Pelopor Garda Depan
Iwan Hasan
[WIKI-TOKOH] Akhirnya cita-cita Iwan Hasan bersama bandnya, Discus, tampil di festival musik “Zappanale” di Bad Doberan, Jerman, tercapai juga 11-16 Agustus lalu. Festival tahunan yang bergengsi ini mengabadikan jasa musisi garda depan Amerika Serikat, Frank Zappa (1940-1993), yang diikuti band-band dari mancanegara.
Sudah tiga kali Discus, band yang personelnya mencapai lebih dari 20 orang itu, diundang ke Zappanale. Baru kali ini Iwan memenuhi undangan itu berkat dukungan moril maupun materiil dari dua pejabat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar dan Jordi Paliama, serta diplomat di KBRI Brussels (Belgia), PLE Priatna. Discus pun melancarkan tur Eropa ke Zappanale serta tampil di KBRI Brussels untuk mempromosikan diri di “ibu kota politik” Eropa tersebut.
“Konser kami di Zappanale disaksikan sekitar 7.000 penonton. Setelah itu kami tampil di KBRI Brussels dalam rangka HUT kemerdekaan. Kami puas, cukup banyak pihak yang tertarik mendengarkan ramuan musik modern dan tradisional Indonesia yang khas Discus,” tutur Iwan. Dari pembicaraan dengan berbagai pihak di Belgia, Iwan optimistis tahun depan ia akan diundang unjuk gigi dalam sejumlah festival di Brussels yang merupakan pusat kebudayaan Uni Eropa itu.
Ironis memang, Discus kurang dikenal di dalam negeri meski banyak memperkenalkan musik tradisional negeri ini di luar negeri. Dua album Discus, 1st (1999) dan Tot Licht! (2003), cuma jadi koleksi penikmat musik garda depan saja. “Kami sedang menggarap album ketiga, 80 persen telah rampung,” kata Iwan. Yang berniat menikmati sajian Discus di Zappanale, Iwan mempersilakan Anda masuk ke halaman dia yang mudah dicari di Facebook atau YouTube.
Discus adalah band garda depan yang memadu elemen jazz, rock, klasik kontemporer, dan tradisional. Band yang berdiri 1996 ini lebih terkenal di luar negeri. Mereka antara lain pernah tampil di tiga tempat di AS sepanjang tahun 2000 dalam acara “ProgNight” di San Francisco, “Knitting Factory” di New York, dan “ProgDay” di North Carolina. Selain itu, Discus manggung pula di “BajaProg” di Baja (Meksiko) tahun 2001, “Progsol” di Pratteln (Swiss) tahun 2005, dan “FreakShow” di Wurzburg (Jerman) juga pada 2005.
Dan, Discus adalah Iwan, musisi multiinstrumentalis yang sejak balita sampai SMP belajar piano/gitar/cello klasik. Iwan sejak 1980-an berpetualang di dunia musik, baik sebagai komposer, gitaris, maupun vokalis. Discus terbentuk tahun 1996, berawal dari pertemuan antara Iwan saat menjadi dirigen orkestra yang membawakan komposisi Franki Raden, “Simfoni Merah Putih”, dalam HUT stasiun teve SCTV, dengan Anto Praboe yang memainkan klarinet untuk orkestra itu.
Iwan dan Anto lalu mengajak Fadhil Indra, sahabat Iwan yang bermain band bersama selama 25 tahun sejak mereka masih di SD. Iwan dikenal sebagai pemetik “gitar harpa” 21 senar yang juga memperdalam komposisi klasik kontemporer dan improvisasi jazz serta vokal seriosa di Oregon. Ia seorang dari 20-an gitaris harpa profesional di dunia dan salah satu dari dua orang dari Asia—seorang lagi dari Jepang. Ia dipercaya mengisi salah satu nomor dari Beyond Six Strings (2004), album kompilasi 13 gitaris harpa yang berisikan 13 komposisi.
Dari vokal grup
Iwan pertama kali merambah dunia komersial ketika membawa band sekolahnya, SMAK Tirta Marta BPK Jabar (sekarang BPK Penabur), menjadi juara kedua lomba band se-Jabotabek. Tak lama setelah itu ia membentuk band Sea Serpent yang mencampur gamelan dengan rock. “Saat saya membentuk Discus, kondisi dan selera pasar kita masih beragam. Label-label masih mau memberikan kesempatan bagi musik garda depan atau rock progresif yang diusung Discus. Kini kondisinya sudah jauh berbeda, ruang gerak musik kami makin sempit. Tetapi, saya masih tetap optimistis masa depan Discus sebagai pelopor tetap cerah,” kata ayah empat anak ini.
“Saya sama sekali tidak antimusik pop yang dewasa ini dominan, tetapi label-label sebaiknya juga memberikan tempat bagi kami yang bermain di wilayah garda depan. Mereka mesti lebih berani mengambil risiko,” kata jebolan sekolah musik Willamette University, Oregon, Amerika Serikat, ini.
“Jika ditanya tentang prospek musik garda depan dan rock progresif, saya masih optimistis karena penikmatnya tetap ada. Jazz sekarang semakin populer, demikian pula blues,” ujar lelaki kelahiran 11 Desember 1967 itu. Iwan malah termasuk aktif memberikan kontribusi untuk musik pop dengan memainkan peranan sebagai komposer atau instrumentalis sejumlah band pop, seperti Ungu atau Boomerang.
Setelah membentuk Discus, proses pencarian jati diri Iwan tampaknya nyaris hampir selesai. Jika sempat mendengarkan kedua album Discus, telinga Anda, para pendengar musik tradisional, masih bisa menikmati elemen-elemen jazz, rock, metal, klasik, kontemporer, pop, ataupun etnis (Bali, Jawa, Sunda, Makassar, Aceh, dan Dayak).
Pengakuan terhadap Discus terjadi tahun 2004 ketika lagu “Anne” dari album Tot Licht! dianugerahi AMI Samsung Award. Dan, Discus sendiri menyabet gelar “Band Rock Progresif Terbaik” pada ajang yang sama.
Discus kerap berkolaborasi dengan musisi lain dari berbagai latar belakang genre, seperti I Gusti Kompiang Raka dan Gamelan Saraswati (gamelan Bali), musisi tradisional Betawi, sampai vokalis Fadly dari grup Padi. Discus saat ini terdiri dari Iwan (vokal/gitar/harpguitar/ keyboard), Fadhil (vokal/perkusi/rindik), Anto Praboe (klarinet/flute/saksofon), Kici Caloh (bas/vokal), Eko Partitur (biola/vokal), Yuyun (vokal/perkusi), dan Krisna Prameswara (keyboard).
Kelainan mata
Iwan menderita sejenis kelainan mata, retinitis pigmentosa. “Saraf-saraf retina di bagian pinggir mati sehingga saya hanya melihat persis di bagian tengah. Luas pandangan hanya 20 persen dari orang normal. Jadi kalau lawan bicara mengajak salaman, saya tidak bisa lihat tangan mereka. Kalau melihat tangan, wajah mereka yang tidak tampak,” tutur Iwan yang kerap kali menabrak orang lain saat berjalan.
Kelainan itu tak membuat Iwan kecil hati. Ia tetap bergitar, bernyanyi, dan, yang terpenting, menyiapkan album ketiga Discus. Ia menyandang predikat salah satu dari segelintir musisi yang peduli dengan musik garda depan yang salah satu tujuannya memperkenalkan musik tradisional Indonesia di luar negeri. “Semoga saja kami kembali diundang tampil lagi di Zappanale membawa nama Indonesia,” katanya. e-ti
Sumber: Kompas, 17 Oktober 2009 | Penulis: Budiarto Shambazy