Rakyat adalah Cakrawati Partai

 
0
253
Rakyat adalah Cakrawati Partai
Megawati Soekarnoputri | Tokoh.Id | Ant

[OPINI] – MEGAWATI SOEKARNOPUTRI: Rakyat adalah cakrawati partai; tempat seluruh irama, dan langkah perjuangan kita (partai) bermuara. Saya pernah katakan, yang membuat kita bangga sebagai partai politik, bukan ketika dekat dengan kekuasaan, tetapi saat menangis dan tertawa bersama rakyat. Dalam konteks ini pula, maka pilihan-pilihan politik yang akan kita ambil, haruslah sebagai suatu penegasan untuk meneruskan perjuangan dan pemikiran Bung Karno yang terkenal dengan nama Marhaenisme.

Megawati Soekarnoputri menegaskan hal tersebut dalam Pidato Politik Ketua Umum DPP PDI Perjuangan dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke 43 dan Rakernas I PDI Perjuangan di Jakarta, 10 Januari 2016. Berikut selengkapnya pidato politik tersebut:

Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga PDI Perjuangan tetap kokoh berdiri pada usianya yang ke 43 tahun ini. Bukan perjalanan yang mudah bagi kita untuk terus memberikan sumbangsih dan pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara, yang sama-sama kita cintai.

Perjalanan 43 tahun ini, ibarat sebuah perjuangan mengarungi lautan, samudra perjuangan, yang kadang penuh dengan badai dan taufan. Kadang-kadang gelap, tapi penuh dengan bintang-bintang berkelip. Adakalanya terasakan hembusan angin segar. Tetapi kadang juga terasa tiupan hawa panas, dan sengatan terik matahari.  Lautan dan samudra perjuangan itu, bagaimana pun situasinya, haruslah kita jalani dan kita seberangi. Kuncinya hanya satu: kesabaran progresif revolusioner!  Yang selama ini telah kita buktikan.

Masyarakat Ekonomi ASEAN

Peringatan HUT Partai tahun ini, bertepatan dengan dimulainya Economic ASEAN Community, atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Negara-negara ASEAN memasuki babak baru dalam hubungan ekonomi. Pemberlakuan MEA melalui proses panjang yang telah diawali dengan penandatangan Declaration Of ASEAN Concord II di Bali pada bulan Oktober 2003. Sedangkan MEA sendiri merupakan pilar pertama dari tiga pilar yang tertuang dalam ASEAN vision 2020. Dua pilar  lainnya yakni: ASEAN Political-Security Community, dan ASEAN Sosio-Cultural Community.

Pada perkembangannya, MEA ternyata tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN. Ada enam Negara lain yang ikut bergabung dalam MEA, yakni Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, India dan Cina. Sebuah pertanyaan muncul. Mampukah kita bersaing dengan negara-negara tersebut? Ini jelas merupakan suatu tantangan tersendiri bagi kita sebagai bangsa. Kita tidak perlu takut. Kewaspadaan tetaplah diperlukan. Kita harus mempersiapkan sumber daya manusia yang ada, guna menjawab tantangan liberalisasi terkait dengan arus bebas tenaga kerja terampil.

Ketika saya berkunjung ke Solo, saya diundang ke Techno Park. Dan di sana saya mengingatkan, jangan lupa untuk terus memperluas bagi UKM kita, koperasi  kita, membuat hak paten, HAKI, serta sertifikasi tenaga kerja di segala bidang. Karena ini merupakan bagian daripada untuk melindungi bangsa kita sendiri dari arus deras dari negara-negara lain yang akan coba masuk juga ke Indonesia.

Negara Harus Hadir

Tidak ada kata terlambat. Kejarlah semua ketertinggalan. Lebih baik terus mempersiapkan diri daripada diam, berkeluh kesah, dan sekedar pasrah tanpa upaya. Demikian halnya, Negara harus hadir, dan tidak boleh absen lagi. Begitu juga terhadap globalisasi dan pasar bebas, saya selalu mengingatkan, agar kita berpegang pada apa yang saya sebut sebagai “segitiga kerangka tujuan”, yakni:

Pertama, di bidang politik: satu Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan Republik yang demokratis dari Sabang sampai Merauke. Kedua, di bidang sosial, suatu masyarakat adil dan makmur, lahiriah maupun spiritual, atau dengan kata lain masyarakat yang sejahtera yang berkeadilan sosial. Ketiga, di bidang internasional, persahabatan dan perdamaian dunia, terutama sekali dengan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, seperti yang telah dirintis oleh Bung Karno ketika beliau memimpikan terwujudnya tatanan dunia baru yang bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan.

Saya juga menegaskan dalam berbagai kesempatan: kita memang berada di era pasar bebas, namun tentu itu bukan suatu kebebasan tanpa batasan. Setiap negara punya kedaulatan politik. Setiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi rakyat dan bangsanya sendiri. Dengan demikian, kesejahteraan rakyat dan kepentingan bangsa kita sendiri, harus diletakkan selalu sebagai prioritas utama. Inilah hukum tertinggi yang harus kita taati.

Advertisement

Cakrawati Partai

Bagi PDI Perjuangan, ulang tahun kali ini sekaligus merupakan momentum untuk menegaskan, menegaskan, dan menegaskan bahwa rakyat adalah cakrawati partai; tempat seluruh irama, dan langkah perjuangan kita bermuara. Saya pernah katakan, yang membuat kita bangga sebagai partai politik, bukan ketika dekat dengan kekuasaan, tetapi saat menangis dan tertawa bersama rakyat. Dalam konteks ini pula, maka pilihan-pilihan politik yang akan kita ambil, haruslah sebagai suatu penegasan untuk meneruskan perjuangan dan pemikiran Bung Karno yang terkenal dengan nama Marhaenisme.

Saya teringat, ketika Ayah saya menceritakan perjumpaannya dengan seorang petani miskin di Bandung Selatan, Jawa Barat. Dialog dengan sosok petani tersebut, saya rasakan sebagai dialog yang penuh dengan romantika, dinamika dan dialektika seorang pemimpin dengan rakyatnya. Rakyat yang tetap miskin, walaupun ia memiliki alat-alat produksi sendiri. Ia juga tidak menjual tenaganya kepada siapapun.

Beginilah sedikit percakapan yang diceritakan oleh Bung Karno kepada saya:
Bung Karno    : Engkau kaya atau miskin?
Petani             : Abdi miskin (saya miskin)
Bung Karno    : Tanah yang engkau garap siapa  punya?
Petani             : Gaduh abdi (artinya milik saya)
Bung Karno    : Pacul (cangkul) ini siapa punya?
Petani             : Abdi (artinya milik saya)
Bung Karno    : Segala-galanya siapa punya?
Petani             : Abdi (saya yang memiliki)
Bung Karno    : Namamu siapa?
Petani             : Marhaen

Dari percakapan itulah, Bung Karno merumuskan sebuah teori politik, dan saya selalu mengganggapnya sebagai sebuah teori perjuangan. Yang tentunya akhirnya disebut sebagai Marhaenisme, mengambil nama dari seorang petani yang menjadi simbol rakyat kita. Ya begitulah kebanyakan masih sampai sekarang ini. Bagi saya, Marhaenisme adalah satu teori progresif artinya ke depan, revolusioner harus cepat, dan persatuan.
Marhaenisme juga merupakan satu kata pemersatu. Persatuan dari semua rakyat yang seperti Pak Marhaen, yang oleh Bung Karno didefinisikan: “Semua orang Indonesia yang melarat, asal melarat, baik dianya proletar maupun bukan proletar. Apa buruh, tani, nelayan, pegawai kantor, insinyur, ahli hukum, dokter, asal dia kecil, hanya punya apa yang dia punya sendiri, saya namakan dia sama Marhaen”

Saya berpesan, agar partai ini di sepanjang usianya menjadi pemersatu, dan sekaligus berjuang bersama kaum marhaen untuk memperbaiki kehidupannya. Saya meyakini, jika kita menghayati pemikiran-pemikiran Bung Karno tersebut, kita akan mampu mengorganisir suatu massa daripada mereka yang masih papa dan melarat untuk bisa bangun. Yang selama ini dianggap kecil itu, jika digabungkan dari sedikit demi sedikit pasti dapat menjadi gelombang yang maha sakti dan besar; satu gelombang perjuangan  yang akan mampu menghadapi kendala apapun. Rakyat adalah kekuatan bangsa ini yang ketika diorganisir dan diberi kesempatan untuk berdaya, pasti akan menjadi kekuatan yang besar bagi bangsa Indonesia.

