Profesor Riset Bidang Politik
Syamsuddin Haris
[DIREKTORI] Doktor ilmu politik yang juga menjabat Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI ini dikenal mempunyai pandangan yang tajam dan lugas. Ia bicara blak-blakan tentang situasi yang ia rasakan, tanpa berusaha bersembunyi, apalagi “menjilat” penguasa. Ratusan tulisan telah dihasilkannya, baik dalam bentuk buku, artikel di jurnal, maupun kolom di berbagai media cetak.
Syamsuddin Haris menghabiskan masa kecil dan remaja (SD sampai SMP) di daerah kelahirannya, Bima (NTB). Sejak muda, ia sudah bercita-cita ingin menjadi insinyur sipil karena profesi tersebut dinilai bergengsi dan sangat menjanjikan masa depan yang cerah.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Syamsuddin meninggalkan kota kecil kelahirannya, Bima, hijrah ke Jakarta pada 1973. Di kota metropolitan, pria kelahiran 9 Oktober 1957 ini berharap punya peluang lebih besar untuk mewujudkan cita-cita menjadi insinyur. Begitu sampai Jakarta, dia langsung ikut tes masuk STM 5 Budi Utomo. Tapi tidak berhasil dan dia sangat kecewa. Lalu dia banting setir masuk SMA.
Selama belajar di SMA, cita-citanya menjadi insinyur tetap membara. Maka di SMA, dia mengambil jurusan IPA. Setelah lulus SMA dia berharap bisa masuk Fakultas Teknik Sipil. Dia pun mengikuti tes SKALU dengan pilihan pertama Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Tapi sayang, dia gagal.
Karena tidak diterima di Fakultas Teknik UI, Syamsuddin akhirnya kuliah di FESP (lalu berubah menjadi FISIP) Universitas Nasional (Unas). Setelah kuliah di Unas, barulah muncul keinginannya menjadi peneliti. Keinginan itu muncul setelah dia sering mengikuti diskusi-diskusi dan pemaparan hasil penelitian ilmiah para peneliti.
Maka ketika lulus, dia tidak melamar pekerjaan di bidang lain. Dia memilih jadi dosen di almamater seraya aktif di redaksi jurnal ilmu dan budaya. Dia pun kemudian diterima menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sambil bekerja di LIPI, dia berhasil meraih gelar master dan doktor dari Universitas Indonesia. Setelah itu, kegiatannya sebagai peneliti semakin intens. Dia pun meluncurkan berbagai publikasi ilmiah di antaranya: Menggugat Politik Orde Baru (1998); Menggugat Pemilu Orde Baru (1998) dan Reformasi Setengah Hati (1999). Salah satu buku yang ditulisnya, Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman (LP3ES, 1995) berhasil memperoleh penghargaan sebagai Buku Terbaik bidang ilmu-ilmu sosial dari Yayasan Buku Utama.
Selain berhasil menjadi Ahli Peneliti Utama bidang Perkembangan Politik Nasional dengan pangkat/Golongan Pembina Utama/IV E, dia juga aktif mengajar pada Program Pasca-Sarjana Ilmu Politik pada FISIP Unas, dan Program Pasca-Sarjana Komunikasi pada FISIP UI, serta aktif dalam organisasi profesi kalangan sarjana/ahli politik, yakni Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).
Sejak menjadi peneliti pada Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI pada 1985, Syamsuddin Haris memfokuskan perhatian, minat dan kajian dalam masalah pemilu, partai politik, parlemen, otonomi daerah, dan demokratisasi di Indonesia. Selain itu, Syamsuddin juga beberapa kali dilibatkan menjadi anggota Tim Pakar penyusunan atau revisi undang-undang bersama tim dari Kementerian Dalam Negeri.
Beberapa pengalaman di antaranya adalah menjadi Koordinator Penelitian Wawasan Kebangsaan (1990-1995), Koordinator Penelitian Pemilu di Indonesia (1995-1998), Anggota Tim Penyusun UU Bidang Politik versi LIPI (1999-2000), Koordinator Penelitian Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah (2000-2001), Ketua Tim Penyusun Revisi UU Otonomi Daerah versi LIPI (2002-2003), Anggota Tim Ahli Revisi UU Otonomi Daerah Depdagri (2003-2004), Anggota Tim Ahli Penyusun RPP Partai Lokal Aceh (2006), dan terlibat sebagai Tim Ahli Pokja Revisi Undang-Undang Bidang Politik yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri (2006-2007), serta Ketua Tim Penyusun Naskah Akademik RUU Bidang Politik versi LIPI (2007).
Dalam menyampaikan pandangan tentang masalah bangsa, Syamsuddin Haris selalu berusaha independen. Ia bicara blak-blakan tentang situasi yang ia rasakan, tanpa berusaha bersembunyi, apalagi “menjilat” penguasa. Pemerintah pusat maupun daerah (gubernur, bupati/walikota) serta dewan perwakilan rakyat (DPR) selalu menjadi sorotannya.
Kondisi Indonesia pasca-Orde Baru misalnya, ia sebut bak negara tanpa pemimpin. Semua aparat hanya mementingkan diri sendiri, tidak ada pemimpin yang bisa menjadi teladan. Dalam tulisannya di harian Kompas, 7 Agustus 2010, ia menyebutkan, di usia Republik yang ke-65 tahun, karut-marut aneka persoalan politik, hukum, dan ekonomi bangsa seolah-olah tak pernah berujung.
Peraih doktor bidang ilmu politik dari FISIP UI tahun 2008 ini menyatakan, negeri ini tengah menghadapi persoalan serius terkait merosotnya moralitas dan tanggung jawab para elite penyelenggara negara hampir di semua tingkat. Dalam situasi demikian maka wajar saja jika premanisme dan pemaksaan kehendak, serta tindak kekerasan dan anarki acapkali menjadi satu-satunya pilihan bagi sebagian rakyat yang tidak percaya lagi kepada elite politik, pemerintah, parlemen, hukum dan lembaga peradilan.
Walaupun masih prosedural, pencapaian Indonesia atas demokrasi memang sebuah prestasi. Namun prestasi tersebut menjadi semu dan tak berarti karena pada saat yang sama, tata kelola pemerintahan masih buruk, korupsi dan suap merajalela, puluhan juta rakyat masih berlumpur dalam kemiskinan, sumberdaya alam pun semakin habis terkuras dan dijarah karena tidak adanya kontrol negara.
Bagi pria yang hobi membaca dan memancing ini, prestasi berdemokrasi tidak pantas dirayakan jika para elite di pemerintahan hanya pandai merangkai kata dalam pidato dan rapat-rapat kabinet, dan para wakil rakyat di DPR hanya pintar bersekongkol merampok uang negara, entah atas nama “dana aspirasi”, “rumah aspirasi”, atau istilah pemanis lainnya.
Peraih doktor bidang ilmu politik dari FISIP UI tahun 2008 ini menyatakan, negeri ini tengah menghadapi persoalan serius terkait merosotnya moralitas dan tanggung jawab para elite penyelenggara negara hampir di semua tingkat. Dalam situasi demikian maka wajar saja jika premanisme dan pemaksaan kehendak, serta tindak kekerasan dan anarki acapkali menjadi satu-satunya pilihan bagi sebagian rakyat yang tidak percaya lagi kepada elite politik, pemerintah, parlemen, hukum dan lembaga peradilan.
Juga tidak mengejutkan bila rakyat akhirnya terperangkap pada perilaku “memilih parpol atau calon yang membayar” karena dianggap lebih konkrit ketimbang berharap pada janji-janji manis politisi yang tak pernah terwujud usai pesta pemilu dan pilkada.
“Barangkali itulah sekilas fenomena negeri kita di usia Republik yang ke-65. Suatu negeri indah beriklim tropis yang dilimpahi rahmat dan karunia sangat besar dari Tuhan melalui kekayaan sumberdaya alam, keunikan topografi dan geografi, serta keanekaragaman sosio-kultural, namun tidak memiliki kepemimpinan yang patut diteladani,” tulis pria yang menikah dengan Rochmawati, peneliti bidang sosial-budaya pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI ini.
Menurutnya, kepemimpinan presiden-presiden pasca-Orde Baru hampir tidak ada yang menjanjikan. Presiden Yudhoyono yang memasuki periode kedua pemerintahan misalnya, hanya sibuk membentuk dan menata citra diri tanpa henti. Tidak ada ketegasan, apalagi keberanian dalam mengambil keputusan terbaik dalam ekonomi, politik dan hukum. Setiap kali harus mengambil keputusan, Yudhoyono justru membentuk tim ataupun satuan tugas adhoc.
Kepemimpinan politik di tingkat daerah setali tiga uang, sebagian besar Pemda terperangkap perlombaan perburuan rente untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan parpol masing-masing. Desentralisasi kekuasaan ke daerah malah menjadi celah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tak mengherankan jika korupsi tumbuh subur dan bahkan semakin berlipat ganda dibandingkan era Orde Baru.
Tidak jauh berbeda dengan eksekutif, DPR juga menurut Syamsuddin sama saja. Ketika kinerja para wakil rakyat masih buruk dan mengecewakan, prestasi minim, serta tingkat kehadiran dalam rapat-rapat sangat rendah, tuntutan perbaikan fasilitas kerja, insentif dan pendapatan terus bertambah setiap tahun. Tatkala berbagai skandal suap, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan anggota DPR makin sering terungkap, tuntutan akses haram dewan itu atas dana APBN meningkat dari waktu ke waktu.
Khusus mengenai tindakan Komisi III DPR 2009-2014 yang menolak kehadiran dua orang pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPR akhir Januari 2011, Syamsuddin Haris menilai sikap politik DPR itu merefleksikan secara telanjang betapa rendahnya komitmen para politisi partai politik (parpol) mendukung pemberantasan korupsi.
Melihat situasi yang ada sekarang, ia menilai, salah satu faktor penyebab karut-marutnya bangsa Indonesia dewasa ini adalah rendahnya komitmen moral para politisi parpol di satu pihak, dan realitas “kawin campur” antara presidensialisme dan sistem multipartai di pihak lain. Karena itu, problem reformasi kepartaian tidak hanya terkait upaya membentuk sistem multipartai sederhana dalam rangka efektivitas pemerintahan, melainkan juga perlu upaya serius “mendidik” para politisi parpol agar lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap masa depan Indonesia.
Karena itu, satu-satunya harapan untuk memaksa para politisi mengubah perilaku, komitmen dan moralitas mereka adalah semakin meningkatkan kerjasama dan konsolidasi masyarakat sipil. Untuk itu, berbagai cara bisa ditempuh, seperti melakukan gugatan secara class action terhadap politisi busuk tertentu yang dianggap korup atau tidak memperjuangkan aspirasi konstituennya. eti | ms-muli-mlp