Politisi Perempuan Religius
Aisyah Aminy08 | Demi Bangsa dan Negara

Inilah pemikiran seorang Aisyah Aminy tentang partainya, korupsi, kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat.
Pemikiran-pemikiran Aisyah untuk masalah bangsa dan negara tetap setajam dulu. Sampai masa tuanya (usia di atas 70 tahun), ia masih aktif dalam kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelutinya setelah sebelumnya aktif di Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) tahun 1968.
Pada waktu Parmusi terkena kebijakan restrukturisasi dan difusikan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973, Aisyah secara otomatis menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP. Sementara itu, Parmusi yang dahulu merupakan partai sekarang menjadi organisasi kemasyarakatan sejak tahun 2000 dengan kepanjangan ‘Persaudaraan Muslim Indonesia’ yang diketuai Drs. Husni Thamrin dan Sekjen Bachtiar Chamsyah.
Karena keaktifan Aisyah di PPP dan potensinya, pada Muktamar PPP tahun 1984, ia terpilih menjadi Ketua DPP PPP. Ia merupakan perempuan pertama dari kader partai yang menduduki jabatan Ketua DPP. Dalam bidang politik praktis, memang jarang seorang perempuan mendapat kesempatan menjabat ketua DPP sebuah partai politik Islam. Kemudian berturut-turut, ia mendapat jabatan-jabatan strategis, seperti wakil Ketua MPP PPP termuda periode 1989-1994, ketua DPP PPP periode 1994-1999, wakil ketua Majelis Pakar PPP periode 1999 dan anggota Majelis Pertimbangan Partai Pusat (MPP) sampai sekarang.
Sewaktu menjadi Ketua DPP PPP 1984-1989, ia mengusulkan pada ketua umum PPP saat itu DJ Naro, agar di setiap wilayah dan cabang ada seorang perempuan di posisi ketua. Naro merespon positif usul Aisyah dengan menginstruksikan pada pengurus wilayah dan cabang agar menempatkan perempuan pada pimpinan hariannya dalam jajaran ketua-ketua.
Saat ia masih duduk di Komisi I, Aisyah mendesak Pangab LB Moerdani agar perempuan diberi kesempatan menduduki jabatan-jabatan tinggi di jajaran TNI, juga untuk bersekolah di SMA Taruna. Saat ini, saran Aisyah menjadi kenyataan.
Di masa kepemimpinan Naro, April 1989, menjelang Muktamar II PPP, Aisyah sempat terlibat konflik dengan sang ketua umum. Awalnya, Aisyah, H Ismail Hasan Metareum SH, Faisal Baasir, Chalil Badawi, Moh Sulaiman, Hartono Mardjono, Jusuf Syakir dan Husni Thamrin membentuk panitia kembar Muktamar II PPP. Aisyah menganggap pembentukan ini untuk menegakkan demokrasi di PPP. Namun menurut Naro itu merugikan partai. Naro mengancam akan me-recall mereka dari DPR, tetapi mereka pantang menyerah. Kelompok ini disebut Kodel (Kelompok Delapan).
Lain halnya ketika PPP dipimpin Buya Ismail Hasan Metareum, Aisyah sering diberi kesempatan melaksanakan tugas-tugas partai, termasuk sebagai Ketua Komisi I DPR atas nama fraksi. Putusan akhir tentang pimpinan Komisi ini dilaksanakan dalam rapat pleno Komisi. Aisyah menganggap Buya Ismail telah menerapkan prinsip kesetaraan gender jauh sebelum isu ini menjadi wacana seru sekarang ini.
Demikian juga saat PPP dipimpin Hamzah Haz. Saat dirinya akan dicalonkan sebagai anggota DPR pada Pemilu 1999, Aisyah mengetahui bahwa sebagian kader partai menginginkan kesempatan itu diestafetkan pada yang lain. Karena itu, ia bermaksud mengundurkan diri. Namun, Hamzah Haz memberikan ‘catatan’ kepada Sekjen partai agar Aisyah tetap dicalonkan di kabupaten Agam sesuai permintaan pimpinan Cabang Partai Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Konsolidasi 2009
Menjelang Pemilu 2009, dibandingkan partai-partai lain yang sudah melakukan konsolidasi, PPP tampak masih tenang-tenang saja. Padahal, berdasarkan survei Denny AJ, jika PPP tidak segera berbenah sejak sekarang, pada Pemilu berikutnya tidak akan masuk treshold.
Karena itu, di PPP mulai muncul suara-suara yang menginginkan pimpinan partai melakukan langkah-langkah untuk mengadakan konsolidasi. Sementara itu, unsur-unsur pimpinan-termasuk Ketua Umum-di Dewan Pimpinan Pusat yang sekarang disebut Dewan Harian Pusat (PHP) memutuskan untuk mengadakan muktamar tahun 2007. Padahal menurut kelompok yang menginginkan konsolidasi segera, hal itu tidak akan efektif sebab tahun 2008 sudah ada persiapan Pemilu.
Kelompok yang ingin mempercepat konsolidasi itu kemudian melaksanakan Silaturahmi Nasional (Silatnas) yang menghasilkan rekomendasi atau usulan untuk mempercepat muktamar pada 2005. Apalagi, dalam Pemilu sebelumnya perolehan suara PPP menurun.
Namun DHP menganggap Silatnas itu melanggar AD/ART partai. Maka beberapa orang yang terlibat Silatnas diberhentikan sementara, termasuk di antaranya enam orang pengurus harian. Belakangan nama mereka direhabilitir kembali, namun sebagai gantinya 40 orang anggota PPP yang menghadiri Silatnas diberhentikan. Setelah diprotes, kembali direhabilitir. Setelah itu, menurut Aisyah, tampaknya ada tanda-tanda bahwa muktamar akhirnya akan dipercepat, meski waktunya belum dipastikan. rh-hs (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 22)