achmad dikenal sebagai anak yang cerdas, cepat menghitung di luar kepala dan lebih cepat dari guru-gurunya, sehingga dijanjikan diajak ke negeri Belanda oleh tuan Bruins, kepala sekolahnya.
Tahun 1936 hingga 1939 Achmad menyelesaikan sekolahnya di MULO Bogor (dulu letaknya di depan istana Bogor). Saat itu Achmad mengambil pelajaran fakultatif bahasa Perancis dan Jerman (Bahasa Belanda di sekolah itu sebagai bahasa pengantar dan bahasa Inggris pelajaran wajib). Prestasi Achmad cemerlang karena yang lulus hanya dua orang, yakni seorang Cina bernama Tan Fay Tjong dan dirinya. Achmad kemudian melanjut ke Algemeen Midelbare School (AMS) di Yogya setingkat SMA sekarang. Di sana tinggal di internaat (asrama) Budi Utomo.
Karena ingin mengambil ilmu Hukum dan Sastra, Achmad memilih AMS-A. Teman-teman Achmad yang mengambil jurusan Western klasik (bagian dari kurikulum pada AMS-A) adalah Usmar Ismail dan Rosihan Anwar. Menyelesaikan AMS dari tahun 1939 hingga 1942, Achmad pernah ditahan Jepang dan dijadikan satu dengan tentara Belanda, karena ia sebagai anggota Stadswacht. Dalam tahanan selama 3 bulan, karena kemampuannya berbahasa asing, Achmad diangkat menjadi pembantu dokter.
Menjelang Kemerdekaan
Bekal nasihat ayahnya yang berpemeo: “Jangan menjilat ke atas dan menginjak ke bawah” mewarnai sikap kepegawainnya bekerja di Djawatan Kereta Api, sebelum dirinya mengecap bangku kuliah. Tak sekedar bernaung di bawah bayang-bayang karier ayahnya di instansi tersebut, Ahmad berpijak pada modal warisan ayahnya, yakni berdisiplin, tepat waktu dan bekerja maksimal. Bekal lain yang dipegangnya adalah nasihat sang kakek, yakni ke mana pun pergi jangan melupakan iman dan Islam.
Salah satu yang tak dilupakannya adalah dia menolak lebih jauh untuk aktif dalam organisasi SBKA (Serkat Buruh Kereta Api). Pengaruh pergolakan kemerdekan yang memacu semangatnya, diakui banyak berpengaruh dalam pekerjaannya di DKA. Meski tak harus langsung terjun dalam keprajuritan, dirinya merasa, dengan bekerja dengan maksimal di kereta api, merupakan aplikasi dalam mempertanggungjawabkan dan meperjuangkan tanah air. Pada pergolakan kemerdekaan saat itu, Achmad mengajak seorang kiai yang juga seorang jagoan untuk mendorong semangat tempur para pejuang.
Tahun 1944, Achmad mengikuti pendidikan militer di Chuo Seinen kurensho dan mendapat pengetahuan maupun latihan-latihan dasar kemiliteran. Karena pernah memimpin pemuda di Balai Besar Kereta Api, Achmad dapat langsung memasuki angkatan di bawah H.A Nasution.
Salah satu yang mewarnai kehidupannya, adalah kehadiran Otto Iskandar Dinata, yang menginginkan Achmad menjadi salah seorang kadernya. Pak Otto lah yang membantunya untuk mendaftar menjadi Chudancho. Namun karena saat itu ia masih terlalu muda maka hanya diterima menjadi Shudancho.
Pada usia 23 tahun, yakni tahun 1945, Achmad menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Kereta Api, Bandung. Program ini dilakukan khusus untuk pencalonan pimpinan. Saat berita proklamasi tersebar luas, kegembiraan meliputi seluruh kota. Achmad merasakan, proklamasi itu harus ditebus dengan ribuan bunga bangsa yang gugur, antara lain temannya sendiri, Abu Sofyan, komandan TRI-KA (Tentara Republik Kereta Api) yang gugur di jalan Lengkong Bandung, ketika terjadi pemboman besar-besaran. Dengan gugurnya Abu Sofyan Achmad menggantikannya menjadi Komandan Kompi Tentara Republik Kereta Api. AH Nasution mengangkat Achmad menjadi Letnan Satu cadangan.
Menjelang agresi Belanda kedua, terjadi peristiwa Bandung Lautan Api. Balai Besar Kereta Api pun dipindahkan ke Cisurupan, Garut. Achmad hanya aktif dua minggu, kemudian hijrah ke Yogya dan memutuskan untuk tidak aktif lagi menjadi pegawai administrasi kereta api dan lebih menitikberatkan pada perjuangan fisik.
Pada perjalanan tahun 1947-48, Achmad sempat memasuki bangku kuliah UGM (Universitas Gajah Mada) jurusan hukum. Achmad mengikuti kuliah di pendopo keraton Sultan Yogya. Namun tidak sampai selesai.
Pada masa tersebut, Achmad dengan kawan-kawan menyusun barisan mahasiswa dan membentuk Corps Mahasiswa (CM). Barisan ini terlahir karena prinsipnya tidak rela dengan butir-butir yang tertera pada perjanjian Renville (17 Januari 1948). CM yang dibentuk itu kemudian menjadi bagian dari pasukan MBT (Markas Besar Tentara).
Sewaktu clash kedua, Achmad menjadi wakil Kepala Staf KDM (Komandan Distrik Militer) Klaten. Kisah pengangkatannya sangat sederhana tanpa surat keputusan. Perjalanan perjuangannya adalah berjalan kaki ke mana-mana di daerah Klaten. Kehati-hatian menghadapi pasukan merah (rentetan peristiwa Madiun) dan serangan udara Belanda dengan pesawat cocor merah, merupakan warna perjuangan Achmad dengan pasukan KDM-nya.
Setelah melalui proses perjalanan bergerilya di Jawa Tengah, terutama daerah Surakarta, Kedu, Banyumas, Kebumen, Klaten, Achmad ditugaskan kembali ke Jawa Barat dan kembali ke Bandung. Pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten cadangan, Sejak itulah Achmad serius merintis perjalanan karier militernya.
Aktif pada HMI
Dengan masuknya Islam pada pendidikan umum, ditandai berdirinya sekolah Islam seperti Sekolah Tinggi Islam (STI), seorang alumninya bernama Lafran Pane menggagas lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam yang kemudian terbentuk tanggal 5 Februari 1947 di Yogya . Tanggal 22 Agustus 1947, dengan meninggalkan kesan STI-centris, terbentuk kepengurusan baru, yakni MS Mintaredja sebagai ketua umum dan Achmad Tirtosudiro sebagai wakilnya. Sementara Lafran Pane sendiri sebagai sekretaris.
Achmad memang menjadi sangat sibuk dengan kedua organisasi yang ditanganinya, yakni posisinya sebagai Wakil Kepala Staf KDM ditambah dengan kesibukannya sebagai mahasiswa. Saat itu Achmad bersyukur bahwa tidak ada larangan yang membatasi aktivitasnya untuk aktif di luar organisasi militer. Berkeinginan mengembangkan HMI sebagai intellectual Moslem berskala nasional, Achmad sering berkeliling ke Klaten, Solo dan Malang hingga mempunyai kenalan aktivis di mana-mana.
Sampai tahun 1949, Achmad terus mengembangkan sayap HMI. Namun akhirnya harus menentukan satu pilihan ketika harus lebih aktif di dunia militernya. Sejak itu, Dahlan Ranoewiharjo-lah yang lebih banyak aktif mengembangkan HMI.
Tanah Hibah
Masuk Siliwangi dan diangkat menjadi Kepala Staf KMK (Komando Militer Kota) di Bandung, dengan komandannya Letnan Kolonel Sentot Iskandardinata, Achmad yang berpangkat kapten mengalami berbagai masalah dan peristiwa yang tak bisa dilupakan. Satu diantaranya ketika Walikota Bandung meminta Achmad datang untuk menerima sebidang tanah. Tanah itu dihibahkan untuk dijadikan Taman Makam Pahlawan.
