Pengusaha Kebab Turki Baba Rafi
Hendy Setiono
[DIREKTORI] Di usianya yang masih berkepala dua dan tanpa gelar akademik, Hendy Setiono berhasil mengembangkan empat perusahaan bersistem waralaba dengan omset miliaran. Langkah sukses peraih banyak penghargaan ini diawali dari gerobak kuning untuk menjual kebab yang dinamai Kebab Turki Baba Rafi di tahun 2003.
Usia muda mungkin menjadi saat terindah bagi seseorang. Di masa itu, semangat, keberanian bahkan kenekatan dalam mencari jalan hidup sedang berkobar. Dari sekian banyak anak muda yang nekat dan sukses dalam hidup itu adalah Hendy Setiono, pria kelahiran Surabaya, 30 Maret 1983.
Di usianya yang kala itu 19 tahun, ia lebih memilih tidak kuliah dan tidak mengikuti saran orangtua untuk kuliah dulu baru bekerja. Hendy lebih memilih passion (gairah)-nya untuk berbisnis bidang kuliner. Alhasil dari modal awal Rp 4 juta yang dipakai untuk membikin gerai (gerobak), berkembang menjadi 750 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia dengan ribuan karyawan dan omset per bulan mencapai miliaran.
Awalnya, Hendy adalah anak biasa seperti umumnya anak lain. Ia sulung dari 2 bersaudara anak pasangan Ir H. Bambang Sudiono dan Endah Setijowati yang seorang guru. Adiknya seorang perempuan yang juga senang berbisnis secara online. Sejak kecil Hendy bersama keluarga selalu berpindah-pindah tempat mengikuti tugas sang ayah yang seorang insinyur.
Saat umur 2 tahun, Hendy tinggal di Bontang, Kalimantan Timur. Ia kemudian diajak pamannya yang kebetulan sedang melanjutkan sekolah untuk tinggal di Amerika. Menanggapi tawaran pamannya itu, Hendy lantas bertanya kepada sang ibu. Oleh ibunya, Hendy kecil diberi pilihan-pilihan yang maksudnya untuk melatih dalam membuat keputusan sendiri. Waktu itu ibunya bertanya kepadanya, apakah ia mau pergi ke Amerika untuk sekolah. “Kalau sekolah di sana nantinya kamu bisa mendapat kelebihan dari anak-anak lain,” ujar sang ibu seperti dikatakan Hendy.
Itulah awal pembentukan sifat Hendy, untuk bisa mengambil keputusan sendiri dalam hidup. Maka tak aneh jika di usia 19 tahun, ia memutuskan untuk berbisnis, usia 20 tahun menikah dan menjalani hidup sebagai wirausahawan. Setelah lulus SD, Hendy kembali ke Bontang dan melanjutkan SMP di sana. Kemudian ia pindah lagi bersama keluarga ke Surabaya untuk melanjutkan sekolah SMA dan kuliah di Institut Teknologi Surabaya (ITS) mengambil jurusan teknik informatika tahun 2000.
Saat bersamaan, sang ayah mendapat pekerjaan sebagai operator di perusahaan Minyak di Qatar. Karena rindu kedua orangtua, Hendy akhirnya berkesempatan berlibur dan pergi ke sana selama 3 bulan. Di Qatar, Hendy banyak melihat pedagang yang menjual kebab (makanan khas Timur Tengah dan Afrika berbahan daging yang dipanggang/dibakar). Saat mencoba berbagai rasa kebab, muncullah idenya untuk membawa menu makanan ini ke Indonesia.
…Hendy akhirnya berkesempatan berlibur dan pergi ke sana selama 3 bulan. Di Qatar, Hendy banyak melihat pedagang yang menjual kebab (makanan khas Timur Tengah dan Afrika berbahan daging yang dipanggang/dibakar). Saat mencoba berbagai rasa kebab, muncullah idenya untuk membawa menu makanan ini ke Indonesia.
Sekembalinya ke Indonesia, Hendy yang saat itu masih tercatat sebagai mahasiswa ITS memutuskan berhenti kuliah dan ingin berbisnis. Spontan niatannya itu tidak mendapat restu orangtua. Menurut Hendy, maklumlah pada saat itu orangtua masih berparadigma, kalau mau sukses harus kuliah, mendapat gelar dan kerja kantoran. Namun, tekadnya sudah bulat saat itu. Langkah pertama yang dilakukannya adalah mencari partner yaitu Hasan Baraja, kawan bisnisnya yang kebetulan juga senang kuliner. Hendy membuat konsep dan melakukan trial and error untuk menjajaki peluang bisnis serta pangsa pasarnya.
Ia juga melakukan riset sendiri untuk menciptakan menu baru kebab yang disesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Untuk modal usaha, ia meminjam dari sang adik sebesar Rp 4 juta. Tahun 2003, Hendy yang kala itu juga sudah menikah, akhirnya memulai usaha dengan membuat gerai berupa gerobak dorong dan beroperasi di pojok jalan daerah Nginden Semolo dekat dengan area kampus juga rumahnya.
