
[WIKI-TOKOH] Anda pencinta tanaman yang hampir putus asa melihat anggrek peliharaan kurus kering dan tak kunjung berbunga? Atau petani cabai yang terancam kehabisan modal karena sudah dua kali gagal panen karena tanaman pedas itu gagal berbuah?
Jika demikian adanya, mungkin Anda perlu berkonsultasi dengan dokter tanaman, Suryo Wiyono. Kepala Klinik Tanaman Institut Pertanian Bogor ini sehari-hari bergulat dengan identifikasi dan penanggulangan hama dan penyakit tanaman. “Semua anggrek ini pasien yang sedang opname, kondisinya sudah mendingan setelah dirawat, bahkan ada yang sudah bisa berbunga,” kata Suryo, sambil menunjuk deretan anggrek di depan ruang kliniknya, pertengahan Maret lalu.
Klinik tanaman tersebut sebenarnya adalah ruang laboratorium hama dan penyakit tanaman di lantai dua gedung Departemen Proteksi Tanaman IPB, Kampus Darmaga, Bogor. Ruangan laboratorium seluas 30 meter persegi itu dipenuhi dengan berbagai sampel tanaman. Mulai dari contoh ubi ketela rambat yang terkena virus, sampai rumput lapangan golf yang diserang serangga. Semuanya menunggu penanganan dari Suryo dan timnya.
Profesi dokter tanaman bukan istilah yang lazim didengar. Padahal, cara kerjanya hampir mirip dengan dokter yang menangani hewan dan manusia. Kalau ada hal yang sedikit lebih rumit mungkin karena si dokter tidak mungkin berkomunikasi dengan pasiennya. Menurut Suryo, klinik tanaman yang ia kelola bersama-sama beberapa rekan dosen IPB biasanya melakukan identifikasi penyakit tanaman melalui observasi dan uji laboratorium. “Tergantung penyakitnya, ada yang cukup dengan pengamatan morfologi, ada juga yang butuh uji mikrobiologi atau virologi,” ujar bapak dua anak tersebut.
Guru merangkap petani
Suryo terlahir sebagai anak seorang guru yang juga merangkap petani di Bojonegoro, Jawa Timur. Sejak kecil ia ikut membantu orangtuanya mengurus sawah. Selepas sekolah menengah, tahun 1986 ia memutuskan untuk melanjutkan ke Jurusan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Suryo bergabung sebagai dosen di almamaternya setelah merampungkan studi pada tahun 1992. Ia mulai terlibat dalam urusan penyembuhan hama dan penyakit tanaman ketika masuk menjadi staf klinik tanaman pada tahun 1994. Perhatiannya dalam mengembangkan klinik semakin intens setelah merampungkan program doktor bidang penyakit tanaman dari Universitas Gottingen, Jerman, tahun 2004.
Klinik tanaman berfungsi sebagai tempat diagnosis awal penyakit. Adapun penanganannya bisa melibatkan unit-unit lain. Sejak berdiri, klinik ini telah memeriksa lebih dari 1.400 kasus hama dan penyakitnya dengan jumlah klien mencapai 100 orang per tahun.
Klien Suryo datang dari berbagai kalangan, mulai dari petani kecil dan pemilik tanaman, hingga perusahaan perkebunan sawit dan kopi. “Di salah satu perkebunan kopi di Aceh, kemarin, ada ribuan pohon yang terkena penyakit, kami ambil contohnya,” ujar Suryo yang tidak segan mendatangi langsung kliennya jika diperlukan.
Pemeriksaan standar untuk satu penyakit tanaman memakan biaya sekitar Rp 100.000 per sampel. Jumlah itu bisa membengkak jika untuk kelengkapan diagnosis dibutuhkan teknik khusus, seperti teknik molekuler. Namun, petani kecil dibebaskan dari biaya.
Ilmu penyakit tanaman bagi Suryo menyimpan pesona tersendiri. Siapa sangka, dari kondisi suatu tanaman bisa terungkap fenomena perubahan alam. Ia mencontohkan tren kenaikan kasus penyakit daun padi mengering yang erat kaitannya dengan dampak perubahan iklim. “Suhu permukaan Bumi yang semakin panas memicu perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit ini lebih cepat,” kata Suryo.
Perubahan iklim pun ditengarai menyebabkan virus penyakit kuning pada cabai semakin mengganas. Fenomena penyakit-penyakit itu terlihat mencolok dalam lima tahun terakhir. Menurut Suryo, sebenarnya penyakit-penyakit tanaman budidaya dan tanaman pertanian produktif bisa dicegah dengan menjaga kebugaran tanaman. “Sama seperti manusia, kalau daya tahannya bagus, kan, tidak gampang terserang penyakit,” kata Suryo.
Tindakan pencegahan atau preemtif bisa dilakukan dengan memilih varietas yang tahan hama dan penyakit. Suryo dan rekan-rekannya menemukan tonik untuk membuat tanaman menjadi bugar. Ramuan tonik itu terdiri atas beberapa jenis tanaman dan beberapa bakteri baik yang dikembangkan di laboratorium.
Adapun tindakan responsif diambil kalau tanaman sudah terkena penyakit. Tindakan pengobatan bermacam-macam, bergantung pada penyebab penyakitnya. Seperti pada manusia, pengobatan dengan suntik dan infus pada tanaman juga bisa dilakukan. Isi cairan suntik dan infus bisa berupa insektisida atau fungisida.
“Prinsipnya, mencegah lebih mudah daripada mengobati. Penyakit yang sudah menyebar dalam skala luas semakin susah ditangani,” kata Suryo.
Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit tanaman ini seharusnya dilakukan oleh petugas-petugas penyuluh lapangan. Di setiap wilayah sebenarnya ada lembaga penyuluh pertanian yang sejak otonomi daerah dikelola oleh pemerintah provinsi dengan bantuan pembinaan dari Kementerian Pertanian. Sayangnya, lanjut Suryo, upaya pencegahan dan penanggulangan semakin jarang dilakukan oleh lembaga pertanian. Oleh karena itu, salah satu obsesi Suryo adalah menguatkan kembali fungsi lembaga-lembaga pertanian tersebut.
“Kalau perlu, lembaga pertanian didorong untuk mendirikan klinik tanaman sendiri, mereka, kan, sudah punya fasilitas laboratorium pengamatan hama dan penyakit,” ujar Suryo.
Minimnya upaya pencegahan dan penanggulangan, dinilai Suryo, mengakibatkan petani dan peneliti sama-sama keteteran. Bersama tim dosen-dosen IPB, Suryo pernah melakukan safari klinik tanaman keliling pada 2007. Ketika itu, mereka mendatangi kelompok-kelompok tani yang ada di 20 kota di Jawa. “Kami berbagi pengalaman dengan para petani tentang hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka sekaligus memberikan konsultasi gratis,” ujarnya.
Safari keliling itu ternyata mendapat sambutan positif dari para petani, lembaga pertanian, ataupun perguruan tinggi setempat. Rencananya, pertengahan tahun ini, safari keliling tersebut akan diperluas hingga ke beberapa kota di luar Pulau Jawa.
“Tim akan ke Lampung dan Sumatera Utara untuk memantau perkembangan hama dan penyakit tanaman kedelai, cabai, dan padi,” kata Suryo. e-ti
Sumber: Kompas, Senin, 5 April 2010 “Suryo Wiyono, Dokter Tanaman” | Doty Darmayanti