Mengenang Filosofi Bermain Kartu

Kita kehilangan sosok diplomat ulung sekaligus putra terbaik bangsa bernama Ali Alatas. Alex, sapaan akrab almarhum, yang lahir pada 4 November 1932 itu wafat karena serangan jantung di RS Mount Elizabeth, Singapura, Kamis pagi, pukul 7.30 waktu setempat, dalam usia 76 tahun. Indonesia selayaknya berdukacita sekaligus menundukkan kepala atas jasa diplomat ulung satu ini.
Ketika menjabat Menlu (1987-1999) dalam empat kabinet, saya sempat beberapa kali bertemu. Pada 1999, saya pernah bertemu almarhum yang kecewa atas rencana Presiden Habibie terkait dengan Timor Timur (Timtim). Habibie mengeluarkan dua opsi kepada rakyat Timtim. Pertama, merdeka atau lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua, diberi otonomi khusus atau tetap bergabung sebagai provinsi termuda Indonesia. Setelah referendum dilakukan pada 29 Agustus 1999 dan hasilnya diumumkan pada 4 September 1999, mayoritas warga Timtim atau tepatnya sekitar 78,5 persen penduduknya memilih opsi pertama.
***
Ali Alatas pantas kecewa, mengingat dialah yang paling banyak berupaya meyakinkan publik dunia bagaimana Timtim telah berintegrasi dengan Indonesia. Itu dilakukan Alex bahkan sebelum ditunjuk jadi Menlu, yakni ketika menjabat wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York (1983-1987). Dialah yang menjaga gawang Indonesia ketika negeri ini harus menghadapi cacian dan kritikan dari masyarakat dunia yang menentang aneksasi Timtim.
Ketika dia mulai menjabat Menlu, kritik untuk Indonesia justru kian menggila. Syukurlah dengan kesantunan dan kecerdasan berdiplomasi, Alex menjawab semuanya dengan bermartabat.
Ketika meletus insiden Santa Cruz yang menewaskan puluhan orang pada 12 November 1991, Alex bisa tetap cool tanpa kehilangan wibawa sehingga kemarahan dunia bisa diredam. Alex tidak bosan menjelaskan, setelah Timtim dua dekade berintegrasi dengan Indonesia (1976-1996), tingkat pendapatan masyarakatnya meningkat 70 persen. Pemerintah RI juga memberikan anggaran lebih daripada provinsi lain di Indonesia.
Karena itu, terkait dengan lepasnya Timtim, jelas sangat masuk akal bila Alex sangat kecewa, apalagi Presiden B.J. Habibie tidak pernah berkonsultasi atau meminta pendapatnya terlebih dahulu. Tapi, sejarahlah yang akan mencatat, apakah lepasnya Timtim dari Indonesia itu kekeliruan Habibie atau justru sebaliknya, blessing in disguise bagi Indonesia. Yang pasti, karena Timtim lepas itu, pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR.
Sebaliknya, nama Ali Alatas tetap berkibar. Terbukti, meski tak menjabat Menlu di era pemerintahan Gus Dur, Megawati, atau SBY, Alex tetap diangkat sebagai penasihat presiden untuk masalah diplomasi atau urusan luar negari. Bahkan, beberapa negara dulu pernah mengusulkan Ali Alatas sebagai kandidat Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa.
***
Yang perlu digarisbawahi adalah kontribusi maksimal yang ditorehkan Ali Alatas selama puluhan tahun di kancah pergaulan masyarakat internasional. Bayangkan, sejak usia sangat muda, yakni 22 tahun, Ali Alatas sudah meniti karir sebagai diplomat. Dia mengawali tugas diplomatnya sebagai sekretaris kedua di Kedutaan Besar RI Bangkok (1956-1960).
Sebelum jadi diplomat, Ali Alatas pernah terjun di dunia jurnalistik sebagai korektor harian Niewsgierf (1952-1952) dan redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954).
Mengingat jam terbangnya yang tinggi sebagai diplomat, wajar sudah banyak kontribusi yang beliau berikan bagi tanah air. Lalu, apa rahasia kesuksesan diplomasinya? Berkali-kali di depan wartawan, analis politik luar negeri, atau diplomat junior dari tanah air, Alex memaparkan kiatnya: “Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan, jatuhkan kartu tersebut satu per satu.”
Terbukti dengan kiat semacam itu, citra Indonesia di mancanegara selalu bisa terjaga secara bermartabat. Karena itu, diplomasi jelas punya tempat dan peran strategis.
Bahkan kalau merunut sejarah kemerdekaan, keberhasilannya bukan semata-mata terletak pada perjuangan bersenjata. Diplomasi merupakan kekuatan ketiga dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan kemerdekaan yang merebak di hampir seluruh Nusantara dimenangkan bukan hanya oleh kekuatan militer, tetapi terutama oleh keahlian diplomasi (Prof Dr Richard Jakaryas Lerisa, Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, 2007).
Sejarah diplomasi Indonesia jelas tidak akan lengkap tanpa menyebut nama Ali Alatas. Apalagi, sepanjang dedikasinya sebagai diplomat, dia juga teguh dalam diplomasi merah putih. Artinya, lewat perjuangan diplomasi, Ali Alatas sungguh menjadi inspirasi -khususnya bagi warga negara Indonesia di luar negeri-untuk tetap memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme. Apalagi, kita kian bangga mengingat negeri kita sudah masuk sebagai anggota G20.
Karena itu, pemakaman Ali Alatas di Taman Makam Pahlawan Kalibata sudah selayaknya dilakukan. Ali Alatas memang seorang pahlawan bagi bangsa ini. Semoga almarhum diterima di sisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. (Indo Pos, 13 Desember 2008 Oleh Andika Hadinata, analis politik internasional, menetap di Tubingen, Jerman). e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Tokoh Terkait: Ali Alatas, | Kategori: Opini | Tags: Diplomat, Menteri