Sebelum terkenal dengan menu kebab burgernya, Hendy awalnya berdagang yummy burger dan hotdog. Namun setelah usahanya berkembang, menu kebab yang tadinya terpisah, akhirnya dimodifikasi dan menjadi burger yang berisi kebab (daging) dengan rasa rempah-rempah lokal yang kuat serta sayuran yang menjadi ciri khasnya. Sedangkan untuk pemilihan nama brand Baba Rafi sendiri ternyata terinspirasi dari nama anak pertamanya, Rafi Darmawan. Tahun 2005 merek Kebab Baba Rafi yang berarti bapaknya Rafi resmi disandang.
Semua pengusaha pastilah mengalami jatuh bangun dalam rangka proses untuk meraih sukses. Itupun dialami Hendy. Baru seminggu berjualan, karyawannya yang cuma seorang jatuh sakit. Terpaksa Hendy menjajakan sendiri dagangannya bersama istri tercinta Nilamsari. Apes, malam itu hujan deras, otomatis pelanggan tidak ada dan omzet berkurang. Ia cuma bisa mendapatkan uang Rp 36 ribu dari berdagang, kebetulan di sebelah gerai ada penjual seafood. Karena lapar mereka berdua makan dan ketika membayar ternyata tagihan makan lebih besar daripada omzet hari itu.
Kesabaran, kerja keras dan pantang menyerah pasangan suami istri ini patut diteladani. Akhirnya, lambat-laun merek Kebab Turki Baba Rafi semakin populer tidak hanya di Kota Pahlawan tapi di seluruh Indonesia. Dengan sistem usaha berbentuk franchise, omzet Baba Rafi terus menanjak dari puluhan juta hingga miliaran per bulan. Hingga pengujung 2006, tercatat 100 outlet Kebab Turki Baba Rafi yang tersebar di 16 kota di Indonesia. Tahun 2008, berkembang menjadi 300 outlet dari Aceh sampai Ambon hingga akhirnya mencapai 750 gerai. Ratusan outlet itu dipantau dan disupervisi dari dua kantor operasional di kawasan Nginden, Surabaya, dan Pondok Labu, Jakarta. Bahkan usahanya tersebut juga sudah ekspansi ke negara tetangga, Malaysia dan Filipina.
Walaupun tidak bergelar sarjana, ayah tiga anak ini ternyata sejak kecil sudah piawai berbisnis. Dari SMP saat anak-anak demam game Mortal Combat, Hendy punya majalah dari luar karena ia SD di Amerika. Di majalah itu ada tips-tips untuk memenangkan permainan. Jadi begitu ia main dengan teman-temannya pastilah menang terus. Nah dari situ, ia terinspirasi untuk menukar uang Rp 10 ribu dengan tips game.
Hendy juga rajin dan tidak sungkan mencari dan berguru semua ilmu tentang berbisnis. Mulai dari belajar sendiri dari pengalaman hidup, hadir di seminar bisnis sampai belajar dari teman-teman pengusaha sukses di antaranya Sandiaga S Uno dan Purdi E Chandra. “Beliau-beliau adalah mentor saya, kepada merekalah saya banyak belajar, sehingga mampu mengembangkan bisnis ini,” ujar Hendy.
Kesuksesan bisnis kebab yang dikonsep dengan sistem waralaba dan manajemen yang solid membuat Hendy mendapatkan berbagai award dan diakui berbagai kalangan baik dari dalam maupun luar negeri. Majalah Tempo pada 2006, memilih Hendy sebagai satu dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia. Ia juga menjadi pemenang Ernst & Young Entrepreneur Of The Year “Spirit Award Khusus Wirausaha 2009” oleh Ernst & Young, tahun 2009 ; pemenang kategori “Anugerah Peduli Pendidikan di Perusahaan” dari Departemen Pendidikan Nasional tahun 2010, dan masih banyak lagi.
Sukses yang mengantarnya menjadi miliarder muda, tidak membuat Hendy berpuas diri. Inovasi dan ekspansi serta penciptaan SDM terlatih tetap dilakukannya. Kerjasama dengan 12 Lembaga Pendidikan Ketrampilan (LPK) dan pelatihan kerja Magistra Utama di Malang dan Jawa Tengah dilakoninya. Pendidikan tersebut dilakukan selama 45 hari dan tidak dipungut biaya alias gratis. Selain itu, pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi calon operator Baba Rafi saja. Tapi juga untuk mahasiswa Magistra dan orang luar kampus yang berasal dari lulusan SMP, SMA dan SMK.
Tujuannya, dari mereka yang awalnya tidak terdidik atau tidak memiliki skill menjadi memiliki skill yang standar dan mampu dalam bekerja. Pelatihan di Akademi Baba Rafi meliputi pelayanan, kebersihan, serta keramahan. Selain itu juga untuk mendapatkan tenaga kerja operator yang qualified, terlatih dan siap pakai. Maka Hendy memberi nama pelatihan tersebut sebagai Baba Rafi Academy.
