Sejauh Itu Rasa Tersinggung Kita?

Karena Tidak Semua yang Membuat Risih Pantas Dipenjara

0
62
Meme Satir Bukan Kejahatan
Meme Satir Bukan Kejahatan
Lama Membaca: 3 menit

Di negeri ini, ekspresi bisa berakhir di kantor polisi. Satu unggahan yang tak sesuai selera bisa dibaca sebagai ancaman. Satu gambar satir bisa dianggap melanggar susila. Kita makin sering memanggil hukum bukan untuk keadilan, tapi untuk menenangkan rasa tersinggung. Dan dari semua reaksi yang mungkin, kita memilih cara paling berlebihan: memidanakannya.

Seorang mahasiswi ITB dijerat hukum karena mengunggah gambar dua tokoh publik dalam pose yang dianggap tak pantas. Ia tak menyebarkan hoaks, tak mengajak kekerasan, tak menyerang kelompok manapun. Hanya menyampaikan kritik dalam bentuk visual yang satir. Apakah ekspresinya sopan? Tentu bisa diperdebatkan. Tapi satu hal yang pasti: itu bukan kejahatan.

Masalahnya, kita makin terbiasa merespons hal-hal yang tidak kita suka dengan laporan polisi. Aparat pun sering kali tidak membaca konteks, cukup membaca komentar netizen yang marah. Maka jadilah satu unggahan yang tak disukai, berubah status jadi “alat bukti.” Di sinilah persoalan kita yang paling serius: hukum kita, dan kita sebagai masyarakat, makin gagal membedakan antara rasa tersinggung dan pelanggaran hukum.

Meme itu bisa saja membuat risih, tapi risih bukan dasar untuk memenjarakan. Bukan semua hal yang mengganggu rasa pantas dihukum. Kalau hukum digunakan berdasarkan rasa, lalu siapa yang rasa-rasanya paling pantas menentukan nasib orang lain?

Di tengah geliat demokrasi digital, ruang berekspresi seharusnya meluas. Tapi kita justru menyempitkannya. Satire dianggap ancaman. Lelucon dikira penghinaan. Kritik dilabeli pencemaran nama baik. Kita makin sensitif terhadap hal-hal simbolik, dan makin cepat mempersenjatai rasa tersinggung dengan pasal-pasal elastis seperti “kesusilaan.” Padahal, siapa yang menentukan apa itu susila? Apa ukurannya? Susila menurut kelompok A belum tentu susila menurut kelompok B. Dan hukum seharusnya tidak berdiri di atas tafsir yang kabur dan berubah-ubah.

Yang lebih merisaukan, masyarakat kita makin terbiasa memaksakan selera moralnya pada orang lain. Unggahan yang tak disukai, segera dilaporkan. Pandangan yang berbeda, segera divonis sesat. Bahkan mahasiswa—yang seharusnya jadi jangkar nalar kritis bangsa—kini diperlakukan seolah pelaku kriminal hanya karena menyampaikan keresahan dengan cara yang tak umum.

Lalu muncullah satu pertanyaan penting: sejauh itu rasa tersinggung kita? Sejauh itu kita tidak tahan terhadap ekspresi yang berbeda? Jika ya, maka demokrasi kita sedang menghadapi krisis kejiwaan.

Satire, di banyak negara demokratis, dilindungi sebagai ekspresi sah. Di Amerika, kartun politik bisa menghina presiden. Di Prancis, karikatur agama pun dilindungi hukum. Di Inggris, parodi dijadikan gaya komunikasi publik yang sehat. Mereka tahu bahwa ekspresi tak selalu nyaman, tapi justru dari ketidaknyamanan itulah dialog dan kemajuan lahir.

Sebagai perbandingan, begini cara beberapa negara memperlakukan satire dan ekspresi politik:

📊 Tabel 1 – Perbandingan Perlindungan Satire Politik di Berbagai Negara

Negara Contoh Ekspresi Satir Perlindungan Hukum Respon Negara
Amerika Serikat Parodi presiden di SNL, The Onion Amandemen Pertama Konstitusi Dilindungi, bahkan dianggap wajar
Prancis Karikatur agama di Charlie Hebdo KUHP + prinsip sekularisme Dibiarkan, meski kontroversial besar
Indonesia Meme tokoh politik di media sosial UU ITE Pasal 27 ayat (1) (kesusilaan) Bisa diproses hukum tergantung tafsir

Sementara itu di Indonesia, satire justru sering diperlakukan seolah ancaman. Kita tidak membacanya sebagai kritik atau bahasa simbolik, tapi langsung sebagai pelanggaran moral. Masalahnya, pelanggaran itu pun bersandar pada tafsir yang kabur: kesusilaan. Dan dalam praktiknya, kesusilaan sering kali ditentukan oleh siapa yang paling keras tersinggung, bukan oleh prinsip keadilan yang stabil.

Advertisement

Dan kalau ini terus dibiarkan, apa yang terjadi? Hari ini satu meme bisa menyeret mahasiswa ke pengadilan. Besok, mungkin kartun. Lusa, bisa lagu. Minggu depan, mungkin hanya status WhatsApp. Dan kalau itu sampai terjadi, kita sudah tidak lagi hidup dalam demokrasi—melainkan dalam ketakutan berjemaah.

Kita tidak harus setuju pada setiap bentuk ekspresi. Tapi kita harus setuju bahwa tidak semua yang membuat kita marah layak untuk dipidanakan. Hukum harus memberi ruang bagi perbedaan, bukan menjadi alat pelampiasan rasa tak nyaman. Dan masyarakat harus belajar bahwa tidak semua yang tidak disukai harus dihilangkan.

Meme bukan makar. Kritik bukan dosa. Dan mahasiswa bukan kriminal hanya karena cara berpikirnya tidak seperti kita.

Jangan sampai, hanya karena satu lilin menyala, kita terus memanggil pemadam kebakaran. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

Menurut Anda, apakah ekspresi seperti meme satir layak dipidanakan jika dianggap menyinggung?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments