Politisi Perempuan Religius
Aisyah Aminy04 | Dasar Perjuangan

Darah Minang dalam tubuhnya tampaknya ikut mempengaruhi gejolak semangat Aisyah untuk menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan. Budaya Minang adalah budaya maternalistik yang menempatkan perempuan dalam kedudukan terhormat dan diakui eksistensinya.
Keberadaannya sebagai seorang muslimah dan anggota sebuah partai Islam bukannya membatasi sepak terjangnya, sebaliknya membuat ia semakin mendobrak maju.
Sejak dulu orang selalu beranggapan Islam membatasi gerak perempuan. Menurut Aisyah, Islam tidak pernah melarang perempuan menjadi pemimpin. Pada masa Nabi Muhammad, kedudukan perempuan sangat dihormati dan mempunyai peranan penting. Isteri Nabi, Aisyah, adalah perawi hadist di zamannya. Ia juga memimpin pasukan di Perang Jamal.
Demikian juga dalam sejarah Indonesia. Di Aceh dulu pernah dipimpin sultan-sultan perempuan (sultanah). Bahkan, banyak perempuan Aceh yang ikut berjuang mengangkat senjata di masa perang melawan penjajah, seperti halnya Cut Nya’ Dien.
Aisyah sangat ingin perempuan Indonesia mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk unjuk kemampuan di segala bidang, seperti dirinya. Perempuan bukan hanya untuk ditempatkan di urusan domestik. Istilah Jawa dahulu, bahwa perempuan itu hanyalah konco wingking (teman di belakang/pengikut suami-Red) atau pepatah swargo nunut neroko katut (surga ikut, neraka terangkut-Red) sudah bukan zamannya lagi.
Tahun 1957, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mencanangkan International Women Year. Hal itu membuka kesempatan kaum perempuan Indonesia untuk ikut berperan serta dalam pembangunan. Tahun 1977-1987, Aisyah yang kala itu menjadi anggota MPR turut bersama-sama memelopori dimasukkannya klausul tentang peningkatan peran perempuan di ranah publik dalam GBHN.
Sebelumnya, pemerintah tidak pernah memberi kesempatan pada perempuan untuk duduk dalam kabinet. Aisyah yang ketika itu juga sekaligus pengurus KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) melakukan berbagai lobi yang ternyata tidak mudah.
Bersama teman-temannya di KOWANI, ia menghadap Presiden dan melobi agar dalam kabinet ada menteri perempuan. Untungnya Presiden cukup tanggap dan membentuk Kementerian Peranan Wanita.
Berangsur-angsur, istilah peran serta, mitra sejajar dan gender mulai merambah peraturan-peraturan hukum yang ada. Kemudian, Aisyah menyadari jumlah perempuan di DPR tidak pernah lebih dari 11 persen. Maka dibentuklah Kaukus Perempuan Parlemen, yang salah satu rekomendasinya mengenai kuota perempuan di parlemen menjadi wacana hangat. Pada dasarnya, Kaukus Perempuan Parlemen memperjuangkan peran perempuan di ranah publik.
Kaukus Perempuan memasukkan usulan agar perempuan diberikan kesempatan yang lebih luas dalam berbagai rancangan undang-undang. Di antaranya UU tentang Partai Politik, yang diingat Aisyah perlu lobi berminggu-minggu sampai akhirnya disetujui bahwa dalam kepengurusan harian partai harus ada perempuan dengan kuota 30 persen.
Namun, tiba-tiba terjadi perubahan. Masukan mereka yang tadinya dituangkan dalam pasal tersendiri kemudian hanya dituangkan di bagian penjelasan. Isinya pun berubah. Aisyah protes. Terjadilah perdebatan alot. Pada akhirnya perubahan itu diterima, namun ditambahkan dalam penjelasan itu penegasan bahwa peningkatan jumlah perempuan dalam partai secara signifikan di semua level. Meski demikian, faktanya belum berjalan.
Kaukus Perempuan Parlemen kembali memasukkan klausul kuota 30 persen itu pada pembahasan RUU Pemilu. Banyak protes muncul dan mengatakan bahwa itu tidak demokratis. Namun Aisyah berargumen, bahwa hal itu bukan berarti jumlah perempuan harus ditambah sekaligus 30 persen. Pemerintah pun bisa memberikan batas waktu untuk beberapa periode saja. rh-hs (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 22)