
[OPINI] – Ketika saya mengunjungi Pak Ali Alatas, Rabu sore 3 November lalu, di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, ia sedang duduk dan tampak lesu. Terbata-bata ia berkata dalam bahasa Inggris: “Tidak ada yang lebih berharga dalam hidup ini, kecuali kesehatan pribadi….”
Para dokter sebenarnya memperkirakan bahwa sekitar tanggal 17 Desember ini, Pak Ali sudah boleh berobat jalan. Namun, serangan jantung mendadak Kamis (11/12) pagi fatal akibatnya. Mantan Menteri Luar Negeri RI ini meninggal ketika berumur 76 tahun.
Saya mengenal Alex, panggilan akrabnya, sejak pertengahan 1950-an, ketika kami sama-sama menjadi mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat. Tapi, dia juga mengikuti kuliah di Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN), suatu lembaga pendidikan yang mempersiapkan para calon diplomat selama tiga tahun. Almarhum Ali Alatas adalah Menteri Luar Negeri RI pertama yang memulai jenjang kariernya dari bawah. Dapat dikatakan, ia memang memiliki ciri-ciri alamiah yang membuat pribadinya amat cocok berkembang menjadi diplomat ulung.
Negara RI dengan jumlah penduduk ranking keempat di dunia pasti menghadapi berbagai persoalan sulit dalam mendorong kepentingan nasional di panggung internasional. Dengan sendirinya peranan para diplomat Indonesia bertambah penting. Pengertian “diplomat” tidak terbatas hanya pada pejabat Departemen Luar Negeri saja, tapi juga para pejabat yang berpangkalan di Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Kementerian Riset dan Sains, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian RI. Memang benar, intinya adalah korps profesional dari Deplu.
Karena itulah tokoh pribadi Ali Alatas perlu dipelajari sebagai panutan. Ciri-ciri berikut inilah yang agaknya menonjol pada dirinya:
Pertama, kemahiran mempergunakan bahasa asing, antara lain, Inggris dan Prancis. Memang benar, karena pendidikannya di Sekolah Menengah Atas berbahasa Belanda di Jakarta maka dengan sendirinya, kecuali bahasa Belanda, pelajaran dalam bahasa Inggris, Prancis bahkan bahasa Jerman diberikan secara intensif.
Pendidikan di ADLN menambah kemahiran berbahasa asing itu. Khususnya, kemahiran merumuskan sebuah konsep secara relatif cepat dalam bahasa Inggris, umpamanya. Beberapa kali saya lihat Pak Ali selama berbagai sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York (almarhum pernah menjabat Wakil Tetap RI di PBB di Jenewa dan di New York) selalu didesak oleh para rekannya, wakil-wakil negara sahabat, supaya sudi menjadi perumus sebuah konsep resolusi yang pokok-pokoknya sudah disepakati.
*
Kedua, penting bagi seorang diplomat Indonesia menguasai sebuah permasalahan. Artinya, secara intelektual jangan bersikap malas. Memang benar, dia tidak bisa diharapkan menguasai sepenuhnya sebuah permasalahan teknis di bidang pertahanan atau perdagangan internasional, umpamanya. Mestinya, RI memiliki pakar-pakar di bidang-bidang tersebut. Namun, pokok-pokoknya perlu dikuasai seorang diplomat supaya ia mampu mendorong kepentingan nasional, baik dalam perundingan bilateral maupun multilateral.
Ketiga, penting bagi seorang diplomat Indonesia menjaga stamina dan kesehatan. Saya jarang sekali melihat Pak Ali meledak marah meskipun sudah mengikuti sebuah perundingan selama berjam-jam. Ia mampu bersikap tetap ramah kepada para wartawan, umpamanya, dan ingat nama-nama mereka tanpa membocorkan informasi tentang apa yang terjadi di balik pintu tertutup.
Saya selalu ingat nasihatnya, ketika saya masih bertugas sebagai Pemimpin Redaksi harian berbahasa Inggris The Jakarta Post, pada April 1991.
Sekretarisnya menelepon dan menyampaikan pesan bahwa Pak Menlu ingin jumpa. Dengan senyum lebar, ia beritahukan bahwa Presiden menyetujui pencalonan saya sebagai Kepala Perwakilan RI di Australia. Kemudian wajahnya serius dalam menyampaikan nasihatnya. Pak Ali tekankan, saya adalah orang media pertama yang menjadi duta besar setelah Soeharto 23 tahun jadi presiden.
Ia tandaskan betapa pentingnya selalu bersikap sabar, pandai menghargai aspek positif pada seorang dan tidak terus jengkel menjumpai aspek negatif pada diri siapa pun yang Anda jumpai. “Karena orang tahu bahwa Anda teman pribadi saya, maka Anda tidak boleh gagal,” katanya. Sebagai Menlu, Pak Ali waktu itu berkantor di Gedung Pancasila di Pejambon. Tiap kali saya kunjungi gedung bersejarah itu, terkenang lagi pertemuan pada April 1991.
Harapan saya, almarhum Ali Alatas akan tetap merupakan panutan bagi generasi diplomat RI baik yang sekarang maupun di tahun-tahun mendatang dalam memperjuangkan kepentingan nasional di dunia yang tambah kompleks dengan persaingan kepentingan yang tambah sengit. (Suara Pembaruan, 13 Desember 2008). Oleh: Sabam Siagian **Penulis adalah pengamat masalah internasional. Pernah bertugas sebagai Kepala Perwakilan RI di Australia
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)