Opini Lainnya
Praktik hukum pidana di Indonesia sering kali menampilkan ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan agama, di mana tersangka diperlakukan dengan zalim sebelum terbukti bersalah, dan tunduk pada tekanan publik yang mengabaikan hak asasi manusia yang sejatinya dijunjung tinggi oleh konstitusi dan nilai-nilai Pancasila.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Setiap manusia pasti berbuat kesalahan dan tidak ada yang sempurna; ini adalah hukum alam. Namun, ketidaksempurnaan manusia dapat disempurnakan dengan keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana diajarkan dalam semua Kitab Suci agama yang diakui di Indonesia.
Ketika menakar kesalahan atas perbuatan manusia, penilaian kita sering didasarkan pada apa yang tercela dan tidak tercela menurut norma manusia. Penilaian ini sering kali dipengaruhi oleh dan identik dengan norma-norma agama yang tercantum dalam Kitab Suci Agama.
Namun, dalam praktik peradilan, penerapan norma dalam peraturan perundang-undangan pidana sering kali melanggar atau bertentangan dengan norma-norma Undang-Undang yang telah dipengaruhi bahkan diperintahkan norma agama itu sendiri, bahkan dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi dan zalim.
Irah-irah setiap putusan pengadilan dari tingkat pertama hingga Mahkamah Agung selalu menyebut “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Namun, hal ini sering kali tidak tercermin dalam amar putusan, bahkan bertentangan dengan Marwah dan Ajaran Tuhan Yang Maha Esa bahwa kita dilarang berbuat zalim terhadap sesama, wajib menegakkan timbangan (mizan) agar tetap tegak lurus, dan adil (fair trial). Setiap manusia harus dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya.
Seringkali, sejak seseorang ditetapkan sebagai tersangka, dalam penahanan dan penuntutan hingga proses sidang, sering kali terlihat bahwa ia dianggap bersalah terlebih dahulu. Perlakuan terhadap tersangka sering merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan layaknya musuh yang membahayakan masyarakat, tanpa memperlihatkan nurani kemanusiaan.
Ajaran para ahli hukum pidana menyatakan bahwa hukum pidana adalah pergulatan kemanusiaan (Alm. Roeslan Saleh), bukan sekadar proses birokrasi hukum tanpa jiwa. Jika hukum digunakan secara mekanis, maka hukum tersebut tidak lagi berpijak pada nilai-nilai moral dan kesusilaan yang mencerminkan Sila Kedua Pancasila, sumber segala hukum di Indonesia.
Masalah lain adalah penerapan ketentuan Perubahan Kedua tahun 1999 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa bangsa Indonesia mengakui dan wajib melaksanakan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) – Bab XA. Pembentuk UUD 1945 menekankan bahwa Indonesia tidak menganut paham HAM universal, melainkan HAM parsial, yang mengakui bahwa hak dan kebebasan manusia adalah anugerah Tuhan yang Maha Esa, namun harus dipertimbangkan dengan hak dan kebebasan orang lain berdasarkan norma agama, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban (Pasal 28J).
Pasal 28 J UUD 1945 menjadi filosofi dan jiwa bangsa Indonesia dalam memahami HAM bukan hanya terletak pada ketentuan BABXA Pasal 28 A s/d Pasal 28 I semata-mata. Sejak tahun 1999, Indonesia telah mengatur hak dan kebebasan berpendapat di muka umum dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 di mana telah diatur tata cara yang benar bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya di muka umum seperti melalui demonstrasi atau seminar. Namun, tata cara menyampaikan pendapat harus sesuai dengan norma agama, kesusilaan, ketertiban, dan keamanan.
Di negara Barat seperti AS dan Inggris, pembatasan ini tidak diatur secara konkret. Dua masalah serius dan strategis yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah ketidakmampuan masyarakat, termasuk kaum intelektual hukum, dalam mengingat dan menjalankan amanat UUD 1945 secara jernih dan benar. Padahal ketika pembuatan peraturan perundang-undangan selalu dicantumkan dalam Bab Mengingat, akan tetapi setelah diundangkan, abai dan lupa. Hal ini sering menyebabkan kesesatan nyata dalam menjalankan keadilan (miscarriage of justice), di mana pencari keadilan tidak tahu lagi kemana harus mencari keadilan, terutama jika Mahkamah Agung RI tidak lagi berpijak pada Kebebasan dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman.
Dalam proses peradilan pidana saat ini, salah satu faktor yang sangat memengaruhi kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung dan jajaran Hakim di bawahnya adalah kebebasan berpendapat di muka umum yang bertentangan dengan batas toleransi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 J UUD 1945 ketika menjalankan ketentuan Pasal 28 A sd Pasal 28 I termasuk turunannya di dalam UU Pemberantasan Tipikor terkhusus Bab V tentang Peran Serta Masyarakat. Dimana tekanan publik (public pressure) sering mengabaikan hak asasi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa, yang berujung pada KEZALIMAN.
Saat ini, yang terlihat bukan lagi “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” melainkan “Ketidakadilan Berdasarkan Kebebasan Berpendapat” tanpa batas moral, agama, ketertiban, dan keamanan. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK