Opini Lainnya
Menjelang Pemilu 2024, skandal Mahkamah Konstitusi yang berakhir dramatis terkait permohonan perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden telah menciptakan kegelisahan di tengah masyarakat. Skandal ini menjadi cermin dari lemahnya etika politik dan penegakan hukum, menggoyahkan prinsip-prinsip dasar Pancasila yang menjadi landasan negara. Di tengah ketidakpastian hukum dan tekanan kekuasaan, kita harus merenungkan kembali prinsip-prinsip dasar bernegara yang ditetapkan para pendiri bangsa dan kembali pada demokrasi yang beretika dan berkeadilan.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Merefleksikan skandal sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) terkait permohonan perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden yang berakhir dramatis, kita terpaksa mengingat kembali masa pemerintahan Orde Baru. Peristiwa ini menggugah hati nurani rakyat yang berjuang dalam gerakan moral dan fisik tahun 1998. Oleh karena itu, kita perlu mengkaji ulang peristiwa politik, sosial, dan hukum yang mempengaruhi 270 juta rakyat Indonesia.
Menjelang Pemilu 2024, berbagai reaksi masyarakat muncul, terutama dari kalangan akademisi dan alumni kampus-kampus seperti UI, UGM, dan Unpad, serta beberapa universitas swasta. Mereka menyampaikan pesan-pesan moral dan etika bernegara kepada pimpinan nasional agar kembali ke prinsip dasar yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan pembentuk UUD 1945 dengan filosofi Pancasila sebagai leitmotif bangsa dan negara Indonesia.
Gerakan moral ini tidak muncul tanpa dasar, melainkan karena kenyataan sosial politik yang menyentuh hati nurani setiap anak bangsa. Peristiwa hukum berlatar belakang politik dan peristiwa politik berbalut hukum mencerminkan kezaliman penguasa terhadap korban-korban tak berdosa. Saat ini, perbedaan antara laporan tindak pidana dan pengaduan opsional yang bisa dicabut kapan saja oleh pihak berwajib semakin tidak jelas. Begitu pula dengan bukti permulaan dalam perkara pidana dan dugaan tindak pidana.
Sekarang tidak lagi tampak perbedaan nyata antara laporan tindak pidana dan pengaduan yang bersifat opsional dan dapat dicabut sewaktu-waktu oleh pihak berwenang. Perbedaan antara bukti permulaan yang cukup dalam perkara pidana dan dugaan terjadinya suatu tindak pidana juga tidak lagi jelas. Bahkan, kita menyaksikan bahwa tidak ada lagi perbedaan mendasar secara hukum antara kritik terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Dengan kaburnya batas-batas ini, penguasa bebas menuduh seseorang melakukan tindak pidana, sementara aparat hukum tampak bingung dan bimbang, bukan karena ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan karena harus memilih antara mengikuti perintah penguasa atau diberhentikan karena tidak menuruti perintah tersebut. Kebimbangan ini sengaja dibentuk oleh penguasa untuk tujuan melanggengkan kekuasaannya, dengan segala dampak positif dan negatifnya.
Indonesia kini tampaknya bukan lagi negara hukum, melainkan negara kekuasaan. Bukan lagi berPancasila melainkan berPencak-silat, bukan lagi tata Tentrem loh jinawi melainkan gak ono Tentrem yen sengsoro lahir batin. Prinsip-prinsip Pancasila tampak digantikan oleh perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Masyarakat menjadi resah, tidak merasakan ketentraman dan keadilan.
Apa yang diharapkan dari Pemilu 2024? Segala upaya telah dikerahkan melalui berbagai ketetapan MPR, lembaga perwakilan rakyat, DPR, dan kebijakan pemerintah selama tujuh kali pergantian pemerintahan. Bahkan, kode etika berpolitik, berpemerintahan, hukum, ekonomi, bisnis, serta etika bermasyarakat yang Pancasilais telah dilaksanakan dan sebagian diwujudkan.
Dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2001, Etika Kehidupan Berbangsa dirumuskan dari ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Etika ini menjadi acuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa.
Dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 dirumuskan bahwa Etika Kehidupan Berbangsa bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, serta nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Etika ini berfungsi sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam kehidupan berbangsa. Tujuan perumusan Etika Kehidupan Berbangsa adalah untuk menjadi panduan dasar dalam meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa.
Selain itu, MPR telah menetapkan etika kehidupan sosial budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum, serta etika keilmuan. Dalam konteks masalah hukum dalam UU Pemilu Tahun 2017, terdapat dua jenis etika yang memerlukan klarifikasi, yaitu Etika Politik dan Pemerintahan, serta Etika Penegakan Hukum.
Etika politik dan pemerintahan bertujuan mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, dan demokratis. Pemerintah harus terbuka, bertanggung jawab, tanggap terhadap aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, menerima pendapat yang lebih benar, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menyeimbangkan hak serta kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Pejabat negara harus peduli terhadap pelayanan publik dan siap mundur jika merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Potensi masalah yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan melalui musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan, sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur. Perbedaan dijunjung tinggi sebagai sesuatu yang manusiawi dan alami.
Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi bagi setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memberikan teladan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan serta jika kebijakannya secara moral bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, bebas dari sikap munafik, tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif, dan menghindari berbagai tindakan tidak terpuji lainnya.
Kandungan tentang Etika Politik dan Pemerintahan telah menetapkan langkah dan tindakan yang benar secara moral maupun hukum dalam tata krama berdemokrasi. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya krisis integritas, akuntabilitas, dan kredibilitas pemerintah dalam menghadapi pelaksanaan Pemilu.
Sedangkan Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran bahwa kehidupan sosial yang tertib, damai, dan teratur hanya dapat dicapai melalui patuh terhadap hukum dan semua peraturan yang berpihak kepada keadilan. Semua peraturan hukum yang menjamin supremasi hukum dan kepastian hukum sejalan dengan usaha untuk memenuhi rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Etika ini menjamin penegakan hukum yang adil, memberikan perlakuan yang sama dan tanpa diskriminasi kepada setiap warga negara di mata hukum, serta mencegah penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan atau berbagai bentuk manipulasi hukum lainnya.
Dua jenis etika berbangsa seperti yang disebutkan di atas mencerminkan idealisme dari semangat kebangsaan yang diharapkan dapat tercermin dalam sikap dan tindakan pejabat pemerintahan, termasuk presiden dan wakil presiden, baik sebelum, selama, maupun setelah pelaksanaan pemilu.
Untuk mencapai keteraturan, ketertiban, kepastian hukum yang berkeadilan, serta kemanfaatan terbesar bagi 270 juta rakyat Indonesia, telah dirancang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus mencerminkan prinsip-prinsip berikut: pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, serta keseimbangan, keserasian, dan keselarasan (Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011). Kesepuluh prinsip tersebut disusun secara alternatif untuk mempermudah proses penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat dipahami oleh masyarakat luas.
Intinya, mulai dari TAP MPR hingga pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaannya, sudah sepatutnya kalau persiapan, pelaksanaan, dan pencoblosan calon pasangan presiden dan wakil presiden berlangsung dengan aman, tertib, dan damai. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK