The Field General

Sutiyoso
 
0
737
Sutiyoso
Sutiyoso | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Oleh Drs. Ch. Robin Simanullang | Bagi Sutiyoso, hidup adalah pertempuran. Pertempuran dengan segala tantangan yang harus dihadapi secara total apa pun risikonya. Dia seorang prajurit para komando, petarung, yang memiliki aura, sifat dan karakter pemimpin lapangan yang berani, tangkas, cakap, bijak dan tawakal serta bertanggung jawab dalam setiap mengambil tindakan dan keputusan penting, pada kondisi normal ataupun genting, apa pun risikonya: The Field General.[1]

Sebagai prajurit sejati Komando Pasukan Khusus (Kopassus)[2] yang berpengalaman dalam berbagai medan operasi dan tanggung jawab komando teritorial, Sutiyoso telah merajut diri sebagai seorang petarung yang memiliki sifat, naluri dan aura kepemimpinan (jenderal) lapangan (the field general) yang handal dengan kearifan dan kepemimpinan mumpu­ni: Bijaksana, teguh, tegas, berani, cakap, tawakal dan bertanggung jawab!

Di medan operasi, sebagai perwira infanteri dan intelijen pasukan elit (Kopassus), dia bernyali berulang kali menyabung nyawa dan berhasil memenangkan perang, dia selalu berhasil melewati setiap medan operasi sesulit apa pun. Dia selalu pulang dengan selamat. Dalam setiap medan tempur, dia menyadari nyawanya adalah milik Allah swt. Selama Allah berkehendak memberinya kesempatan hidup, sesulit apa pun medan dan situasi yang dia hadapi, dia akan selamat.

Maka seganas apa pun medan yang dihadapi, dia selalu tawakal dan menyalakan cahaya terang hati nuraninya. Dalam beberapa kesempatan tersulit, antara lain ketika menjalankan tugas secara klandestin dan kemudian operasi intelijen tempur terbatas di Timor Timur, selalu saja pada last minute ada jalan keluar yang menyelamatkannya.

Bahkan terkadang, dia ‘memenang­kan’ peperangan walau tak mesti selalu mengandalkan senjata dan melepas sebutir peluru pun. Ada saja suatu kondisi yang memungkinkan hal itu bisa dilakukannya. Sebagai pimpinan komando teritorial pun, dia mengukir prestasi sebagai yang terbaik. Dia menjadi Danrem Terbaik 1994. Pancaran auranya sebagai jenderal lapangan (The Field General) mencapai puncak ketika dia menjabat Pangdam Jaya yang berhasil meredam berbagai kerusuhan, terutama kerusuhan 27 Juli 1996. Tanpa kehadiran seorang panglima yang berkarakter pemimpin (jenderal) lapangan, sulit dibayangkan betapa eskalasi kerusuhan bisa berkembang lebih luas ketika itu.

The Field General (Sang Jenderal Lapangan): Penulis menggunakan (meminjam) istilah ini untuk menggambarkan sifat, karakter dan jejak rekam keprajuritan Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso, sebagai seorang perwira infanteri dan pasukan elit (Kopassus dan Kostrad) yang memiliki kehandalan memimpin pasukan (tim) di lapangan, baik dalam mengemban tugas-tugas operasi dan kesatuan maupun tugas teritorial, mulai dari sebagai komandan pleton hingga menjadi Panglima Kodam Jaya. Istilah The Field General ini memang tidak lazim (tidak dikenal) dalam terminologi militer. Istilah ini dikenal dalam tim sepakbola Amerika (American Football) sebagai julukan bagi pemain quarterback (backfield) yang memegang posisi paling penting dalam tim, sebagai pemimpin lapangan, baik dalam mengendalikan pertahanan maupun mengarahkan permainan ofensif timnya. Suatu istilah (julukan) bagi posisi paling penting dalam tim, yang dalam pandangan penulis, cukup representatif (walau tidak persis sama) jika diadopsi untuk menggambarkan naluri, sifat, aura dan karakter serta kiprah Sutiyoso dalam mengemban tugas-tugas tim (kesatuan dan pasukan) kemiliterannya (totalitas prajurit para komando).

Sutiyoso bukanlah jenderal dan pemimpin robot yang loyalitas dan dedikasinya telah di-setting dan diprogram tanpa nilai dan nurani. Dia adalah seorang prajurit sejati, perwira pasukan elit yang memiliki aura jenderal lapangan yang meletakkan loyalitas dan pengabdi­an dalam kerangka tugas dan tanggung jawab secara total dan profesional serta berpegang teguh pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Dia prajurit pejuang dan patriot yang berkarakter pemimpin melalui proses pengasahan diri (kegigihan mengikuti pendidikan dan latihan) dan penanaman nilai-nilai kearifan berhati nurani, bermoral, tawakal dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Totalitas Prajurit Para Komando

Sutiyoso menapaki jenjang karier dan berbagai penugasan operasi setelah melalui pengasahan diri dalam berbagai tahapan pendidikan dan pelatihan yang amat ketat dan berat. Tidak ada lintasan perjalanan kariernya yang diperoleh secara instan. Semua melalui tahapan proses pendidikan, pelatihan dan perjuangan yang berat dan berliku. Bahkan mulai dari impian menjadi tentara pada masa kecil dan remajanya. Mengecap pendidikan SD di desa kelahirannya, melanjut SMP, SMA dan sempat kuliah satu tahun di Fakultas Teknik Untag di kota Semarang, yang diwarnai oleh kegemarannya berkelahi dan berolahraga (bertarung fisik). Hingga akhirnya setelah merenungi masa lalu (masa kecil dan remajanya) dan menatap masa depan, dia membulatkan tekad beralih masuk Akademi Militer (Akmil) tanpa lebih dulu memberi tahu orangtuanya, terutama Sang Ibu. (Bagian Satu: Masa Kecil Hingga Masuk AMN – Membalut Pasir Jadi Mutiara).

Di Akmil (kini AMN), selain sempat waswas dipanggil pulang orangtua, Sutiyoso juga melewati perpeloncoan yang super berat dan menyakitkan. Dia menjadi bulan-bulanan para senior yang antara lain tampaknya melepas dendam, karena ketika di SMA satu angkatan, mereka selalu ketakutan kepada Sutiyoso. Di Akmil, Sutiyoso menjadi junior satu tahun karena sempat kuliah di Untag. Di lehernya digantungkan nama julukannya selama pelonco: Kurang Permak. Sehingga dia menjadi bulan-bulanan beberapa seniornya. Dia dipelonco hingga babak belur, membuat Sutiyoso bagai anak kerang yang merintih kesakitan akibat kemasukan pasir dalam perutnya. Saking sakitnya, nyaris dia melarikan diri, tetapi dengan kepasrahannya kepada kehendak Allah dan impiannya yang membara menjadi tentara, tiba-tiba muncul sesuatu yang membuatnya tabah dan kuat. Dia tabah membalut pasir kepedihan dengan tahan banting, hingga menempa dirinya laksana mutiara.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Akmil (1968), Sutiyoso dengan penuh semangat melanjutkan pengasahan dirinya dengan mengikuti Kursus Sarcab Infateri (1969) sebagai konsekuensi atas pilihannya memilih kesatuan infanteri untuk karier militernya. Selepas itu, tidak mau tanggung-tanggung dan ingin berbakti secara total, dia pun memilih menjadi perwira di satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang kala itu bernama Pusat Pasukan Khusus (Puspassus) TNI AD, yang kemudian tahun 1971 menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha).

Untuk bisa menjadi perwira di Kopassus, harus dilalui dengan seleksi yang ketat dan dilanjutkan tahapan pendidikan dan pelatihan komando, mulai dari tahap basis berupa pendidikan dasar komando, tahap gunung dan hutan, serta tahap rawa laut. Setelah lolos melalui semua tahapan pendidikan komando itu, Sutiyoso pun dilantik menjadi prajurit (perwira muda) para komando dengan mengenakan Baret Merah. (Bagian Dua: Gigih dalam Latihan dan Karier – Laksana Bijih Platinum).

