Pelopor Pendidikan Islam Modern, Toleran dan Damai
Al-Zaytun dan Pusaran Kontroversi (5)
AS Panji Gumilang Al-Zaytun dan Pancasila Buku ASI untuk Semua Globalisasi dan Pendidikan Gula dan Semut Ajaran Illahi dan Ideologi Terbuka Al-Zaytun, Islam Milenium Ketiga Isu NII dan Implementasi Pancasila Jadilah Petarung RI
Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang
Tapi di tengah kontroversi itu, bagi saya sejak awal menjejakkan kaki di Al-Zaytun (Februari 2004), serangkaian kata di gapura pintu masuk Kampus Al-Zaytun itu sudah sangat tegas dan terang benderang menghadirkan inspirasi tentang kehidupan yang penuh toleransi dan damai. Kata-kata itu mengilhami hati dan pikiran. Dalam pikiran saya saat itu segera melintas kata (inspirasi) bahwa orang-orang di sini adalah orang-orang yang merindukan toleransi dan perdamaian, para pembawa damai.
Apalagi, banyak pula yang bersaksi bahwa Al-Zaytun telah menjadi pelopor pendidikan Islam modern, toleran dan cinta damai yang secara otomatis ikut meningkatkan citra Islam dari yang selama ini terkesan terbelakang dan radikal. Al-Zaytun disebut merupakan pesantren terbesar dan termodern di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang dinilai benar-benar telah mengubah paradigma berpikir khalayak ramai dari anggapan bahwa pesantren itu kumuh menjadi pesantren itu bersih, megah, gagah dan modern. Segagah sejarah pesantren yang mampu bertahan melintasi berbagai tantangan dari sejak beberapa abad lalu hingga kini.
@tokoh.id Ma’had Al-Zaytun: Menyanyi Indonesia Raya 3 Stanza #mahadalzaytun #indonesiaraya #indonesiaraya3stanza #indonesiaraya🇲🇨 #pesantrenalzaytun #alzaytunviral #azzaytun
Sebelum berkunjung ke Al-Zaytun, saya pun sudah membaca komentar Dr. Indra Djati Sidi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), saat beliau berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun dan berbicara di hadapan ribuan santri, pada 29 Juli 2000: “Hari ini saya belajar dari Syaykh Al-Zaytun bagaimana mengembangkan pendidikan yang canggih. Walaupun ada di desa tapi lebih canggih dari yang ada di kota besar. Anak-anakku, kalian adalah umat yang beruntung yang mendapat kemuliaan dari Allah Swt dengan mendapatkan kesempatan belajar dan pengalaman di Ma’had Al-Zaytun.”

Saya juga mengikuti pemberitaan saat pesantren modern yang bertujuan (motto) pusat pendidikan pengembangan budaya toleransi dan perdamaian itu diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Prof. BJ. Habibie (1999). Saya juga mengikuti dengan seksama rangkaian pemberitaan Majalah GARDA yang semula melansir dugaan bahwa Osama bin Laden pernah berkunjung bahkan tinggal beberapa hari di ponpes tersebut. Namun, dalam pemberitaan berikutnya, setelah wartawan Majalah GARDA berkunjung ke sana dan wawancara dengan Syaykh Panji Gumilang, ternyata dugaan itu tidak benar. Majalah ini pun kemudian memberitakan berbagai keunggulan dan kemodernan ponpes tersebut sebagai pusat pendidikan pengembangan budaya toleransi dan perdamaian.
Juga membaca komentar Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA, mantan Menteri Agama, menyatakan sangat gembira karena bersama cucu beliau bisa mengunjungi pesantren ini pada 4 Maret 2001. Munawir Sjadzali menyebut pesantren ini lain dari pada yang lain, biasanya pesantren itu kumuh dan kotor, tidak teratur. “Pesantren seperti Al-Zaytun ini juga yang menjadi cita-cita saya ketika menjadi menteri agama, pesantren yang menghasilkan ulama plus yang menguasai duniawiah dan ukhrawiyah,” kata Munawir Sjadzali.
Selain itu, surat-surat elektronik (e-mail) ke Redaksi TokohIndonesia.com, mengenai kehadiran Al-Zaytun juga sangat kontroversial. Sedemikian lebar dan tajam perbedaan persepsi tentang Al-Zaytun, bak antara langit dan bumi.
Dalam hati, saya bertanya: “Apakah mungkin Presiden Republik Indonesia Prof. BJ Habibie punya agenda tersembunyi mendukung sebuah gerakan bawah tanah yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia?” Saya kira hal itu sangat sulit diterima akal sehat. Apalagi upacara peresmian itu dihadiri pula sejumlah petinggi negara, baik sipil maupun militer, di antaranya Menteri Agama Prof. Malik Fajar dan Gubernur Jawa Barat HR Nuriana.
Hal-hal itulah yang mendorong saya[1] mengirim surat kepada Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang, memohon waktu untuk wawancara.[2] Itu pulalah sebabnya mengapa saya sengaja memilih kalimat perkenalan ‘sekonyol’ itu. Saat memperkenalkan diri dengan kalimat ‘tak pantas’ itu, paling tidak ada dua tujuan dalam pikiran saya. Pertama, sebagai seorang jurnalis, saya ingin tahu reaksi beliau, baik dalam ucapan langsung maupun dalam bahasa tubuh. Dengan cara itu, saya berharap dapat mengenal lebih cepat siapa Panji Gumilang dan apa Al-Zaytun di antara dua kutub pandangan kontroversial yang tajam itu.
Kedua, apakah dalam posisi berbeda aliran (agama) beliau bisa diajak berdialog dengan terbuka, apakah beliau akan membuka diri? Apakah beliau sungguh seorang tokoh yang toleran dan cinta damai? Atau tulisan yang terpampang di gapura pintu masuk pesantren tersebut yang berbunyi ‘Ma’had Al-Zaytun Pusat Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian’ hanya slogan, tameng atau kamuflase?
Namun, perlu saya tegaskan, kedua tujuan itu saya landaskan pada niat baik, yakni keingintahuan atas kebenaran semata, tanpa muatan kepentingan lain. Bukan pula untuk mencari-cari kesalahan, apalagi membenarkan kesalahan! Dalam hal keingintahuan atas kebenaran itu, saya bukan tipe pribadi yang lebih cenderung menonjolkan rasa curiga (tidak percaya) kepada seseorang atau lembaga tertentu. Melainkan, saya lebih mengutamakan rasa percaya (tidak curiga) kepada seseorang atau lembaga mana pun. Tentu, termasuk kepada Al-Zaytun dan Syaykh Panji Gumilang yang tengah berada dalam pusaran berbagai kontroversi, terutama isu NII dan Islam radikal.
(Bersambung: Dalam kaitan ini, tentu saya tidak mau begitu saja percaya kepada isu-isu. Apalagi pondok pesantren ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Prof. BJ Habibie.)
Footnote:
[1] Selaku Pemimpin Redaksi TokohIndonesia.com, situs web yang didedikasikan mengukir kisah para tokoh dalam ’batu maya’ Ensiklopedia Tokoh Indonesia Online.
[2] Ternyata surat permohonan wawancara kami direspon dengan cepat, hanya berselang beberapa hari, kami langsung diterima berkunjung dan wawancara dengan sangat terbuka pada Kamis, 19 Februari 2004.