Potret Pelayanan Pastor Indonesianis
Franz Magnis-Suseno03 | Tugas Pelayanan Pertama

Tugas pelayanan pertamanya di Indonesia dimulai tahun 1962 hingga 1964 sebagai guru agama di Kolese SMA Kanisius Jakarta, merangkap sebagai Kepala Asrama Siswa. Dalam kurun waktu tiga tahun itu dia telah mengenal 500 lebih remaja dan tahu nama mereka. Dalam ingatan Franz masih segar terpatri, dia sebagai guru muda mengenakan jubah putih bersama para siswa sekolah SMA Kanisius pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus berjalan dalam barisan di depan Istana Presiden dan menyanyikan lagu-lagu untuk Presiden Sukarno. Hal itu pernah Franz lakukan selama tiga tahun berturut-urut bersama siswa dari sekolah-sekolah lain.
Franz kemudian meninggalkan SMA Kanisius dan para siswanya sebab dia dikirim belajar teologi ke Yogyakarta. Antara tahun 1964 sampai 1968 dia masuk ke Institut Filsafat Teologi Yogyakarta. Tahun-tahun studi ini sangat penting dan menentukan sebagai masa pembentukan pemahaman dan identitas keindonesiaannya. Di bangku kuliah itu, dia hidup dan studi bersama para mahasiswa Yesuit lainnya.
Masa studi itu memberikannya sebuah kesempatan, untuk secara amat leluasa terus berhubungan dengan orang Jawa. Kesempatan untuk mempunyai komunikasi yang tidak dirusak oleh hubungan kewibawaan seperti, antara pastor berhubungan dengan umatnya, dan antara orang ahli luar negeri dengan orang pribumi bukan ahli. Di masa itu pulalah Franz makin mengenal betul bagaimana kodrat asli Jawa.
Namun, sesudah kurang lebih satu tahun sampai empat setengah tahun bermukim di Indonesia, dia sempat merasa mengalami goncangan budaya atau ‘culture shock’. Dia akhirnya dapat melampaui krisis goncangan budaya tadi, karena hubungan dengan mahasiswa lain begitu bagus. Berbagai hal tentang kodrat asli Jawa, dalam batas tertentu, dapat dia bicarakan dengan rekan mahasiswa Jawa lain secara menarik. Akhirnya, dia berkesimpulan bahwa dirinya telah berada di tempat yang benar, dan bahwa setiap orang pada umumnya menerimanya secara baik. Kesimpulan itu dikukuhkan oleh sikap positif terus-menerus yang ditunjukkan oleh saudara-saudara orang Indonesia yang seordo dengan dia.
Bukti lain, atasannya di Indonesia dalam Serikat Yesus serta di gereja, berulangkali menyerahkan posisi-posisi penting yang penuh tanggungjawab kepada Franz Magnis. Hal itu menguatkan keinginan hatinya untuk terus maju menjadi orang Indonesia tanpa merasa sesal.
Dia berpendapat, barang siapa tidak mengalami ‘culture shock’ semacam yang dia alami — katakanlah saat di mana orang menemukan di balik orang Jawa yang tampil ramah, sering tersenyum dan bermaksud baik itu adalah orang Jawa yang sebenarnya — maka orang itu pasti tidak akan mampu tinggal lebih lama di Indonesia atau hidup bersama orang Indonesia.
Pada tahun 1967, setahun sebelum menyelesaikan studi teologi di Institut Teologi Filsafat Yogyakarta (1968), dalam usia 31 tahun, Franz ditahbiskan menjadi imam atau pastor di Yogyakarta. Dia resmi menjadi Romo dan mulai akrab dipanggil Romo Magnis. Kedua orang tuanya, ayah dan ibu, datang dari Jerman, khusus melihat pentahbisan Romo Magnis.
Kehadiran ayah-ibunya itu sangat tidak disia-siakan. Dia menghibur keduanya. Selama tiga minggu mereka tinggal di Indonesia terutama Yogyakarta. Mereka bersama Franz Magnis giat keliling Indonesia hingga mendapat kesan baik tentang Indonesia. Mereka melihat langsung Indonesia sebagai negara yang bagus dan indah, tidak lagi membayangkan macam-macam. Terutama, ayah dan ibunya itu, tidak lagi takut anak sulungnya yang telah dipersembahkan kepada Tuhan berada dalam bahaya. e-ti | crs-marjuka situmorang | Majalah Tokoh Indonesia Edisi 12