Tanggung Jawab

Saya pernah sampaikan, bahwa tahun 2014 merupakan Tahun Penentuan, dan 2015 saya sebut sebagai Tahun Tantangan. Tahun 2015 telah kita lewati. Alhamdulillah sampai saat ini rakyat kembali percaya terhadap PDI Perjuangan. Kita menang mayoritas di Pilkada yang diadakan serentak untuk pertama kalinya di penghujung tahun 2015. Jelas, ini merupakan suatu modal politik. Tetapi kemenangan ini, memiliki konsekuensi logis dan tanggung jawab yang sangat-sangat besar. Tanggung jawab untuk terus memastikan, mengarahkan, mengawal dan mengamankan kebijakan-kebijakan politik Pemerintahan nasional agar tetap berpijak pada nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945 dan Konstitusi Negara (UUD Negara Republik Indonesia 1945).

Bagaimana dengan tahun 2016? Bagi saya, inilah tahun untuk menemukan kembali konsepsi dan strategi mewujudkan Trisakti. Itulah tujuan, sekaligus arah perjuangan kita. Penjabaran konsepsi Trisakti tersebut, sesungguhnya telah disusun sedemikian rupa oleh para pendiri bangsa, melalui sebuah “Pola Pembangunan Nasional Semesta dan Berencana. Suatu pola menuju Indonesia Raya, yaitu Indonesia yang masyarakatnya adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pola pembangunan ini, sekaligus merupakan pengejawantahan dari semangat dan jiwa UUD 1945, yaitu mempunyai jiwa yang tegas, tepat dan tidak ragu-ragu, serta terang, tidak samar-samar.

Para kader partai yang saya banggakan,
Saya tegaskan kembali, Indonesia merupakan satu Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan Republik yang demokratis dari Sabang sampai Merauke. Memang benar bahwa Indonesia saat ini berada di era otonomi daerah. Namun Indonesia bukanlah Negara Federal. Meskipun saya mencermati, bahwa perkembangan pelaksanaan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah (Pilkada), terlihat adanya realitas yang perlu kita cermati bersama.

Marilah kita bayangkan Indonesia ini bagaikan sebuah lukisan. Lukisan yang ada dalam satu bingkai NKRI. Tetapi sayangnya lukisan itu bukanlah merupakan bagian yang utuh dari satu kanvas yang utuh juga. Lukisan ini ibarat pazel-pazel yang tidak bisa sungguh-sungguh bersatu. Mengapa hal itu bisa terjadi? Konsep dan strategi pembangunan yang dijalankan di tiap daerah berangkat dari visi misi yang berbeda-beda. Berbeda di setiap kabupaten dan kota, dan berbeda pula di setiap propinsi. Bahkan, sering terjadi adanya perbedaan kebijakan dengan pemerintah atau tingkat pusat. Marilah kita renungkan kembali, inikah secara obyektif dan realitistis yang disebut sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Pemilihan Langsung

Pemilihan langsung terjadi atas keputusan MPR saat itu, dan ketika itu saya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-5. Saya mesti melakukan tugas itu, melakukan Pemilu langsung. Pemilihan langsung semestinya dipahami sebagai tatacara pemilihan yang esensinya untuk mendekatkan rakyat kepada calon pemimpinnya. Namun sayang sekali, praktek demokrasi oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat ini, di dalam pelaksanaanya, direduksi menjadi sekedar pertarungan visi misi lima tahunan. Ganti orang, ganti visi misi. Ganti pemimpin, ganti pula visi misi.