Beberapa lama setelah amanah itu diterima tanpa melihat firasat yang bakal terjadi, APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di bawah pimpinan RPP Westerling datang dan menembaki anggota TNI yang tak bersenjata di jalanan. Hal itu terjadi Januari tahun 1950. APRA juga menyerang markas Siliwangi. Siapa pun yang menggunakan baju hijau di tengah kota Bandung, langsung ditembaki dengan brutal. Dalam keadaan tenteram dan kedatangan pasukan Westerling yang tiba-tiba itu, tak dapat diantisipasi TNI. Sembilan puluhan prajurit TNI gugur dan di antaranya Mayor Lembong. Semuanya dimakamkan di tanah hibah Walikota itu.
Setelah peristiwa mengerikan itu, beberapa hari kemudian parajurit TNI dipanggil Jenderal Engles, Panglima VII Desember. Achmad dan dokter Edy Sudewo mengancam, jika peristiwa itu terulang lagi, seluruh keluarga Belanda akan mati. Akhirnya APRA pun angkat kaki. Peristiwa itu amat memukul TNI, khususnya Siliwangi karena justru saat itu tengah menghadapi terror DI/TII. Ada tiga tugas pokok Siliwangi yang harus dihadapi serius, yakni tentang penyelesaian masalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwiryo, pengamanan Pemilu pertama tahun 1955 dan pengamanan Konfrensi Asia Afrika.
Awal tahun 1950 merupakan masa rawan bagi Jawa Barat. Akibat perjanjian Renville, Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah. Ini dimanfaatkan DI/TII di bawah Kartosuwiryo yang menebar teror lewat perang gerilya untuk menguasai Jawa Barat dan mendirikan Negara Islam. Selama bertugas di kawasan Priangan, Achmad (yang saat itu berpangkat Mayor) selalu terhindar dari akibat ulah para gerombolan tersebut dan disebut karena kebetulan. Namun keganasan DI/TIIsangat merawankan situasi.
Dalam mempersiapkan konsep Negara Islam DI/TII selalu melakukan taktik hit and run.. Sebuah kehendak yang sesat. Hinga saat ini, masih ada kalangan yang mencurigai Islam. Padahal menurut Achmad, harus dibedakan, Darul Islam, TII dengan konsep Islam dalam masyarakat.
Belajar ke Amerika
Dalam perjalanan kariernya, berbekal kuliah hukum di Universitas Gajah Mada, Achmad Tirtosudiro sempat menduduki kursi hakim perwira untuk mengadili para prajurit, tahun 1952. Achmad termasuk alumni SSKAD taraf I angkatan ke 3 TP 1953/1954 seangkatan dengan Solihin GP, R.Umar Wirahadikusumah, Sobiran, RM Jonosewojo, Haerudin Tasning, LF Lopulisa dll.
Dari SSKAD, Achmad ditugaskan di Resimen 18 Malang. Namun ditolak karena fanatisme kedaerahan. Dia ditarik kembali ke Siliwangi dan ditempatkan di Resimen X sebagai kepala staf resimen dan bermarkas di Bandung. Tahun 1955 ikut mengamankan Pemilu pertama di Indonesia. Achmad saat itu dipindahkan ke Ciamis sebagai komandan sektor. Membawahi staf dan tiga batalyon TNI dengan satuan pansernya. Pemilu saat itu diikuti 28 partai politik yang akhirnya muncul empat partai terkuat, yakni PNI, Masyumi, NU dan PKI. Tentara pun saat itu punya hak pilih.
Resimen Achmad juga ditugaskan mengamankan Konferensi Asia Afrika di Bandung yang dihadiri Jawaharlal Nehru, Raja Faisal, Joseph Broz Tito, Nasser dan tokoh-tokoh besar dunia. Siliwangi memang mendapat tugas di bawah komando Panglima Tertinggi AE Kawilarang dengan KSAD Kolonel Bambang Soegeng. Selain menjadi Kepala Resimen X, Achmad merangkap Komandan Sektor Kabupaten Bandung.
Tahun 1956, Achmad ikut ujian di Jakarta dan setelah lulus, dia meninggalkan Siliwangi untuk meneruskan sekolah ke luar negeri, yakni ke Amerika Serikat. Fort Leavenworth, kota di bagian tengah Amerika Serikat dan termasuk Negara bagian Kansas, merupakan kota tempat Achmad belajar. Di kelas bernama Gruber Hall itulah, lelaki kelahiran Plered ini menuntut dan menambah ilmu kemiliteran. Lulus dengan angka lumayan, Achmad dan kawan-kawan dilantik oleh Kepala Staf Angkatan darat Amerika Serikat, Jenderal Taylor.
Sesuai harapan Nasution yang menunjuk Achmad belajar ke Amerika Serikat, ketika pulang dia langsung ditunjuk menjadi guru di Seskoad, profesi yang termasuk dicintainya. Di saat lain ia menjadi dosen khusus yang mengajarkan strategi dan manajemen militer.
Tahun 1960, Achmad diangkat menjadi Direktur Intendans Angkatan Darat (CIAD), hanya gara-gara mengobrol dengan Nasution di lapangan tenis mengenai situasi dan perkembangan ekonomi. Saat itu Achmad berpangkat Letnan Kolonel. Tugas yang dilakukan adalah tentang pengadaan logistik. Termasuk tentunya seragam tentara. Situasi keuangan negara saat itu mengharuskan berhemat. Sementara produski sandang di dalam negeri masih kurang dan belum ada yang bagus.
Seputar G-30-S/PKI
Tanggal 28-29 September 1965 Achmad bertugas ke Jawa Timur dengan membawa pesawat AURI. Pulangnya diikuti Basuki Rachmat yang ikut numpang. Dalam perjalanan di pesawat, persis tanggal 30 September, Basuki Rachmat mengajak pergi sama-sama ke rumah Achmad Yani. Karena kelelahan, Achmad mempersilahkan Basuki Rachmat untuk pergi lebih dahulu dan menjanjikan besok paginya ia menyusul. Basuki Rachmat masih sempat bertemu Jenderal Yani. Namun Achmad kemudian menyesalkan, karena esok harinya Achmad Yani sudah gugur.
Achmad berangkat ke kantornya di Kebon Sirih dengan menggunakan uniform berpangkat Brigjen. (Achmad Tirtosudiro diangkat menjadi brigjen tanggal 1 Januari 1964). Kemudian ada sepucuk surat dari Pak Harto yang mengharuskannya berkumpul di Jl. Merdeka Barat. Di sekitar istana negara, Achmad harus melewati berbagai macam pasukan. Achmad pun bertanya, apakah ini pasukan kawan atau lawan.
Beruntung ada Basuki Rachmat dan Sarbini yang kemudian dengan kharisma dan wibawanya membujuk dan menertibkan pasukan-pasukan yang berpapasan dengan mobil yang dikendarai Achmad. Bahkan pasukan-pasukan yang semula ragu dan hendak memihak kepada Kapten Untung, akhirnya bisa diajak ke Kostrad. Achmad pun kemudian makan siang di Kostrad bersama Pak Harto.
Kabulog Pertama
Pada awal Orde Baru, tahun 1966. Ahmad menerima perintah presiden agar membereskan distribusi bahan pangan dan sembilan bahan pokok. Tujuannya, stabilitas politik dan ekonomi. Saat itu, Achmad berpangkat Brigadir Jenderal. Bulog pun didirikan tanggal 10 Mei 1966 dengan tugas mengamankan pengadaan logistik dalam skala nasional agar tidak mengganggu operasi keamanan dan ketertiban.
Tugas di tengah situasi seperti itu merupakan tantangan besar bagi Achmad. Inflasi sangat tinggi, ekspor terbatas hanya kira-kira 500- 600 juta US dollar. Persediaan pangan sangat minim. Infrastruktur dalam kondisi parah. Bulog mendapat tugas penting, bagaimana agar persediaan pangan terpenuhi, mengingat ‘stomach can not wait’ . Rakyat ibarat singa sirkus. Jika perutnya kenyang, tidak mengganggu jalannya pertunjukkan. Karena itu, pada setiap Sidang Kabinet, Kabulog seakan sejajar dengan menteri, meski belum ada struktur secara konstitusi.