Dengan semua yang dimilikinya kini, Hendy juga tak melupakan sedekah. Dananya secara tetap didonasikan ke berbagai yayasan yatim-piatu. Dia meyakini, jika seseorang tidak perhitungan dalam sedekah, Insya Allah rezeki yang diberikan Tuhan akan terus mengalir. “Saya yakin istilah inden rezeki. Orang biasanya membayar zakat 2,5 persen dari keuntungan. Saya membaliknya, sebelum ada untung, harus bayar zakat dulu,” ujar pria berbadan subur ini.
Untuk mengisi waktu luang bersama keluarga, Hendy lebih memilih traveling dan makan karena itu memang hobinya. Semua daerah di Indonesia sudah dikunjunginya dan kurang lebih 30 negara sudah disinggahinya. Kalau lagi jalan-jalan, Hendy mengaku tidak konsumtif. Untuk oleh-olehnya hanya cinderamata berbentuk pin yang menjadi koleksi sekaligus pajangan di kantornya di Pondok Labu, Jakarta.
Terkait dengan masalah pendidikan Indonesia khususnya pendidikan yang mengajarkan tentang kewirausahaan, Hendy menyadari akan pentingnya ilmu dan pendidikan dan membangun network. “Jadi kalau seseorang hanya lulus kuliah, kerja dan mau kaya terus sukses, menurut saya sangat susah. Tetapi kalau ia banyak bergaul di organisasi untuk membangun network waktu kuliah kemudian lulus, pasti ia bisa sukses,” pungkasnya.
Menurut Hendy, sekarang ini pemerintah melalui beberapa Kementerian diantaranya, Kemenpora, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pendidikan melalui Dikti dan kalangan perbankan serta institusi pendidikan, tengah melakukan satu program untuk mencetak para entrepreneur baru dan ini sudah menjadi gaung nasional. Ini adalah kemajuan, berbeda dengan beberapa tahun lalu. Untuk melakukan bisnis masih menjadi sesuatu yang ‘tabu’ dan dianggap aneh.
Sehingga untuk menjembatani program tersebut, Hendy dan beberapa tokoh pengusaha muda lain seringkali diminta untuk sharing pengalaman di beberapa acara seminar. Diharapkan dengan seminar-seminar yang dilakukan pemerintah bersama dengan beberapa pihak tersebut, bisa lebih menginspirasi dan memotivasi generasi muda sehingga mereka dapat lebih berani meng-eksplor ide dan inovasi bisnisnya agar lebih sukses.
Kebanyakan dalam berbagai seminar tersebut menurut Hendy lagi, yang menjadi kendala terbesar dalam menjalankan suatu bisnis adalah masalah permodalan yang tidak mencukupi sehingga timbul banyak keraguan dan ketakutan untuk mulai menjalankan bisnis dan ini berdampak pada matinya ide serta inovasi baru dalam usaha.
Oleh sebab itu, dari kalangan pemerintah dan berbagai pihak tersebut, sebagai golongan muda ia diminta masuk untuk menjembatani, menginspirasi sekaligus merubah paradigma tersebut. “Upaya yang dilakukan pemerintah sudah tepat, tinggal yang menjadi PR (pekerjaan rumah) adalah, bagaimana intelek-intelek muda kita ini menciptakan lapangan kerja yang bukan buruh, tapi yang skill full (penuh keterampilan) sehingga mereka mampu bersaing di pasar tenaga kerja saat ini,” paparnya.
Dari semua itu Hendy menyimpulkan, dalam berbisnis itu, bukan modal yang utama, tetapi adanya ide, kreativitas dan keberanian untuk mulai memasarkan dan bisnis sudah bisa berjalan. Untuk marketing-nya, dari mulai menjalankan ide sampai menawarkan produk itu sudah merupakan satu proses marketing. Tinggal lebih mendalami dari berbagai sumber ditambah pengalaman pribadi agar proses marketing ini bisa lebih baik dan profesional.
Di samping itu, jangan jadikan bisnis menjadi suatu profesi. Jadikan bisnis sebagai kebiasaan dan pola pikir. Jadi kalau hanya membuat wirausaha sekadar menjadi pekerjaan/profesi, hanya jadi pekerjaan saja. Namun kalau konsep entrepreneur itu menjadi sebuah pola pikir dan kebiasaan, menjadikan segala sesuatu bisa dilakukan. Biarpun ia seorang politisi, walikota dan gubernur tapi mempunyai mindset entrepreneur, segala sesuatu bisa dilakukan.
Seperti dikatakan Hendy, contoh mudah adalah negara Singapura yang mengembangkan mindset entrepreneur. Walaupun negaranya kecil, tapi ekspornya masuk menjadi top 10, peringkat dunia. Mereka tidak secara langsung memiliki kekayaan sumber daya alam, tapi dengan mudah mereka menjadi pengekspor kekayaan alam yang berasal dari negara-negara di sekitarnya termasuk Indonesia. Mulai dari presidennya sendiri Lee Kuan Yew adalah seorang pemimpin ber-mindset entrepreneur yang mengembangkan pola pikir ini menjadi satu kebiasaan dan diaplikasikan dalam urusan mengatur negara. Ternyata pola pikir tersebut membuat negara Singapura menjadi lebih maju dibanding Indonesia. guh, red