Advertisement

Setelah itu, proses pengasahan dirinya juga terus berlanjut dengan mengikuti Pelatihan dan Pendidikan Intelijen Tempur di Pusdik Intel Bogor (1973), Pendidikan Intelijen Strategis juga di Pusdik Intel Bogor (1976), dan Suslapa Infanteri (1978). Juga tekun mengikuti Kursus P4 (1983), dan Kursus Kewaspadaan Nasional (1983). Kemudian mengikuti Pendidikan Seskoad (1983-1984) serta memperdalam penguasaan bahasa dengan mengikuti kursus Bahasa Inggris (1986). Saat sudah berpangkat letnan kolonel mengikuti pelatihan on job training di Brigade 5 Airborne, Aldershot, Inggris (1987). Bahkan masih kuat nyali mengikuti pelatihan terjun bebas (freefall) saat sudah berpangkat kolonel (1988). Kemudian pada tahun 1990 mengikuti pelatihan Joint Service Staff College (JSSC) di Australia, setingkat Seskogab (Sekolah Staf Komando Gabungan). Bahkan pada saat berkunjung ke Amerika Serikat masih amat bergairah mengikuti terjun payung malam bersama tentara Amerika, Divisi 82 Airborne di Fortbragg, AS (1991). Lalu mengikuti Kursus Reguler Lemhannas (1993).

Dengan pengasahan diri tersebut, dia terbilang sebagai prajurit Kopassus yang amat tangguh dan teruji, baik dalam tugas operasi maupun tugas teritorial. Bahkan, Sutiyoso menjadi salah seorang perwira Kopassus yang paling teruji dalam tugas operasi dan intelijen tempur pada zamannya. (Bagian Tiga: Totalitas Prajurit Para Komando – Tugas Operasi Militer).

Pertama sekali, setelah diterima menjadi perwira pasukan para komando, Letda Infanteri Sutiyoso ditugaskan BKO Yonif 323 Banjar Patronan untuk melaksanakan tugas Operasi Pemberan­tasan PGRS/Paraku (1969) di Kalimantan Barat. Dia bertugas sebagai Komandan Pleton combat intelligence (intelijen tempur). Pada saat itu, dia dan pasukannya telah menunjukkan kehandalan dan kejelian (strategi) menghadapi musuh di medan belantara Kalimantan Barat. Mereka mengisolasi gerilyawan PGRS/Paraku dengan penduduk setempat, dengan menggalang kepercayaan penduduk setempat, memisahkan rakyat dengan gerilyawan PGRS/Paraku. Sehingga lebih mudah mengenali musuh serta memutus mata-rantai dukungan dan pasokan logistik kepada gerilyawan PGRS/Paraku tersebut. Sehingga gerilyawan PGRS/Paraku tidak ada yang berani muncul. Makanya selama bertugas di Kalbar, dia tak melepas sebutir peluru pun. (Bagian 03.01: Operasi Sapu Bersih PGRS/Paraku).

Sutiyoso tidak hanya siap ‘berkelahi’ menyabung nyawa di Kalbar, tetapi juga dalam operasi intelijen tempur terbatas (Operasi Flamboyan) serta Operasi Seroja di Timor Timur (1975). Bahkan Pra Operasi Flamboyan (1974), Sutiyoso telah lebih dulu disusupkan sendirian secara klandestin ke perbatasan Timor Portugis tersebut dengan pertaruhan nyawa. Kisah penyusupannya secara klandestin ke Batugede, dan pertarungan­nya yang amat dramatis ketika menyerang markas tentara dan polisi di Suai, Timor Portugis, terutama saat dia berjuang mengevakuasi empat anggota pasukannya yang tertembak, sungguh lebih otentik, heroik dan legendaris daripada film-film tentara Amerika produksi Hollywood. (Bagian 03.02: Menya­bung Nyawa di Timtim; 03.02.02.The Legend of The Blue Jeans Soldiers).

Begitu pula, ketika dia memimpin pasukan sandiyudha dalam operasi intelijen tempur melawan Gerakan Aceh Merdeka, di pedalaman Aceh (1978). Selama 10 bulan Sutiyoso memimpin operasi di Aceh, nyaris tidak sebutir peluru pun diletuskannya, kecuali satu peluru yang diarahkan tepat ke kaki juru masak Hassan Tiro yang mencoba melarikan diri. Bayangkan, dalam medan tempur sesulit itu, dengan ancaman nyawa bisa melayang seketika, dia sama sekali tak pernah gegabah meletuskan sebutir peluru dari moncong senjatanya. Dia pun tidak pernah memerintahkan anggota pasukannya melepas tembakan untuk membunuh pasukan separatis Gerakan Pengacau Keamanan (GPK-GAM). Kalau pun pasukannya terpaksa menembak, dia pastikan bukan tembakan yang diperintah­kan untuk mematikan melainkan hanya mengancam dan melumpuhkan. Namun, ketika itu, Mayor Sutiyoso dan pasukannya berhasil menangkap hidup-hidup (sebagian menyerahkan diri) semua tokoh GAM (kecuali Hasan Tiro) dan tidak ada satu orang pun yang dia bunuh atau dia perintahkan bunuh.

