Membangkitkan Nasionalisme lewat Seni
Eko Supriyanto
[WIKI-TOKOH] Setelah dahulu dikenal sebagai penari latar Madonna, Eko Supriyanto kini salah satu sosok di balik kebangkitandrama musikal Indonesia. Ia yakin seni bisa membangkitkan nasionalisme.
Tahun 2010 bisa dibilang sebagai tahun kebangkitan seni pertunjukan. KehaJ diran drama musikal Onrop karya sineas Joko Anwar dan Diana besutan Garin Nugroho yang berhasil mencuri perhatian khalayak disebut-sebut sebagai momentumnya.
Keberhasilan itu tentu tidak dapat dilepaskan dari sosok Eko Supriyanto. Dialah yang menangani koreografer dua drama musikal tersebut.
Namun, terlepas dari kesuksesan itu, sebagai orang yang telah lama malang melintang dalam seni pertunjukan, Eko melihat sesuatu yang lain. Sebuah kegairahan yang kini sedang merambah sendi-sendi dunia pertunjukan Tanah Air.
“Menurut saya, ini sangat menggembirakan. Di satu pihak seniman seperti saya akhirnya memiliki kesempatan untuk berbuat di kesenian lain. Di pihak lain, penonton juga dapat menikmati sajian pertunjukan yang lebih beragam,” kata Eko dalam pebincangan lewat dunia maya kepada Media Indonesia, Rabu (22/12?2010).
Situasi itu, lanjut Eko, akan semakin membuka lebar kesempatan bagi kesenian untuk mendapatkan penonton dari kalangan umum. Penari yang juga dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu mencontohkan Onrop dan Diana. Seperti halnya yang terjadi pada era Teater Koma, dua drama musikal tersebut akhirnya mendapatkan penonton baru.
Apa yang kini sedang terjadi dalam dunia pertunjukan Tanah Air, menurutnya, tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Barat. Namun di Barat, khususnya Amerika, itu didahului dengan beragam pertunjukan . musikal, baik drama musical opera hingga Broadway, baru ke-mudian ke pertunjukan yang lebih eksperimental. Di Indonesia justru kebalikannya.
Begitu pun ini bukan pula sesuatu yang baru. Puluhan tahun lalu sudah ada pertunjukan musikal, seperti Langendriyan dan Langennwndrowa-nanran dari Yogyakarta.
Fenomena itu, menurut Eko, menarik dikaji karena merupakan sebuah gejala perhbauran antar-seniman dari berbagai latar belakang. “Sudah saatnya seniman berkolaborasi, terutama di saat tari, film, dan seni yang lain mengalami penurunan. Ajang musikal ini mampu membuka dialog kreatif dan ini juga yang terjadi di masa munculnya Broadway,” kata Eko yang saat dihubungi sedang menjalankan misi kesenian di Belgia.
Selain masih kurangnya kolaborasi, Eko melihat belum maksimalnya perkembangan seni pertunjukan karena kurangnya perhatian dari pemerintah. Padahal, pria yang te-fah menari di berbagai panggung di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang itu menilai seni dan budaya dapat menjadi inspirasi bangsa dan membangkitkan nasionalisma di saat negara sedang terpuruk.
“Lewat seni kita dapat berdialog tentang arti hidup dan filosofi keberagaman perbedaaan yang jadi sumber kekuatan Indonesia,” ia menegaskan.
Cita-cita pegawai bank
Berbincang mengenai perkembangan dunia seni pertunjukanbersama Eko ibarat mengarungi samudra luas. Ia bukan hanya seorang profesional, ia juga pemikir dan pemerhati dunia seni.
Sosoknya yang seperti ini nyatanya buah ketekunan sejak kecil. Eko yang di kalangan teman kuliahnya dijuluki Pece karena selalu berkacamata hitam akrab dengan tari sejak usia tujuh tahun. Tepatnya semenjak pria kelahiran Banjarmasin ini tinggal di rumah kakeknya di Magelang.
Tapi, anehnya meski suka tari, Eko mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi seniman tari. “Saya dulu bercita-cita jadi sekretaris atau pegawai bank yang dengan jelas akan mendapatkan income secara reguler,” tutur ayah dua anak ini.
Namun, cita-cita pegawai bank nyatanya makin jauh. Garis hidupnya bersinar di dunia tari.
Setelah lulus ISI Surakarta, Eko mendapat beasiswa melanjutkan gelar master bidang seni di University of California, Los Angeles, (UCLA), AS. Dengan tidak melupakan akarnya, se-telahempat tahun di sana, ia memutuskan untuk kembali ke almamaternya untuk berbagi pengalaman dan jaringan kepada sesama pengajar dan mahasiswa.
“Ini panggilan nurani. Lagi pula saya merasa bidang akademik adalah ruang yang sangat tidak terbatas untuk berdialog dan mengembangkan kreativitas dan keilmuan,” kata pria kini tengah menjalani studi S-3 bidang pengkajian seni di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Faktor Madonna
Di antara sederet karya dan prestasinya, bisa dibilang ada satu penca-paiannnya yang begitu diingat orang. Itu apa lagi kalau bukan prestasinya yang pernah menjadi penari latar Madonna.
Bekerja sembilan bulan dengan salah satu diva Hollywood itu jelas suatu prestasi besar. Madonna terkenal dengan aksi panggung yang hebat, termasuk tarian yang spektakuler. Selain itu, tidak sembarang penari bisa terpilih menjadi anggota timnya. Di sisi lain, begitu seringnya Eko dikaitkan dengan pengalamannya pada 2001 seo-lah seperti mengecilkan pencapaiannya yang lain. Begitu pun Eko mengaku ia tetap menganggap pengalaman itu sebagai sesuatu yang disyukuri hingga kini. Apalagi kemudian, pengalaman itu membawa kebaikan bagi kariernya.
Eko menuturkan selama menjadi penari latar di tur dunia itulah ia banyak belajar bagaimana sebuah kedisiplinan dan kesempurnaan teknik koreografi. Selama bersama Madonna itu pula Eko mengaku banyak belajar bagaimana menghargai beragam perbedaan dari berbagai macam teknik tari, musikalitas, juga ruang dan waktu koreografinya.
Satu hal lain yang dirasakannya sebagai anugerah dalam proyek kerja itu adalah kebangkitan nasionalisme dalam dirinya. Bekerja di negara orang dan bersama, penari dari berbagai negara justru membuat kecintaannya pada Indonesia makin besar.
Menurut Eko, semakin ia dikelilingi teman dari berbagai negara dan menemukan berbagai hal baru dalam setiap kunjungannya, justru semakin ia merindukan rumah. Pengalaman latihan silat di Kali Progo hingga makanan serenek (sup khas Magelang) dan tempe penyet seolah memanggil-manggil untuk kembali ke Tanah Air.
Eko juga merindukan tari-tarian Indonesia. Itu semua membuat saya ingin terus belajar dan menjadi penari Jawa atau penari Indonesia yang mumpuni,” kata pendiri Solo Dance Studio ini.
Kini, pengabdian Eko di dunia tari makin besar dengan dukungan ke-luarga. Istrinya, Astri Kusuma Wardani, yang juga seorang penari, sangat mengerti kesibukan suaminya sebagai penari, pengajar, dan koreografi itu.
“Mereka (istri dan anak-anak) yang menginspirasi saya untuk terus berkarya,” tandas pria yang sering menciptakan tarian berdasar pengalaman hidup ini. e-ti
Sumber: Media Indonesia, Senin, 27 Desember 2010 | Penulis: Ferdinand