Era Baru Pengadaan Persenjataan TNI
Sjafrie Sjamsoeddin
[DIREKTORI] Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin tidak akan pernah lupa pesan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono ketika ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan pada tahun 2005. Ia diminta untuk mengubah citra Dephan sebagai departemen yang “boros dan bocor”.
Tiga departemen yang dikenal tak efisien dalam menggunakan anggarannya adalah Departemen Pertahanan, Departemen Pendidikan, dan Departemen Agama.
Sjafrie kemudian mencoba melakukan pembenahan ke dalam, terutama dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Ia membentuk tim bersama di dalam departemen di mana keputusan pengadaan alutsista dibahas oleh Dealing Center Management (DCM).
Mengubah sebuah sistem yang sudah mengakar tidaklah mudah, apalagi begitu banyak kepentingan yang bermain di dalamnya, termasuk berbagai pihak yang selama ini ikut menikmati rezeki nomplok dari pengadaan alutsista untuk kepentingan Tentara Nasional Indonesia.
Besarnya kenaikan harga yang dinikmati dari setiap pembelian alutsista antara 30 hingga 40 persen. Tidak usah heran apabila Departemen Pertahanan dikenal sebagai departemen yang “boros dan bocor”.
Cara-cara seperti itu bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga membuat TNI tak pernah bisa memiliki postur yang bisa diandalkan. Padahal, uang yang disediakan untuk pengadaan alutsista sangat terbatas.
Tak bisa sendiri
Karena menyangkut sebuah sistem, pembenahan tidak mungkin dilakukan sendiri. Apalagi pemainnya bukan hanya berasal dari kalangan dalam Dephan maupun TNI, tetapi juga pihak luar, termasuk kalangan swasta, baik itu swasta murni maupun “setengah” swasta.
Pengalaman masa lalu menunjukkan besarnya peranan “pihak ketiga”. Dalam pengadaan alutsista yang terakhir ketika Indonesia mendapat kredit negara dari Rusia sebesar 1 miliar dollar AS, masih kuat keinginan dari “pihak ketiga” untuk berperan serta.
Sejak awal pembicaraan telah ada pihak yang mencoba mengatasnamakan Pemerintah Indonesia untuk melakukan transaksi bisnis dengan pihak Rusia. Sampai-sampai ketika delegasi resmi Dephan yang dipimpin Sekjen Dephan tiba di Moskwa, tim ini sempat dipertanyakan keabsahannya karena sudah ada pihak pertama yang datang untuk melakukan negosiasi.
Meski sistem politik besar sudah berubah, perilaku dari bangsa ini masih seperti dulu. Kebiasaan untuk mendapatkan rente seperti pada masa lalu masih tetap kuat.
Untuk itu, langkah Dephan untuk menerapkan sistem satu pintu pada pengadaan alutsista harus didukung. Seperti diakui Menhan Juwono, tidak mudah untuk menghapuskan sama sekali yang namanya “rekanan”. Tetapi, Dephan sangat serius untuk mengubah citranya sebagai departemen yang “boros dan bocor”. Niatan Badan Pemeriksa Keuangan untuk ikut mengawasi setiap pengadaan alutsista juga dinilai positif. (SURYOPRATOMO, Kompas 12 September 2007) e-ti
DCM untuk Pengadaan Alutsista
Sekjen Dephan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin berupaya mengubah citra Dephan profesional. Dia melakukan pembenahan ke dalam, terutama dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Dia membentuk Dealing Center Management (DCM), tim bersama dalam departemen untuk membahas dan memutuskan pengadaan alutsista.
Mantan Langdam Jaya kelahiran Makassar 30 Oktober 1952, itu mengubah sebuah sistem yang sudah mengakar yang sebelumnya tergolong boros dan bocor. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah Apalagi di situ begitu banyak kepentingan yang bermain, termasuk berbagai pihak yang selama ini ikut menikmati rezeki nomplok dari pengadaan alutsista untuk kepentingan Tentara Nasional Indonesia.
Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin, MBA, lahir di Makassar 30 Oktober 1952, dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Pertahanan RI sejak 15 April 2005. Sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI tahun 2002-2005.
Karier militer Letjen Sjafrie Samsoeddin seusai lulus dari Akabri Bagian Darat tahun 1974 diawalinya, sebagai Komandan Peleton Grup 1 Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Kemudian bertugas dipasukan dengan berbagai jabatan dan penugasan operasi militer di dalam negeri, seperti menjadi Komandan pada Nanggala X Timor Timur tahun 1976, Nanggala XXI Aceh tahun 1977, Tim Maleo Irja 1987 dan Satgas Kopassus Timor Timur tahun 1990. Sedangkan penugasan ke luar negeri dikutinya sebagai tugas belajar yaitu di Australia dan Amerika Serikat.
Beberapa jabatan strategis yang diembannya seperti menjadi Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) pada tahun 1993, Danrem-061/SK Kodam III/Siliwangi tahun 1995, Kepala Staf Garnisun Tetap (Kasgartap) -1 Ibukota tahun 1996, Kepala Staf Kodam (Kasdam) Jaya pada tahun 1996 dan menjadi Panglima Kodam Jaya (Pangdam) Jaya pada tahun 1997. Tahun 1998 menjabat Asisten Teritorial Kepala Staf Umum (Aster Kasum) TNI dan pernah pula menjadi Staf Ahli Polkam Panglima TNI tahun 1998, serta menjabat sebagai Koorsahli Panglima TNI tahun 2001.
Riwayat pendidikan militer umum maupun pengembangan spesialisasi yang pernah diikutinya, yaitu Para Komando, Susjurpa Jump Master, Borne, Path Finder, Free Fall, Suslapa Inf di USA, Sus Interstrat, Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat (Seskoad) dan Terorism in Low Intensity Conflic serta Lemhanas pada tahun 2000. Sedangkan Master Of Businness Adm (MBA) di perolehnya setelah mengikuti pendidikan di Institut Manajemen Bisnis Indonesia.
Ayah dari Moh. Benrieyadin dan Siti Benita Friyati serta suami dari Etty Sudiati, selama mengabdikan dirinya kepada negara dan bangsa telah menerima berbagai penghargaan dan tanda jasa diantaranya Satya Lencana Seroja, Wira karya, Kesetiaan VIII, XVI, XXIV Th, Gom IX/Raksaka, Gom VIII/Dharma Pala serta Bintang Kartika Eka Paksi Nararya III dan Bintang Yudha Dharma Nararya. TI, (sumber Dephan RI)