
[WIKI-TOKOH] Penampilannya sederhana. Baju lengan pendek, tas cangklong, tas punggung berisi beberapa buku tentang kebudayaan Timur, khususnya konfusianisme. Sosok seorang pengelana yang mengingatkan tokoh klasik Socrates pada zaman Yunani kuno atau Kartodikromo dalam sejarah kuno Jawa, atau Halim HD.
Iitulah Jusuf Sutanto (64), seorang penggiat kegiatan budaya yang lebih suka menyebut diri pemulung. Nyaris tidak ada pertemuan kebudayaan, dialog antaragama, dan dialog budaya lepas dari kehadirannya. Berlatar belakang pendidikan sarjana tekstil dan memperdalamnya di Jepang dan Jerman, kegiatan sehari-harinya jauh dari urusan kain. Pernah 8 tahun sebagai staf Direksi PT Indofood, apa yang dilakukan saat ini tak ada urusan dengan tepung. Namanya identik sebagai penggiat konfusianisme yang fanatik—salah satu tradisi budaya Timur berikut pernak-pernik kelengkapannya, seperti kaligrafi, huruf kanji, dan tai chi chuan.
Kecintaannya pada budaya Timur menyatu dengan dirinya. Melakukan olahraga tai chi sekitar 30 menit setiap hari sejak 30 tahun lalu. Membaca dan menulis buku-buku tentang konfusionisme. Rajin “menjual” kearifan Timur, termasuk menjadi dosen dengan mata kuliah psikologi.
Bertemu dan berbicara dengan Jusuf Sutanto menyenangkan dan memperkaya. Mengenai tai chi misalnya, tidak hanya terampil dia lakukan, tetapi tahu filosofi di sebaliknya. Juga, zen—ketika di Jepang selain memperdalam ilmu pertekstilan, dia juga belajar meditasi di kuil Eiheiji dan rumah retret pastor Jesuit di Sinmeitkutzu— merupakan awal kecintaannya pada kearifan Timur. “Tai chi adalah bentukan akhir dan kasatmata dari sebuah tarian jiwa. Guratan kuas dalam huruf-huruf kanji merupakan cermin kejiwaan seseorang,” kata Jusuf.
Wilayah materi itulah yang dia sampaikan di mana-mana, dalam buku-bukunya, berbagai ceramah budaya, mata kuliah psikologi untuk mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Pancasila dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Jauh dari tradisi keilmuan psikologi yang umumnya mengacu ke teori-teori Barat, Jusuf menukikkan persoalan psikologi ke psikologi Timur seperti dikembangkan Kunfusius. Tai chi dengan 88 jurus memang diajarkan dan digemari orang, tetapi tanpa dasar filosofis. Padahal, filosofi ta chi menjadi dasar latihan gerak badan sehingga orang dapat menjaga kesehatannya sendiri. Lengkaplah tai chi chuan.
Ketika diingatkan sebuah bunga rampai yang dieditori Samuel Huntington dan Lawrenge Harrison, Culture Matters. How Values Shape Human Progress (2000), dia seolah-olah tahu persis semua isi buku itu, terutama bagian perbandingan budaya Timur dan budaya Barat, di bagian perbandingan Ghana dan Korea Selatan, juga tulisan Tu We-ming mengenai nilai-nilai Timur. “Logika Timur dan Barat berbeda. Logika Barat lebih banyak di otak, logika Timur ada di otak dan hati,” katanya berapi-api.
Budaya negatif versus budaya progresif seperti disampaikan Harrison dan Huntington bagi Jusuf adalah tolok ukur kemajuan. Ghana tertinggal jauh dari Korea Selatan karena keduanya saling berkebalikan memperlakukan. Ghana dengan budaya negatifnya menempatkan sinergi sebagai yang menghambat karena harus menenggang rasa dengan kekurangan orang lain. Sebaliknya, dalam budaya progresif Korsel, sinergi sebagai keniscayaan.
Budaya Indonesia, kata Jusuf, tak lebih beda jauh dari budaya negatif Ghana. Bekerja sama sulit dilakukan sebab ada sikap serba tanggung. Nasib Indonesia, kalau terus-menerus seperti sekarang—terlihat dari kegemaran menyalahkan orang lain, memperkaya diri sendiri dengan segala tingkah laku serakahnya, antara lain terekspresi dari tingkah laku politik yang jauh dari filosofi kekuasaan—perkembangannya akan jauh lebih lambat dibandingkan Ghana.
Menyatukan otak dan hati, angin dan matahari dalam tradisi Timur bukanlah sesuatu yang saling meniadakan, melainkan saling melengkapi. Begitu juga keberagaman budaya, termasuk keberagaman agama tidak harus saling mengklaim kebenaran, melainkan satu penziarahan bersama. Pluralisme tidak hanya harus dibiarkan, tetapi harus dikembangkan sebab itulah jati diri alam semesta bersama segala isinya.
Tradisi Timur yang sudah lebih dulu lahir, 500 tahun sebelum Masehi, tidak hanya menunjukkan kelebihan, tetapi juga pengembangan menyatunya otak dan hati. Tidak hanya dalam olah otak, tetapi juga menjadi landasan dari semua kegiatan sehari-hari. Tingkah laku selalu dilandasi filosofi sehingga filosofi tidak hanya sebuah olah otak (philos>pencinta dan sophia>kebenaran), tetapi juga bagian utuh dari kehidupan.
Yang sedang dilakukan dan menjadi obsesi Jusuf adalah bagaimana budaya menari bersama alam sebagai bagian utuh kemanusiaan. Altruisme tidak ditempatkan sebagai meng-liyan-kan di luar diri individu, tetapi sebagai bagian utuh pemahaman diri. Yang diinginkan bagaimana individualitas dan sosialitas yang di Barat dipahami sebagai kenyataan saling mengada, di Timur justru dikembangkan sebagai pemahaman bersama.
Ibarat karismatik dalam tradisi Kristen atau tasawuf dalam Islam? Karena fanatisme budaya Timur? Ya dan tidak! Sebab Jusuf Sutanto tetap percaya adanya Yang Mutlak, dan suka merujuk pada budaya Barat tradisi Kartesian yang berawal dan berujung pada rasio. Sebaliknya, pada saat yang sama memberikan penghargaan dan kekaguman atas budaya Timur, utamanya Konfusianisme, yang kehadirannya ratusan tahun sebelum tradisi rasionalisme Barat.
Kagum pada fisikawan Fritjof Capra yang mencoba menggabungkan hubungan ilmu pengetahuan dan kearifan Timur, Jusuf sekaligus jadi penggiat mempertemukan kelebihan-kelebihan yang dimiliki Timur dan Barat, yang juga dilakukan oleh seorang padri Jesuit seperti Anthony de Mello SJ, juga sosok-sosok penggiat dan pemikir pembauran yang lain.
Yang dilakukan Jusuf Sutanto mungkin sederhana dan kecil, tetapi bermakna besar, yakni mengajak manusia belajar bekerja sama sehingga waktu dan perhatian tidak habis untuk menyelesaikan pertentangan dan sikap-sikap membenturkan diri dengan kebenaran-kebenaran mutlak yang sepihak. e-ti
<
Sumber: Kompas, Kamis, 17 September 2009 | Penulis: ST Sularto