Jadi ketika saya diminta oleh Ketua MPR Bapak Zulkilfi Hasan, dalam pidato saya lama-lama saya berpikir Indonesia ini senang dansa. Jadi kapan pemimpinnya benar lima tahun dia maju, kapan pemimpinnya mungkin kurang benar dia mundur lagi. Kalau mundur maju begini seperti tangan saya mungkin masih baik, tapi kalau namanya maju satu langkah seperti poco-poco, lalu mundur sepuluh langkah. Itukah yang Indonesia inginkan sampai saat seperti sekarang ini. Ini pertanyaan saya.

Oleh karena itu, sudah saatnya visi misi personal dan kedaerahan tersebut, kita ubah dengan suatu konsep pembangunan nasional jangka panjang. Bahkan seharusnya, kita mampu dan harus mampu merancang sampai seratus tahun ke depan. Indonesia ini mau jadi jadi, kan begitu harusnya kita menjawabnya. Rancangannya pun tidak boleh berganti hanya karena pergantian pemimpin.

Sudah saatnya bangsa ini memiliki sebuah haluan pembangunan nasional jangka panjang, sebuah rencana berupa pola pembangunan nasional di segala bidang kehidupan bukan hanya soal ekonomi tetapi di segala bidang kehidupan negara dan masyarakat; membangun serentak dalam bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan kebudayaan, juga yang tidak boleh ditinggalkan dan tak kalah penting: bidang spiritual. Kesemuanya harus ada dalam satu integrasi dan sinergitas antar pulau, antar daerah, antar suku untuk bisa menjadi modal kita ke depan menjadi Indonesia Raya.

Indonesia Raya yang hanya bisa lahir dengan “Overall planning”, atau perencanaan menyeluruh, yakni suatu perencanaan yang tidak berdiri sendiri. Suatu perencanaan semesta yang tidak hanya diletakkan untuk lima tahunan masa jabatan eksekutif, daerah, maupun pusat. Pembangunan Semesta membutuhkan perencanaan semesta, guna melihat Indonesia secara utuh; memotret Indonesia dalam satu ke-Indonesia-an yang tidak bercerai berai. Dasar yang dipergunakan adalah kebutuhan dan kepribadian rakyat Indonesia sendiri. Artinya, perencanaan yang dibuat tidak untuk meniadakan nilai-nilai kearifan lokal dan potensi di masing-masing daerah. Bahkan sekiranya diperlukan, pengalaman dalam pembangunan di luar negeri, dapat diselaraskan dan dipadukan untuk kepentingan dalam negeri.

Tahun lalu saya diundang oleh Pemerintah China. Salah satu kunjungan saya adalah ke kota Shen-zhen. Mengapa saya diundang ke Shen-zhen? Di dalam pembicaraan saya karena mereka akan memperlihatkan bagaimana cara membangun sebuah kota dalam waktu sesingkat-singkatnya. Jadi saya dibawa ke sebuah gedung pusat informasi untuk pembangunan kota Shen-zhen. Kalau saya jadi burung unta, saya mau kepala saya, saya sembunyikan. Kenapa? Karena yang mengantarkan saya, ketika saya melihat, wauw wauw, lalu beliau mengatakan, ia adalah salah satu senior Partai Komunis.

Beliau mengatakan, memanggil saya Mega saja, kamu tidak perlu untuk terpesona, tahu apa yang kita lakukan. Ini adalah yang telah dilakukan oleh Bapak kamu Bung Karno.
Kenapa oleh Indonesia ditinggalkan? Nah makanya saya kepingin masuk kalau bisa, kepala saya. Tentu saja malu saya. Di sana perencanaannya sangat jelas. Masuk hanya Welcome to City of Shen-zhen. Langsung keluar, diterangkan blablabla.

Di akhir kunjungan, itu dilihatkan sampai saya melangkah keluar, berapa investor yang mau masuk. Ditulis, ting ting, angka keluar. Beliau mengatakan, mereka sudah datang karena kita memberikan perencanaannya itu tidak dengan diskusi lagi. Kamu mau ini ambil. Kamu punya uang masukkan ke sini. Dan itu akan tertulis. Sudah masuk makanya bunyi ting. Nah kita, diskusi-diskusinya kalau saya ikuti geregetan, itu bertahun-tahun. Itu poco-poco, maju mundur, maju mundur.