Kisah penangkapan para petinggi GAM hidup-hidup, yang diawali penangkapan Menkeu GAM yang hendak berangkat ke markas PBB di New York juga lebih otentik dari kehandalan tentara (intelijen tempur) Amerika yang selalu disuguhkan dalam drama film-film perang dan spionase Amerika. (Bagian 03.03: Penugasan Mendadak ke Aceh).

Beberapa kisah pertarungannya di medan operasi cukup otentik membuktikan bahwa dia seorang perwira intelijen dan infanteri pasukan elit yang bernyali sekaligus bernurani dan tidak pernah panik. Bayangkan, betapa luar biasanya dia. Seorang perwira infanteri pemberani (petarung) yang sejak kecil terbiasa berkelahi berdarah-darah, namun di medan operasi setangguh dan sesulit Aceh, dia sama sekali tak pernah melepas sebutir peluru dari moncong senjatanya. Itulah karakter militer Sutiyoso. Seorang pemberani bertempur di garis depan dalam jarak dekat (infanteri) yang selalu siap berkelahi, fight dengan menyabung nyawa, namun dipenuhi hati nurani[3] yakni perasaan hati yang murni dan yang sedalam-dalamnya, hati yang telah mendapat cahaya Tuhan.

Dalam medan seberat Kalimantan Barat, Aceh dan Timor Timur, jika keadaannya tidak sangat memaksa, dia selalu berusaha (nurani) untuk tidak mesti membunuh, tetapi selalu dengan gagah berani memastikan harus berhasil melumpuh­kan lawan dan memenangkan pertarungan (peperangan). Luar biasa! Sesulit apa pun tugas operasi, Sutiyoso selalu melaksana­kan­nya dengan sepenuh hati, pikiran, jiwa dan raga (total) serta tawakal.

Totalitas diri dengan memberikan segala sesuatu secara maksimal dan tak mengenal istilah setengah-setengah, adalah ciri pengabdian Sutiyoso selama berkarier sebagai perwira infanteri dan intelijen tempur Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat. Maka tak heran jika jenjang karier dan pangkatnya terus menanjak. Mulai dari Komandan Peleton Para Komando (1969) dengan pangkat Letnan Dua (1968-1969), naik jabatan menjadi Komandan Kompi Grup 2 Kopassandha, Magelang, dengan pangkat Letnan Satu (1971-1972). Kemudian, jabatannya naik menjadi Kepala Seksi I (Intel) Grup 2 Kopassandha dengan pangkat Kapten (1973-1977). Saat itu (1976), Grup 2 Kopassan­dha dipindah ke Solo. Saat menjabat Kasi I Grup 2 Kopassandha, Sutiyoso dipercaya mendampingi Kolonel Dading Kalbuadi mengamati perkembangan di perbatasan Timor Timur (Timor Portugis). Setelah itu menanjak menjadi Komandan Karsa Yudha Kopassandha berpangkat Mayor selama tiga tahun (1978-1981). Saat kerusuhan di Solo, ISSK Grup-2 Kopassandha di-BKO dengan Korem 074/Warastratama, Solo. Ketika itu, Sutiyoso, walau keterlibatannya sudah agak terlambat, berhasil meredam kerusuhan rasial di Solo. (Bagian Empat: Redam Kerusuhan Rasial di Solo – Perwira Intel Tanpa Tanda Jasa).

Kemudian, dia dimutasi menjadi Karo Staf Logistik Mako Kopassus (1981). Lalu diangkat menjabat Wakil Komandan Grup 1 Kopassus, Serang (1983-1986) dengan pangkat Letnan Kolonel. Namun, berhubung Dan Grup 1/Serang Kolonel Yusman Yutam sedang melaksanakan tugas di Timtim, maka praktis Sutiyoso yang mengambil-alih komando Grup 1. Kemudian dalam rangka proses regrouping Kopassandha sekaligus berubah nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Sutiyoso ditugaskan menjadi Wakil Komandan Grup 3 Kopassus, Ujung Pandang (1986) yang kemudian dilikuidasi dan dialih status menjadi Brigade Infanteri Linud 3/Kostrad. Walau hanya menjabat Wadan, tetapi secara praktis dialah yang memimpin Grup 3 tersebut, sebab Dan Grupnya Kolonel Tarub tengah ditugaskan mengikuti pendidikan Seskogab di Bandung. Sutiyoso berhasil menjalankan tugas dengan baik dalam waktu sepuluh bulan dari target waktu dua tahun untuk alih status dari Kopassus ke Kostrad. Namun, bukan dia yang diangkat menjadi Komandan Brigif Linud 3/Kostrad tersebut. Dia menjabat Kepala Staf Brigif Linud 3/Kostrad, Ujung Pandang (1986-1987), dengan pangkat yang tetap dalam level Letkol. (Baca Bagian 02.03.01. Atasi Situasi Sulit Alih Status Grup 3).

Kenaikan pangkat Sutiyoso mulai melambat. Bahkan pangkatnya tertahan dalam lima jabatan level Kolonel, mulai dari menjabat Asisten Personel Kopassus (1987-1989), Asisten Operasi Kopassus (1989-1991), lalu pindah menjabat Asisten Operasi Kostrad (1991-1992), kemudian kembali lagi ke Baret Merah sebagai Wakil Komandan Jenderal Kopassus (1992-1993) yang biasanya dijabat kolonel senior, bahkan dianggap sudah setara Brigjen, serta menjadi kandidat kuat Danjen. Namun, dia malah dipindah ke satuan teritorial sebagai Komandan Korem 062 Suryakenca­na, Bogor (1993-1994).

Pengalihannya menjadi Komandan Ressort Militer (Danrem) 061/Surya Kencana, Bogor dari Wadanjen Kopassus yang juga job kolonel, telah dianggap oleh para kerabat dan rekan, bahwa dia telah disingkirkan dan masuk kotak dari promosi jabatan Danjen Kopassus. Seyogyanya dan sepantasnya, dia naik menjadi Danjen Kopassus yang kala itu masih berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) atau jabatan lain yang level Brigjen. Pada saat itu, sangat pantas jika Sutiyoso juga merasa kecewa.

Namun, sebagai prajurit Sapta Marga, dia berusaha membuang rasa kecewa itu. Bagi dia, sebagai prajurit, tidak ada kata lain, selain kata siap melaksanakan perintah tugas menjadi Danrem atau jabatan apa pun yang diamanatkan negara. Dia pun menghibur diri sendiri. Dia yakin pimpinan AD ingin memberi pengalaman lain. Biarlah banyak orang menganggap­nya sudah disingkirkan, masuk kotak, tetapi bagi Sutiyoso semua jabatan itu adalah amanah, jalan Tuhan untuk memaknai kehidupannya. Dengan memaknainya sebagai amanah, bagi Sutiyoso, tidak mustahil jabatan Danrem itu akan mengantarnya menjadi jenderal. Untuk itu, Sutiyoso yang telah membalut pasir dalam dirinya hingga menjadi mutiara berharga pada masa kecil dan remajanya, kali ini siap kembali membalut rasa kecewa itu dengan keteguhan hati untuk selalu berbuat yang terbaik. Berketeguhan hati dengan mental platinum, sekali lagi, Sutiyoso membalut ‘pasir sakit hati’ dalam dirinya itu menjadi mutiara (prestasi) yang indah dan berharga.

Untuk kesekian kalinya Sutiyoso membuktikan dirinya bagai bijih platinum yang amat kuat dan berharga di antara ribuan bijih-bijih besi di endapan pasir dasar sungai. Terbukti, dia berhasil mengopti­mal­kan kinerja Komando Resort Militer 061/Surya Kencana, Bogor. Hanya dalam tempo 40 hari, Kolonel Infanteri Sutiyoso berhasil menyelesaikan kasus Rancamaya, yang sudah berlarut-larut belum terselesaikan sebelumnya. Dia juga dipercaya sebagai perwira yang bertanggung jawab atas keamanan pelaksanaan KTT APEC di Bogor tahun 1994. Dia pun berhasil mengamankan KTT APEC tersebut. Sehingga dia terpilih sebagai Komandan Korem terbaik tahun 1994. (Bagian Lima: Danrem Terbaik 1994 – Jejak Teritorial Prajurit Komando).

Namanya pun berkilau indah laksana mutiara dan tangguh laksana platinum. Dia mulai dikenal luas publik secara nasional, bahkan dunia internasional, setidaknya di kalangan militer dan petugas keamanan negara-negara APEC. Maklum, itulah jabatan komando teritorial pertamanya yang memang boleh akrab dengan publikasi. Berbeda dengan ketika dia menyabung nyawa dalam tugas intelijen klandestin dan berbagai medan operasi intelijen tempur terbatas, yang tabu publikasi bahkan nirdokumen.

Kiprahnya selama bertugas di pasukan elit (Kopassus dan Kostrad) pun kembali dibincangkan ulang, di kalangan terbatas. Dia dikenal berani dan tangguh bermental platinum sebagai perwira komando pasukan elit TNI Angkatan Darat. Maka, setelah melalui kisah yang berbelit, mulai dari pernah dipanggil Kasad memberitahunya untuk kembali ke Kopassus, lalu dipanggil lagi akan dijadikan Pangdiv Kostrad Cilodong, hingga akhirnya atas permintaan Wiranto[4], rekan seangkatannya di Akademi Militer (1968), dia pun dipromosikan menjadi Kepala Staf Kodam Jaya, November 1994, menggantikan Wiranto sendiri yang naik menjabat Panglima Kodam Jaya. Pangkat Sutiyoso, Kolonel Infanteri (melati emas) yang sudah tertahan enam tahun dalam lima jabatan, menetas (dinaikkan) menjadi Brigadir Jenderal (bintang satu). Itu pun sempat tertunda beberapa saat.

Bahkan, baru beberapa bulan menjabat Kasdam Jaya, Sutiyoso telah menghadapi suatu situasi yang di luar kehendak­nya, dimana Kasad Jenderal R. Hartono hendak memindahkan­nya dari Kasdam Jaya ke Kostrad dengan posisi jabatan level Brigjen juga karena ada Ajudan Presiden yang akan dipromosi­kan jadi Kasdam Jaya. Tetapi Pangdam Jaya Mayjen Wiranto memper­ta­han­kannya (Bagian Enam: Kisah Jadi Kasdam Jaya – Melati Emas Menetas Bintang).

Dia pun kembali memasuki jalur utama yang berpeluang menjadi Pangdam, Pangkostrad atau Wakasad, Kasad hingga tak mustahil berpeluang menjadi Panglima TNI. Apalagi dua tahun berikutnya, tepatnya April 1996, Sutiyoso dipromosikan menjadi Panglima Kodam Jaya, dengan pangkat Mayor Jenderal TNI. Dia menggantikan Mayjen Wiranto yang diangkat menjabat Pangkostrad (Letjen).

Sebagai Panglima Kodam Jaya, dia pun teruji sebagai jenderal lapangan (The Field General) bernyali dan berani mengambil risiko (risk taker) serta berhati nurani, dimana dia berhasil meredam berbagai insiden dan kerusuhan, di antaranya kerusuhan 27 Juli 1996 dan beberapa insiden Pemilu 1997 yang antara lain insiden kerusuhan di kawasan Cawang dengan isu pembakaran masjid dalam bentrokan massa Golkar dan PPP. Tapi Sutiyoso berhasil meredam dan shalat bersama di masjid tersebut. (Bagian Tujuh: Pangdam Jaya, Redam Kerusuhan – Aura The Field General).

Kunci keberhasilannya adalah karena dia sebagai seorang jenderal (panglima, komandan dan pemimpin) selalu merasa wajib, cakap dan berani terjun langsung ke lapangan untuk bisa secepatnya mengatasi setiap masalah, peristiwa atau kerusuhan. Hal inilah yang menginspirasi penulis menyebutnya seorang perwira yang memiliki aura dan karakter jenderal lapangan (The Field General). Istilah ini mungkin tidak lazim bahkan tidak dikenal dalam terminologi dunia militer, sebab semua jenderal semestinya harus (wajib), cakap dan berani terjun langsung ke lapangan untuk bisa secepatnya mengatasi setiap masalah. Namun, dalam kenyataan, tidaklah demikian. Tidak semua jenderal terlihat memiliki aura, sifat dan karakter, serta cakap dan berani terjun langsung ke lapangan dengan penuh tanggung jawab, apapun risikonya.