Situasi yang seret, mengharuskan Ahmad berkordinasi dengan setiap gubernur dalam memacu pengadaan beras di daerah. Namun gagal memenuhi target. Parahnya, saat itu terjadi ketidaksamaan penilaian antara Bulog dan Departemen Pertanian. Deptan menyatakan produksi berhasil, tapi Bulog tidak sependapat.
Karena tekanan target, satu-satunya jalan adalah impor beras. Ahmad terpaksa berkeliling ke luar negeri mengunjungi negara yang dikenal sebagai lumbung beras seperti Muang Thai, Burma, Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.
Kendalanya antara lain, kondisi keuangan negara saat itu amat buruk, sehingga LC(Letter of credit) tidak berlaku. Saat itulah Menteri Keuangan Soemitro Djojohadikusumo bergerak, menjajaki relasi-relasi di luar negeri. Setelah confirmed by the first International Bank, barulah LC berlaku. Beras pun datang dari Muang Thai.
Tantangan utama, pertama, saat itu harga beras di luar lebih mahal dari dalam negeri. Dengan kata lain membelinya mahal dan menjual di dalam negeri harus murah. Kedua, Bulog tidak mendapat anggaran dan harus kredit ke Bank Indonesia dengan konsekuensi merugi. Pinjam Rp 100 juta yang kembali hanya Rp 80 juta, karena beras di dalam negeri harus dijual murah. Tak pelak, tumpukan defisit itu hingga Rp 12 millyar.
Protes di koran-koran pun berhamburan yang menyebut Bulog merupakan political move. Achmad pun dituduh bersekongkol dengan non-pri dan melakukan korupsi. Berbagai masalah dan tuduhan diterima Achmad sebagai Kabulog. Ketika protes itu datang, Achmad menghadapi dengan hati sejuk. “Saya serahkan kepada Allah SWT yang tahu duduk persoalannya. Dan saya sadar sejak awal banyak yang tidak senang dengan eksistensi Bulog.”
Tugas yang dilakukan Bulog saat itu antara lain bagaimana agar harga di masa panen tidak anjlok tapi harga di pasaran jangan melampaui ceiling price. Sementara, beras dari petani, meski pun di antaranya bermutu kurang baik, tetap harus dibeli Bulog. Siapa pun mengaku, Bulog memiliki posisi yang strategis tapi juga sensitive.
Bahwa anugerah dan kepahitan sering datang silih berganti, dirasakan Achmad tahun 1971, yakni ketika mendapat penghargaan dari Presiden Republik Indonesia dengan kenaikan pangkat dari Mayor Jenderal menjadi Letnan Jenderal. Namun tahun 1972 terjadi kelangkaan pangan, sehingga Bulog menjadi cercaan dan menjadi headline news di semua media. “Menjadi khalifah di dunia untuk mengurusi umat memang sangat tidak mudah. Diperlukan keyakinan dan keteguhan tentang kebenaran apa yang harus dilakukan.”
Duta Besar dan Dirjen
Tahun 1973, Achmad Tirtosudiro ditempatkan di Bonn, Jerman Barat sebagai Duta Besar Luar Biasa Republik Indonesia. Saat itu Achmad sedang bertugas sebagai anggota MPR. Berhenti pula sebagai Kabulog yang kemudian digantikan oleh Bustanil Arifin. Bertugas dengan dukungan menguasai bahasa Jerman serta niat untuk membina hubungan baik dengan pemerintah Jerman, Achmad mendapat penghargaan dari pemerintah Jerman Barat (dengan kanselirnya saat itu Helmut Schmidt).
Usai bertugas di Jerman, usia Achmad sudah 54 tahun dan di dunia militer seharusnya dia memasuki masa persiapan pensiun. Namun pada tahun itu juga, Achmad diangkat menjadi Direktur Jenderal Pariwisata. Tugasnya mengembangkan kepariwisataan agar menjadi pemasok devisa lebih banyak bagi negara. Beberapa kendala yang dihadapinya adalah terbatasnya pelayanan penerbangan untuk kawasan Indonesia, yang saat itu hanya dilayani Garuda Indonesia. Selain itu Indonesia tidak mengeluarkan visa seperti negara lain. Ini alasan pihak intelijen agar tidak memberi visa sembarangan kepada setiap orang. Kendala lain adalah terbatasnya anggaran kepariwisataan, sehingga untuk mencetak brosur pun terbatas sekali.
Langkah-langkah yang tersisa dan dilakukannya adalah konsolidasi ke dalam, antara lain menyerahkan masalah kepariwisataan kepada daerah, melakukan kordinasi dengan departemen keuangan, membenahi pajak yang sangat besar seperti pajak hotel dll. Juga konsolidasi antarorganisasi dalam lembaga perhotelan maupun lembaga-lembaga perjalanan wisata, agen wisata, biro perjalanan. Namun yang masih dipakai saat ini adalah kualifikasi standar bintang hotel di Indonesia. Obsesinya adalah merealisasikan paket kebijakan terpadu dalam kepariwisataan. Misalnya dalam pembangunan sebuah obyek wisata atau hotel, dari kebutuhan bahan bangunan, pekerja, arsitek hingga suplay makanan, buah-buhan dan sayuran harus dilakukan secara terpadu.
Selepas itu, Achmad Tirtosudiro menjabat Dutabesar luar Biasa dan berkuasa penuh di Kerajaan Arab Saudi tahun 1982-1985. Kemudian menjadi duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh tahun 1983-1985 di Republik Arab Yaman (berkedudukan di Arab Saudi) serta Duta Besar luar Biasa dan berkuasa Penuh pada Kesultanan Oman (1983-21985)dan berkedudukan di Arab Saudi.
Achmad dinilai gagal menjadi Dubes di Arab Saudi karena tak menghasilkan kesepakatan dengan Arab Saudi untuk memperoleh kredit, sebagaimana yang diharapkan Pak Harto. Upaya ini pula yang telah ditempuh dua menteri ketika berkunjung ke sana, yakni Menkeu Ali Wardhana dan Subroto dengan menghasilkan kegagalan.
Namun yang paling menarik selama menjadi Dubes di sana adalah topik tentang TKW/TKI asal Indonesia. Dari masalah TKI yang illegal, kasus pelecehan seksual, ketidaksiapan SDM yang selalu menjadi masalah, dugaan tentang pelacur yang dikirim dan segudang persoalan lain. Achmad sempat marah besar ketika seorang rekan mantan dubes menyarankan agar yang dikirim menjadi TKW ke Arab Saudi itu pelacur saja. Achamd menilai, ucapan sarkatis itu bernada destruktif dan akan mencemarkan bangsa.
Achmad setuju, jika pengiriman TKI ini suatu saat dihentikan namun jika ada usaha untuk mencegahnya. “Di sini tersedia cukup pekerjaan, di luar adakan agreement yang tegas,” katanya.
Rektor UNISBA
Bulan November 1986 kawan-kawan Achmad dari KAHMI Bandung menyodorkan tawaran untuk menjadi Rektor UNISBA. Achmad merasa dirinya bukan sarjana, karena di UGM pun tidak selesai. Studi ke luar negeri pun semata-mata untuk bidang militer. Achmad pun berpikir dan meminta persetujuan keluarga. Akhirnya Achmad menerima tawaran itu dengan keinginan hal itu sebagai pemicu untuk berbuat sesuatu. Achmad dilantik sebagai rektor UNISBA tanggal 13 Desember 1986, dihadiri Habibie dan Bustanil Arifin.
Kehadirannya disongsong kecurigan akan masuknya langkah militer dalam kampus. Namun yang paling urgen saat itu, Achmad dihadapkan pada probelma berat yakni masalah keuangan. Laporan menyebutkan uang dalam kas Rp 100. juta ternyata tumpukan kas bon yang diperkirakan tidak akan kembali lagi, alias kas kosong melompong bahkan minus. Skala prioritas pun disusun untuk pembenahan.
Pertama membongkar bangunan kampus lama yang semi permanen. Keputusan berani itu dilakukan karena letak kampus berada di lembah sehingga masyarakat sekitarnya pun tidak mengetahui ada Universitas di dekat mereka. Padahal Unisba mempunyai nama beken berkat rektor pendahulunya Bapak EZ Mutaqien. Berkat bantuan dari berbagai pihak antara lain konsorsium Bank Duta dan Bank Niaga, Ir Noe’man sebagai arsitek, Purek II Ir. Rosyid, bangunan selesai tepat waktu. Bangunan empat tingkat dengan daya tampung 7.500 mahasiswa dengan harapan Achmad dapat mencetak intelektual Muslim, mengubah citra Islam yang tidak bodoh, jorok dan tidak terbelakang.
Ketua DPA
Sebagaimana dinyatakan dalam UUD 45, bahwa Dewan Pertimbangan Agung merupakan sebuah Council of State dengan posisi dan kewajiban sebagai penasihat belaka. Dalam sistem pemerintahan presidensial, DPA memiliki sifat aktif dan pasif. Secara aktif berhak mengajukan usul. Pasif punya kewajiban memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan pemerintah. Kesimpulannya, DPA tidak mempunyai kekuasaan apa-apa.
UUD 45 menunjuk kekuasan dan tanggungjawab di tangan presiden. Terjadi berbagai perubahan selama kurun kepemimpianan Presiden Soekarno. Misalnya 1945-1949, presiden menempatkan DPA sebagai penasihat utama. Namun UUD RIS tahun 1949 dan juga UUDS 1950 tidak memberi tempat bagi DPA. Nyatanya, di luar prosedur kelembagaan resmi, “DPA bayangan” masih memberi nasihat secara lisan kepada presiden. Tahun 1959, tepatnya 5 Juli, terjadi dekrit yang disusul dengan pembubaran DPR dan Konstituante, menghapus UUDS 1950, mengembalikan Indonesia kepada UUD 1945. Presiden Soekarno memerintahkan pembentukan MPR sementara yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan. DPA pun dihidupkan kembali. Namun saat itu pula Soekarno menetapkan dirinya merangkap sebagai ketua DPA, selain menjadi presiden.
Menurut Achmad, ada perbedaan signifikan antara DPA masa demokrasi Terpimpin dengan masa Demokrasi Pancasila. Pada DPA Demokrasi terpimpin, pimpinan berada di tangan presiden. Sedangkan DPA Demokrasi Pancasila, pimpinan atau ketua dipilih dari salah satu anggota. DPA Soeharto lebih otonom, tidak tergantung kepada presiden mau pun DPR. Namun sejauh mana pertimbangan yang diajukan DPA dipakai atau tidak, tidak ada jaminan konstitusional untuk dipakai atau dipertimbangkan.
Pada kepemimpinan AA Baramuli SH dengan Achmad sebagi wakilnya telah menelurkan ratusan pertimbangan, pokok saran dan pikiran yang diserahkan kepada presiden, mulai soal Irian Jaya, pembangunan demokrasi, Timor Timur, Otonomi Daerah, Pertsatuan dan Kesatuan Bangsa, termasuk pertimbangan situasi nasional menjelang pengunduran diri tiga presiden dari kursinya.
Seiring dengan kejatuhan Soeharto dari jabatan presidennya, berakhir pula masa bakti anggota DPA periode 1993-1998. DPA juga menyesuaikan arah angin reformasi bertiup.
Bersamaan dengan jabatan yang diserahkan kepada BJ Habibie, selaku badan penasihat resmi, DPA senantiasa diterima Presiden BJ Habibie. Tiap minggu Ketua DPA (AA Baramuli) dan kami wakil-wakilnya selalu berkonsultasi dengan presiden.
Tahun 1999 menjelang Pemilu, Ketua DPA AA Baramuli mengundurkan diri. Pergantian tidak secara otomatis, namun lewat pemilihan. Akhirnya Achmad ditunjuk sebagai ketua untuk periode masa bakti hingga tahun 2003.
Reformasi telah menyoroti DPA sebagai Lembaga yang tak diperlukan lagi keberadaannya. Sehingga dalam perubahan keempat UUD 1945 keberadaan DPA pun dihilangkan. TI