Padahal itu tadi. Itu senior loh. Kalau tidak salah saya, termasuk dalam rankingnya orang keempat. Malu saya, Pak Jokowi. Saya maunya nyusup. Loh bilangnya ini Bung Karno punya, kita ambil. Makanya dalam pidato saya kalau memangnya dari luar itu bagus, bisa diterapkan di Indonesia kenapa tidak di adopt. Kita punya sudah di-adopt. Tapi kita kelelerkan. Dikelelerkan loh Pak Zul. Makanya saya sebagai Ketua Umum partai, sudahlah biar saja Bu Mega lagi yang omong. Apa nanti saya dibully apa tidak. Terserah.
Saudara-saudara sekalian,

Rakernas I PDI Perjuangan berlangsung dari tanggal 10 sampai  12 Januari 2016. Saya meminta seluruh kader hadir dapat aktif urun rembuk pikiran, bergotong royong ide dan gagasan, guna mengembalikan semangat kebersamaan dan persaudaraan dalam satu bangsa. Di dalam Nawa Cita yang dipersiapkan oleh PDI Perjuangan pada saat pencalonan presiden 2014, substansinya merupakan elaborasi dari konsepsi Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Sekarang, tinggal kita memperjuangkan dan melengkapinya secara utuh, mendorong dan mengawal secara konstitusional agar apa yang terdapat dalam Nawa Cita,  terimplementasi dalam berbagai kebijakan dan program Pemerintah Jokowi-JK.

Hasil kajian sementara yang dilakukan oleh Pusat Analisa dan Pengendali Situasi PDI Perjuangan, terlihat masih ada perbedaan yang cukup signifikan pada tataran implementasi program. Apa yang ada di Nawa Cita sering berbeda dengan program yang ada di Kementrian dan Lembaga. Bahkan road map pembangunan dan politik anggaran yang disusun, seringkali terindikasi banyak yang tidak selaras dengan Nawa Cita, yang sesungguhnya juga merupakan penjabaran Trisakti.

Pola Pembangunan Nasional

Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana merupakan sebuah implementasi konkret dari pasal 33 UUD 1945. Pola yang mengarahkan agar segala usaha dalam lapangan ekonomi dan keuangan dapat menuju kepada masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan yang dirancang di dalamnya, telah sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia, yaitu gotong-royong dan azas kekeluargaan. Berdasarkan amanat pasal tersebut, Indonesia sudah semestinya bersandar pada “ekonomi sektor Negara”.

Inilah saat yang tepat agar cabang-cabang ekonomi yang vital, yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan menyangkut kepentingan umum, kembali pada prinsip-prinsip konstitusi, yaitu dimasukkan kembali dalam ranah “ekonomi sektor Negara”.

Konstitusi sendiri mengamanatkan, bagaimana pentingnya peran BUMN sebagai salah satu soko guru perekonomian nasional. Karena itulah mengapa BUMN memiliki fungsi dan menjadi alat Negara untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi berbeda dengan yang terjadi saat ini, BUMN hanya diperlakukan seperti “korporasi swasta” yang mengedepankan pendekatan bisnis semata, atau yang sering didengungkan sebagai pendekatan “business to business”.

Atas dasar hal tersebut, PDI Perjuangan, memberikan perhatian khusus guna meluruskan politik ekonomi BUMN melalui perubahan Undang-undang tentang BUMN. Demikian halnya, ketika DPR-RI memutuskan untuk menggunakan hak dewan, melalui pembentukan Pansus Angket Pelindo II. Pansus ini diyakini menjadi sebuah pintu masuk untuk mengembalikan tata kelola BUMN sesuai perintah konstitusi.  Saya yakin jika BUMN dikelola dengan baik, akan memberikan konstribusi optimal kepada pembangunan Negara. Selain itu, BUMN harus dikembalikan menjadi alat Negara untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui fungsi re-distributif, membuka akses permodalan, dan meningkatkan produktivitas rakyat (Sikap Politik PDI Perjuangan pada Kongres IV, 2015).

Penjabaran pasal 33 UUD 1945 sebagaimana terlihat dalam arsip Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, telah memastikan tentang prinsip “daulat rakyat” atas kekayaan alam Indonesia. Prinsip inilah yang menjadi dasar kewajiban konstitusional kita, untuk menyelamatkan dan mengembalikan asset Negara. Salah satunya dengan meninjau kembali kontrak-kontrak karya yang ada di Indonesia, agar semaksimal mungkin berkontribusi terhadap kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat. Contohnya adalah dengan PT Freeport.

Hal lain yang harus kita kaji secara mendalam dalam Rakernas I ini adalah, bagaimana ruh dan spirit Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, dengan keseluruhan proses yang terjadi di Dewan Perancang Nasional, dapat kembali hadir. Apakah melalui pengembalian fungsi dan wewenang MPR-RI untuk mengeluarkan Ketetapan MPR terkait pola pembangunan, yang mengikat semua pihak dan wajib dijalankan oleh pemerintahan di semua tingkatan? Atau, kita merintis penguatan Undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menjadi Undang-undang tentang Pembangunan Semesta.

Melalui penguatan undang-undang tersebut, maka dapat disusun sifat, tugas, sektor, ruang lingkup serta pembangunan yang berwatak kesemestaan; termasuk penguatan kelembagaan perencanaan nasional. Tujuannya, agar bangsa ini memiliki konsep dan strategi pembangunan yang tidak terbatas pada lima tahun usia politik. Tetapi sebuah perencanaan yang sekaligus merupakan wujud dari imajinasi terpimpin dan terencana tentang masa depan Indonesia. Silakan, bagaimana keseluruhan  mimpi dan cita-cita yang telah saya sampaikan dapat direnungkan, dikaji, dirumuskan. Selanjutnya, kita akan memperjuangkannya dalam setiap derap langkah, satu nafas, satu irama tiga pilar partai: struktur, legislatif dan eksekutif.

Wujudkan Trisakti

Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan dalam Peringatan Ulang Tahun ke 43 PDI Perjuangan. Inilah tahun untuk menemukan kembali konsepsi dan strategi mewujudkan Trisakti melalui Pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk Indonesia Raya  seperti yang di cita-citakan seluruh rakyat. Suatu cita-cita masyarakat yang Bung Karno gambarkan sebagai berikut:
• Di dalam  masyarakat yang demikian itu, kita akan cukup sandang dan cukup pangan;
• Di dalam masjarakat jang demikian itu anak-anak kita tidak lagi menderita;
• Di dalam masjarakat jang demikian itu, kita tidak lagi basah jikalau hujan turun dan tidak lagi kepanasan jikalau matahari terik;
• Di dalam masyarakat yang demikian itu, kita mudah sekali bergerak dari satu tempat kelain tempat;
• Di dalam masyarakat yang demikian itu, kita mudah sekali menghirup udara segar dari pada kebudajaan yang tinggi;
• Di dalam masyarakat yang demikain itu, kita akan hidup bahagia menurut cita-cita orang tua di jaman dahulu “tata tentrem kerta rahardja”.

Kader-kader partai yang saya banggakan, selamat berpikir, bekerja dan berjuang! Jangan ragu bersuara selama argumentasimu sesuai dengan konstitusi. Jangan setengah-setengah, selama perjuanganmu untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Jangan takut, selama yang kita perjuangkan kebenaran. Haqul yakin, ainul yakin, Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT meridhoi perjuangan kita.

Tanamkan dalam hati, pikiran dan jiwamu:
“Satyam Eva Jayate”
Pada Akhirnya, kebenaranlah yang akan menang!
One for All, All for One!
Sekali lagi, mohon diteriakan bersama:
One for All, All for One! (diteriakkan bersama peserta Rakernas I PDI Perjuangan)
Terimakasih
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh.
Om Santi Santi Santi Om
Namo Buddhaya
Merdeka !!!
Jakarta, 10 Januari 2016

Megawati Soekarnoputri
(Ketua Umum PDI Perjuangan)

Pidato TokohIndonesia.com | rbh

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Tokoh Terkait: Megawati Soekarnoputri, Soekarno, | Kategori: Opini | Tags: Pancasila, Rakyat, gotong-royong, Trisakti, Megawati Soekarnoputri, PDI Perjuangan, PDI-P, Megawati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini