Tidak Ingin Menjadi Sekadar Guru

Triyem
 
0
424
Triyem
Triyem | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Besar di daerah tandus,Gunung Kidul, tak membuat Triyem puas dengan kapasitasnya sebagai guru yang segitu-gitu saja.

Guru, di mata Triyem, merupakan profesi penuh kehormatan. Baginya, untuk menjadi guru, tak bisa punya ilmu sekadarnya. ”Apalagi saya lulus sarjana itu sudah belasan tahun yang lalu. Artinya, banyak hal baru yang pasti sudah berkembang di dunia sains. Apalagi saya mengajar kimia. Kalau mengajar itu-itu saja, anak-anak juga pasti bosan,” ungkapnya saat ditemui Media Indonesia di sekolah tempatnya mengajar, SMA 112 Jakarta, Senin (23/8).

Tapi mau bagaimana lagi. Profesi yang ia geluti sejak belasan tahun yang lalu itu menawarkan gaji yang jauh dari cukup untuk biaya pascasarjana. Meski cukup untuk makan, perempuan yang akrab di sapa Tri itu pun hanya bisa menyimpan dengan rapi impiannya menimba ilmu.

‘Makanya, saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui dinas pendidikan membagikan beasiswa S-2 gratis bagi guru yang terseleksi, saya berusaha sebaik-baiknya, siapa tahu terpilih,” ucap perempuan yang selalu juara kelas semasa SD dan SMP ini.

Tri akhirnya mampu menyisihkan puluhan saingannya. Dari SMA tempat ia bekerja, hanya ia yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan magister Universitas Indonesia.

”Wah saya senang sekali. UI bagi saya semacam kampus impian. Meski harus jauh bolak-balik kuliah, saya merasa tidak berat menjalaninya. Tiga hari kuliah dari pagi sampai malam, tiga hari mengajar, satu hari urus anak,” papar Tri yang bertempat tinggal di Tangerang.

Dengan kuliah lagi, Tri membayangkan berbagai hal yang diserapnya selama kuliah untuk dibagikan kepada anak muridnya.

”Keinginan saya sederhana saja. Kalau saya punya ilmu lebih, saya bisa bantu siswa membuka wawasan mereka. Masak mereka hanya saya ajarkan hitung-hitungan terus,” ucapnya.

Antioksidan alami

Keseriusan perempuan berusia 42 tahun ini dalam mengembangkan dirinya di perlihatkannya saat melakukan penelitian untuk menyusun tesis. Tak tanggung-tanggung, Tri mencoba meneliti kekayaan hayati yang belum pernah diteliti orang lain, yakni Garcinia ef bancana miq, alias manggis hutan.

Advertisement

‘Ada sih manggis yang sudah diteliti peneliti luar, tapi bukan yang jenis ini. Penelitian saya ini menggunakan manggis yang hidup di Kalimantan Tengah. Saya dapatkan bentuk herbalnya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),” tuturnya.

Ia sengaja mengambil topik penelitian itu karena prihatin atas keragaman hayati Indonesia yang belum termanfaatkan dengan baik. Justru banyak peneliti asing yang melakukan penelitian terhadap berbagai tumbuhan di hutan tropis Indonesia.

”Indonesia itu kan Negara tropis, berarti kaya tumbuhan tropis, salah satunya pohon manggis yang banyak tumbuh di hutan-hutan tropis. Ini harusnya menjadi anugerah, tapi justru belum optimal digunakan. Harusnya kita yang teliti sendiri,” timpalnya.

Padahal secara umum, manggis terbukti memiliki banyak manfaat. Mulai dari antikanker, antibakteri, hingga pengobatan malaria.

”Yang bisa diteliti juga beragam, mulai dari batang, daun, sampai buah. Saya meneliti bagian batangnya,” papar Tri.

Lantas, penelitian yang ia kerjakan di laboratorium LIPI, Serpong, tersebut berbuah menjadi penemuan senyawa antioksidan yang aktif dalam batang pohon manggis hutan. ”Berarti Indonesia punya bahan alami untuk membuat antioksidan, tak perlu menggunakan yang sintetis,” tukasnya.

Penelitian lanjutan

Guru kimia ini mengakui penemuannya dalam riset sederhana tersebut masih butuh penelitian lanjutan. Agar bermanfaat, imbuhnya, perlu uji klinis dan pengembangan. Bahkan, Tri, membayangkan kalau temuannya dimanfaatkan, Indonesia tak perlu lagi mengimpor antioksidan.

”Antioksidan itu kan banyak manfaatnya. Bisa buat perawatan kulit, pencegahan pembusukan, pengawet minyak, dan masih banyak lagi. Sayang kalau tidak dikembangkan,” papar ibu satu anak ini.

Namun, melakukan pengembangan sendiri, bagi Tri, merupakan mimpi mewah lainnya. Ia lebih berharap ada yang melanjutkan penelitiannya agar antioksidan yang ditemukannya dapat segera diaplikasikan.

”Kepingin sih (mengembangkan penelitian) kalau ada kesempatan, tapi saya rasa cukup saya saja (menelitinya). Rasanya itu di luar jangkauan saya. Lagi pula saya kan guru. Saat ini saya lebih ingin membagi apa yang sudah saya dapat,” sahutnya sambil menghela napas.

Tri pun berharap guru-guru di seluruh Indonesia tak puas dengan pendidikan yang sudah mereka enyam. Terutama guru-guru di daerah pelosok. ”Kalau semua guru, terutama guru-guru bidang IPA, mau mengembangkan wawasan, menempuh pendidikan pascasarjana, serta melakukan penelitian, tak sulit membuat anak tertarik dengan pelajaran ini. Apalagi kalau para guru bisa mengaitkan dengan kemajuan teknologi saat ini. Ini pasti menarik,” pungkasnya. (M-4)

***

Menguak Misteri si Kulit Batang Manggis Hutan

Menjadi guru di SMA diakui Triyem memang tak jarang membuai para guru stagnan. Proses kuliah pascasarjananya membuka banyak hal baru bagi Triyem. Melalui berbagai literasi, Triyem tergerak melakukan riset kulit batang pohon manggis.

“Selama kuliah banyak hal baru yang saya dapat, baik dari para pengajar dan terutama dari berbagai literatur yang saya baca di kampus. Dari bacaan-bacaan itu saya semakin sadar betapa kayanya bangsa ini akan tanaman-tanaman hutan,” paparnya.

Dengan berbekal pengetahuan dari bahan bacaannya serta diskusi dengan para pembimbingnya, Sri Hartati, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Heri Cahyana dari Universitas Indonesia, Triyem bertekad menguak misteri kulit batang pohon manggis yang banyak tumbuh di hutan Kalimantan Tengah. “Saya membaca literatur tentang hutan tropis Indonesia
dan membaca mengenai manggis hutan. Manggis hutan itu ternyata banyak jenisnya. Dari literatur saya temukan bahwa
manggis hutan di Kalimantan Tengah ini belum ada yang meneliti senyawa yang ada di kulit batangnya,” paparnya.

Triyem pun memilih laboratorium LIPI sebagai tempatnya mengutak-atik si kulit batang manggis hutan. Meski mengaku
bisa saja memilih laboratorium yang lebih dekat, Triyem mengatakan laboratorium LIPI di Serpong merupakan laboratorium yang paling layak dan lengkap untuk penelitian mengenai tanaman tropis.

“Kalau mau bagus penelitiannya, ya memang harus bolak-balik ke Serpong. Dan lagi untungnya di LIPI Serpong itu ada sampel batang kulitnya yang sudah tersedia. Saya tidak mampu kalau harus pergi ke Kalimantan Tengah,” tuturnya.
Dari kulit batang pohon manggis tersebut, Triyem pun mulai membuat ekstrak untuk diteliti. Triyem melakukan screening awal di kulit tersebut.

Hasilnya ia menemukan ada molekul antioksidan yang aktif. “Kalau molekulnya aktif, saya asumsikan senyawa antioksidan
yang aktif pun bisadihasilkan,” paparnya. Kulit batang tersebut, lanjutnya,dikeringkan terlebih dahulu sebelum dihaluskan. Dari ekstrak itu, imbuhnya, pengujian lanjutan dilakukan lagi. “Saya uji molekulnya, bagaimana aktivitasnya, seberapa aktif. Dari sini baru bisa dipastikan senyawa murni yang mengandung antioksidan aktif,” ucapnya.

Selain dana, Triyem harus pula berpacu dengan waktu. Triyem hanya punya waktu enam bulan untuk bolak-balik antara Tangerang, Serpong, Depok, dan Kembangan, Jakarta, untuk menggarap risetnya. Dengan penelitian berjudul Aktivitas Antioksidan dalam Kulit Batang Manggis Hutan Garcinia ef bancana miq dari Kalimantan Tengah Triyem mampu lulus tepat waktu dari yang ditargetkan Pemprov DKI bersama 9 guru lainnya. Enam bulan, diakui Triyem bukanlah waktu yang memuaskan untuk melakukan penelitian lengkap. Waktu yang terbatas itu ia maksimalkan dengan sebaik-baiknya.

“Waktunya terbatas sekali. Saya sempat khawatir juga tak bisa tepat waktu, tapi berkat motivasi saya akhirnya bisa menyelesaikan riset ini,” ungkap Triyem yang berhasil lulus Program Pascasarjana UI itu dengan nilai memuaskan. (*/M-4) e-ti

Sumber: Media Indonesia, Kamis, 26 Agustus 2010 | Penulis: Vini Mariyane Rosya

Data Singkat
Triyem, Guru, Peneliti / Tidak Ingin Menjadi Sekadar Guru | Wiki-tokoh | Guru, peneliti, kimia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini