Pelopor Wisata Kuliner
Bondan Winarno
[DIREKTORI] Meski pernah bekerja sebagai juru kamera di lingkungan militer, redaktur di berbagai media, eksekutif perusahaan swasta di dalam maupun di luar negeri, konsultan di berbagai lembaga, dan aktif di berbagai organisasi profesi maupun kemasyarakatan, peraih penghargaan Satyalencana Pembangunan ini lebih tersohor sebagai presenter dan pemerhati kuliner. Pria yang memelopori dan menjadi ketua Jalansutra, suatu komunitas wisata boga yang terkenal di Indonesia ini terkenal dengan ungkapannya yaitu “Pokoe maknyus!”
Acara kuliner di televisi yang semakin menjamur beberapa tahun belakangan ini tak bisa dilepaskan dari nama Bondan Winarno. Melalui acara Wisata Kuliner di Trans TV yang dipandunya, Bondan mengajak para pemirsanya jalan-jalan sambil mencicipi kuliner khas daerah setempat.
Salah satu ciri khas yang pasti akan membuat kita mengingat sosoknya adalah jargon ‘Mak Nyuss’ yang diucapkannya setiap kali mencicipi aneka masakan. “Mak Nyuss” adalah istilah yang dipopulerkannya untuk menandai makanan yang benar-benar lezat. Jika sebuah makanan sudah diberi predikat “Mak Nyuss” maka artinya makanan itu benar-benar direkomendasikan untuk dicicipi. Istilah Bondan untuk makanan sebenarnya bertingkat. Jika beliau merasa makanan tersebut belum cukup lezat, maka predikat yang diberikan cukup sempurna, sedap, dan lainnya. Yang jelas predikat “Mak Nyuss” tidak diberikan pada semua makanan.
Meski namanya kini lebih dikenal sebagai pakar kuliner, pria kelahiran Surabaya, 29 April 1950 ini ternyata tidak mempunyai latar belakang pendidikan formal yang khusus mempelajari seluk beluk makanan. Awalnya pemilik nama lengkap Bondan Harya Winarno ini bercita-cita menjadi penerbang, namun gagal. Keinginannya untuk menjadi arsitek pun tak berhasil diwujudkannya karena keterbatasan biaya.
Setelah kuliahnya di Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro, Semarang kandas, ia lalu mengikuti berbagai kursus dan pelatihan di bidang periklanan, pemasaran, manajemen, keuangan, jurnalisme, penerbitan, dan produksi film di dalam maupun di luar negeri.
Berbekal pengalaman mengikuti kursus dan pelatihan itu, Bondan akhirnya memilih untuk meniti karirnya sebagai jurukamera di Departemen Keamanan yang kemudian berlanjut dengan menjadi wartawan. Karir sebagai kuli tinta ditempuhnya di berbagai media, terakhir Bondan tercatat sebagai pemimpin redaksi Harian Umum Suara Pembaruan. Bondan yang hobi menulis, menjadi kolumnis lepas pada harian Kompas, Tempo, The Asian Wall Street Journal, dan media cetak lainnya. Tulisannya kebanyakan mengangkat masalah sosial, bisnis dan manajemen.
Bondan bahkan bisa dikategorikan sebagai penulis yang serba bisa. Selain dua bidang tadi, ia juga cukup piawai menulis cerita anak-anak, cerpen, dan novel. Dua antologi cerpen karyanya yang sudah diterbitkan berjudul Cafe Opera dan Pada Sebuah Beranda. Sementara untuk novel, suami dari Yvonne ini sudah menelurkan empat novel, dua diantaranya berjudul Tinggal Landas dan Haneda yang telah diangkat menjadi film layar lebar. Bakat menulis ayah tiga anak ini memang patut diacungi jempol karena salah satu bukunya yang berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi dianggap oleh berbagai lembaga sebagai karya jurnalistik investigatif terbaik.
Sebelum namanya dikenal masyarakat luas seperti sekarang ini, Bondan pernah duduk sebagai redaktur kepala majalah SWA selama tiga tahun (1984-1987). Ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris jenderal International Advertising Association, cabang Indonesia sejak tahun 1981 sampai 1987. Kemudian di tahun 1987, ia beralih menjadi pengusaha dan menjabat sebagai Presiden Ocean Beauty International, sebuah perusahaan makanan laut yang berbasis di Seattle Washington, Amerika Serikat. Ketika krisis hebat menerpa Indonesia di tahun 1998, ia menjabat sebagai konsultan Bank Dunia di Jakarta. Di tahun yang sama, ia menjadi salah satu pendiri Komite Kemanusiaan Indonesia dan Masyarakat Transparansi Indonesia. Setelah itu, hingga tahun 2000, ia menjadi direktur eksekutif dari sebuah organisasi pelestarian lingkungan. Sementara, jabatan terakhir peraih penghargaan Satyalencana Pembangunan dari pemerintah Republik Indonesia ini di dunia jurnalistik adalah sebagai pemimpin redaksi harian Suara Pembaruan. Pada tahun 2004, Bondan memutuskan untuk pensiun dini.
Meski telah pensiun bukan berarti ia berhenti berkarya. Bondan masih mempunyai seabrek aktivitas selain bekerja sebagai konsultan komunikasi di sejumlah perusahaan. Bondan masih rutin menulis sebagai kolumnis lepas di media lokal dan regional untuk informasi dunia kuliner. Pria berlidah cerdas ini juga menjadi presenter acara televisi untuk kuliner tradisional, mendirikan Kopitiam Oey, serta memelopori dan menjadi ketua Jalansutra, suatu komunitas wisata boga yang terkenal di Indonesia.
Posisinya sebagai ketua Jalansutra justru memberi Bondan identitas lebih khas dan populer dibandingkan dengan sederet atribut yang pernah menempel sebelumnya. Dunia komunikasi dan manajemen mungkin terus menarik bagi Bondan, tetapi sejak tahun 2000, urusan wisata dan kuliner lah yang banyak digeluti Bondan.
Ayah dari Marisol, Eliseo, dan Gwendoline ini mengaku menemukan banyak hal dahsyat dalam kuliner. Menurut Bondan, ia tidak punya prasangka terhadap makanan dan selalu ingin mencicipi. Dan tampaknya, semua yang ia cicipi, mak Nyusss!, saking enaknya.
Komunitas Jalansutra yang dibentuknya berawal dari kolom yang ditulis Bondan di situs Kompas Cyber Media mulai tahun 2000. Menurutnya, Jalansutra ditulis dalam satu kata, berbeda dengan Jalan Sutra yang merupakan terjemahan The Silk Road. “Ingat Kamasutra? Itu berarti sutra (kawruh, pengetahuan) tentang kama (seks dan reproduksi manusia). Nah, Jalansutra itu artinya kawruh tentang jalan-jalan gitu loh,” jelas pria yang kerap disapa Pak Bondan oleh para penggemarnya ini.
Tak diduga sebelumnya, sambutan atas kolom Jalansutra (JS) ternyata luar biasa. Setiap hari selalu saja ada surat elektronik yang menanggapi sehingga menempatkan tulisannya sebagai tulisan yang paling banyak menghasilkan interaksi. Dari kolom itu, lahirlah Forum JS melalui milis yang dirintis Wasis Gunarto pada Maret 2003.
Sebagaimana pada komunitas lain, Forum JS berkembang disertai temu darat, yang lalu dinamai Kumpulsutra, yang artinya “pergi bareng ke satu tempat makan, mencicipi, lalu menulis review”. Selain itu, masih ada Sambutsutra untuk menyambut anggota dari luar negeri yang berkunjung ke Indonesia. Masih ada juga kegiatan Wisata Kuliner yang sering harus diulang karena banyaknya peminat.
Akhirnya, dari sekadar forum melalui milis, paguyuban ini benar-benar berkembang menjadi komunitas dengan anggota hingga ribuan orang yang tersebar di seluruh dunia. Menurut Bondan, yang lebih penting bukan sebaran geografisnya, tetapi sebaran sosio-ekonominya.
Para anggota komunitas ini datang dari berbagai macam latar belakang dan usia, mulai dari anak-anak muda yang masih berstatus mahasiswa hingga seorang wartawan senior berusia hampir 90 tahun yang bermukim di Houston, Amerika Serikat. Dari segi agama, anggota juga amat beragam, demikian pula suku bangsa dan segmentasi ekonomi. Keragaman itu lalu membuat diskusi di forum amat hidup dan saling memperkaya.
Sejak remaja, Bondan sudah aktif dalam berbagai kegiatan organisasi, salah satunya dalam gerakan kepanduan yang kemudian menjadi Gerakan Pramuka. Ia bahkan pernah memimpin regu Pramuka Indonesia ke Jambore Pandu Sedunia ke-12 di Idaho, Amerika Serikat, pada tahun 1967. Pada waktu itu, ia terpilih menjadi salah seorang honor guard bagi Lady Olave Baden Powell (istri Bapak Pandu Sedunia Lord Baden Powell).
Menurut salah satu pendiri Yayasan Karaton Surakarta bergelar Kanjeng Pangeran Mangkudiningrat ini, kuliner adalah bagian sangat penting dari sebuah budaya. Misalnya, orang Tionghoa merayakan ulang tahun dengan mie, orang Amerika merayakan Thanksgiving dengan kalkun panggang, dan orang Jawa selamatan dengan tumpeng.
Sebagai tokoh yang identik dengan kuliner Nusantara, Bondan merasa sedih karena ia melihat masih rendahnya tingkat kepedulian masyarakat. Akibatnya, sejumlah pusaka kuliner Nusantara punah. Pemerintah Indonesia belum menjadikan makanan sebagai kekuatan ekonomi, sementara Thailand sudah punya program seperti Thai Kitchen to the World.
“Dunia kuliner itu bisa menggerakkan perekonomian negara. Ambil contoh Thailand. Beberapa tahun lalu mereka mencanangkan dalam waktu 5 tahun akan ada 10 ribu restoran Thailand di seluruh dunia. Target itu tercapai dengan mudah hanya dalam waktu 3 tahun. Dalam waktu 5 tahun terwujudlah 20 ribu restoran Thailand di seluruh dunia,” jelasnya. Dengan gerakan 20 ribu restoran Thailand itu, grafik ekspor bahan makanan Thailand meningkat. Jumlah wisatawan pun naik drastis. Atas dasar ini, salah satu obsesi Bondan adalah membuat masyarakat Indonesia demam makanan daerah.
Kiat Makan Enak Tapi Kolesterol Tetap Terjaga “Your body is your temple” demikian jawabannya ketika ditanya tentang kiat makan enak, tetapi kolesterol tetap terjaga. Sebagai orang yang mendapat kesempatan mencicipi aneka masakan, Bondan yang gemar masakan Padang (karena waktu kecil tinggal di Padang) ini, mau tak mau harus pandai-pandai menjaga kesehatannya. Prinsip utamanya, ia harus tahu apa yang dimakan dan itu diwujudkan dengan memuliakan raga yang dititipkan Tuhan dengan hanya mengonsumsi makanan dan minuman yang sehat.
Bondan sendiri mengaku tidak punya pantangan pada hidangan tertentu, tetapi ia amat memerhatikan jumlah yang ia makan. Dengan mengetahui RDA (Recommended Daily Allowance), ia bisa menakar berapa banyak steak atau udang yang bisa ia santap. “Selama kita tahu jumlah nutrisi yang masuk ke dalam tubuh kita, konsumsi makanan apapun tidak berpantang. Misalnya makan udang. Jika kita makan 8 ekor per hari maka sudah melewati batas yang diperbolehkan. Tetapi kalau kita makan 1 ekor nggak masalah. Namun jika mendekati ambang batas ya saya batasi dan berolahraga,” katanya seperti dikutip dari situs kapanlagi.com.
Diakuinya, pengetahuan jumlah nutrisi dalam tiap makanan di Indonesia masih banyak tidak diketahui masyarakat. Padahal di negara lain, pengetahuan mengenai ini bukan barang baru lagi sehingga mereka tahu jenis makanan yang sesuai dan tak memicu gangguan kesehatan. “Kalau di Amerika mereka baca dulu nutrisi yang terkandung pada tiap makanan walau enak. Jadi nggak asal makan,” lanjutnya.
Selain itu, ia tidak menyantap menu enak setiap hari dan juga melakukan pembuangan racun atau yang populer dengan istilah detoksifikasi. Setiap enam bulan sekali, kakek enam cucu ini juga rajin melakukan kontrol darah. Ia menyadari, di usianya yang sudah mencapai separuh abad lebih, raga dan metabolisme sudah tak sebagus seperti usia 20-an tahun.
Memperhatikan asupan makanan dan olahraga menurut Bondan mutlak dibutuhkan supaya dapat menikmati aneka kuliner. Ia pun sedikit memberikan tips. “Dengan bertambahnya usia, sebaiknya kurangi berat badan karena tulang tak kuat menopang. Tiap tahun periksakan diri ke dokter serta berolahraga teratur. Sebab saya ingat kata Mar’ie Muhammad, usia itu di tangan Tuhan tapi kesehatan di tangan kamu,” terangnya. eti | muli, red