Itulah yang membedakannya dengan jenderal lainnya ketika dua tahun kemudian terjadi Tragedi Mei 1998, yang meluluh-lantakkan Jakarta. Dalam suasana krusial seperti itu, seyogyanya kehadiran seorang panglima komando, jenderal lapangan yang handal, sangatlah penting dan wajib.

Sutiyoso telah membuktikannya kendati dia harus mengha­dapi berbagai risiko, difitnah dan dihujat. Sutiyoso menyadari bahwa medan Peristiwa 27 Juli 1996 itu sarat nuansa politicking yang sesungguhnya amat dilematis baginya. Tetapi, dia berani tampil di lapangan dan mengambil keputusan untuk meredam dan melokalisir kerusuhan, sehingga tidak menjadi chaos. Sebab, sebagai Pangdam Jaya, dia sama sekali tidak memiliki interes politik apa pun. Dia pun merasa tidak punya interes dan akses kepentingan politik tingkat nasional ketika itu. Orang boleh berpikir macam-macam, tetapi Sutiyoso tak pernah gentar dan bimbang untuk secara total mengemban tanggung jawabnya sebagai Pangdam Jaya untuk menjaga stabilitas dan keamanan Ibukota Jakarta, dengan segala konsekuensinya.

Kepemimpinan (the field general) tersebut juga dilakoninya dengan sempurna ketika mengamankan Pemilu 1997. Selepas Peristiwa 27 Juli 1996 dan menjelang Pemilu 1997, suhu politik semakin memanas. Berpuncak selama masa kampanye (28 April-23 Mei 1997), banyak insiden yang terjadi. Namun semua insiden itu berhasil diselesaikan dengan kesiapsiagaannya sebagai panglima di lapangan. Dia tidak mau sekadar memberi perintah dan menunggu laporan dari para stafnya. Melainkan, dia selalu cekatan mendekati dan menyelesaikan masalah di lapangan.

Atas totalitas pengabdiannya sebagai Pangdam Jaya, dia pun sempat dipanggil Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung untuk memberitahu penugasannya menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), tetapi ternyata kemudian tidak jadi. Maka untuk kesekian kalinya, dia kecewa, tapi dia tetap teguh memegang prinsip Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Akhirnya, kariernya dibelokkan menjadi Gubernur DKI Jakarta (Oktober 1997). Kendati pun pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Jenderal, tetapi perasaannya sangat berat ketika harus melipat pakaian seragam militernya. Namun, demi kepentingan lebih besar, dia menerima penugasannya sebagai gubernur. (Bagian Delapan: Diusulkan Wakasad, Jadi Guber­nur – Penugasan Jadi Pemimpin Rakyat).

Dia pun secara total mengabdikan diri sehingga berhasil mengemban tugas berat Gubernur DKI Jakarta. Sebab tak lama setelah menjabat gubernur, terjadi arus gelombang reformasi yang ‘dikotori’ kerusuhan Mei 1998 dan meluluh-lantakkan Jakarta, akibat tampak nyaris tidak tampilnya panglima lapangan ketika itu, yang kemudian disusul jatuhnya pemerin­tahan Orde Baru. Di tengah situasi sesulit itu pun, Sutiyoso berhasil memimpin Jakarta, memulihkan, membang­kit­kan bahkan berhasil mendedikasikan berbagai program pembangun­an ibukota, di antaranya Pola Transportasi Makro Jakarta yang diawalinya dengan mengoperasi­kan busway. Bahkan di tengah suasana euforia kebebasan (demokrasi) dia berani membebaskan lahan untuk membangun Banjir Kanal Timur yang sejak zaman Belanda sudah diprogram tetapi belum pernah bisa diwujudkan.

Demikianlah totalitas pengabdian seorang prajurit komando pasukan elit, seorang perwira para komando yang memiliki naluri dan karakter jenderal lapangan. Totalitas seorang patriot pemberani, yang tampaknya memang dilahirkan menjadi seorang pemimpin lapangan, jenderal lapangan (The Field General).

Dalam buku ini, penulis merangkumnya dengan julukan The Field General: Seorang prajurit para komando yang memiliki aura, naluri, sifat dan karakter pemimpin (jenderal) lapangan yang cakap, berani, tegas, tangkas, bijak dan bertanggung jawab dalam setiap mengambil keputusan dan tindakan penting (mengutamakan kepentingan umum, bangsa dan negara), pada kondisi normal ataupun genting, apa pun risikonya (risk taker).
Seorang pemimpin lapangan yang mumpuni! Pemimpin yang selalu siap dan berani berdiri di depan, menjadi teladan (ing ngarsa sung tulada). Pemimpin yang cakap dan akrab tampil di tengah, menjadi pemrakarsa dan pencetus ide kreatif dan inovatif (ing madya mangun karsa). Pemimpin yang bijak memberi dorongan dan motivasi dari belakang (tut wuri handayani). (Prolog Buku Biografi Militer Sutiyoso THE FIELD GENERAL, Totalitas Prajurit Para Komando, Pustaka Tokoh Indonesia, Jakarta, 2013)

Footnote:

[1] The Field General (Jenderal Lapangan): Penulis menggunakan (meminjam) istilah ini untuk menggambarkan sifat, karakter dan jejak rekam keprajuritan Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso, sebagai seorang perwira infanteri dan pasukan elit (Kopassus dan Kostrad) yang memiliki kehandalan memimpin pasukan (tim) di lapangan, baik dalam mengemban tugas-tugas operasi dan kesatuan maupun tugas teritorial, mulai dari sebagai komandan pleton hingga menjadi Panglima Kodam Jaya. Istilah The Field General ini memang tidak lazim (tidak dikenal) dalam terminologi militer. Istilah ini dikenal dalam tim sepakbola Amerika (American Football) sebagai julukan bagi pemain quarterback (backfield) yang memegang posisi paling penting dalam tim, sebagai pemimpin lapangan, baik dalam mengendalikan pertahanan maupun mengarahkan permainan ofensif timnya. Suatu istilah (julukan) bagi posisi paling penting dalam tim, yang dalam pandangan penulis, cukup representatif (walau tidak persis sama) jika diadopsi untuk menggambarkan naluri, sifat, aura dan karakter serta kiprah Sutiyoso dalam mengemban tugas-tugas tim (kesatuan dan pasukan) kemiliterannya (totalitas prajurit para komando).

[2] Komando Pasukan Khusus (Kopassus) merupakan bagian dari Bala Pertahanan Pusat TNI matra Angkatan Darat yang memiliki kemampuan khusus menangani tugas-tugas yang berat, bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat, pengintaian dan antiteror. Cikal bakal kelahiran Korps Baret Merah ini diawali terbentuknya Kesatuan Komando Teritorium III melalui Instruksi Panglima Tentara dan Teritorial III No. 55/ Inst / PDS /52 tanggal 16 April 1952. Sebagai Komandan pertama dipercayakan kepada Mayor Mochamad Idjon Djanbi, mantan Kapten KNIL yang pernah bergabung dengan Korps Special Troopen dan pernah bertempur dalam perang dunia II. Dalam perjalanan selanjutnya nama satuan komando pasukan khusus ini beberapa kali mengalami perubahan yakni menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) pada 1953, Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) tahun 1952, selanjutnya tahun 1955 berubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), pada tahun 1966 menjadi Pusat Pasukan Khusus TNI AD (Puspassus TNI AD), berikutnya pada tahun 1971 menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) dan terakhir pada tahun 1985 berganti nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sampai sekarang.

[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Depdiknas, 2008, hal.487

[4] Wiranto saat itu menjabat Kepala Staf Kodam Jaya dengan pangkat Brigadir Jenderal dan akan segera diangkat menjadi Panglima Kodam Jaya dengan pangkat Mayor Jenderal.

Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com

Data Singkat
Sutiyoso, Gubernur DKI 1997-2007 dan Kepala BIN 2015-2019 / The Field General | Ensiklopedi | Militer, intelijen, biografi, Kopassus, The Field General

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini