Perjuangan Si Raja Pemogokan

[ RM Suryopranoto ]
 
0
2488
RM Suryopranoto

Abang dari Ki Hajar Dewantara ini dikenang sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang gigih memperjuangkan nasib kaum yang lemah, terutama kaum petani dan buruh. Dia dijuluki De Stakingskoning (Raja Pemogokan) oleh Belanda karena sering memimpin pemogokan.

Raden Mas Suryopranoto lahir di Yogyakarta, 11 Januari 1871. Ayahnya adalah Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Suryaningrat, putra tertua dari Paku Alam III. Adiknya, Raden Mas Soewardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia yang mendirikan Perguruan Taman Siswa.

Sebagai bangsawan, Suryopranoto bisa dengan mudah masuk Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setamat dari ELS, Suryopranoto mengambil Kursus Pegawai Rendah yang setara dengan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Setelah lulus, ia bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintah kolonial di Tuban. Namun, dia tidak lama bekerja di situ. Dia dipecat karena menampar seorang pejabat Belanda yang bersikap sewenang-wenang. Selanjutnya, dia bekerja sebagai kepala bagian administrasi istana Pakualaman.

Selain memperoleh ijazah pendidikan pegawai negeri, ia juga merupakan alumni MLS (Middelbare Landbouw School) atau sekolah menengah pertanian di Bogor. Dengan latar belakang pendidikannya di bidang pertanian itulah ia meniti karier hingga dipilih menjadi Kepala Dinas Pertanian di Wonosobo. Namun pada tahun 1914, ia mengajukan pengunduran diri sebagai bentuk protes atas pemecatan seorang pegawai yang menjadi anggota Sarekat Islam. Karena sikap pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang, ia tak mau lagi bekerja sebagai pegawai Pemerintah Belanda.

Keprihatinannya pada nasib kaum buruh tani di perkebunan-perkebunan tebu di Yogyakarta menggerakkan hatinya untuk bisa berbuat lebih banyak bagi kesejahteraan mereka. Atas dasar itu, pada tahun 1914, Suryopranoto mendirikan organisasi Adhi Dharma yang bergerak di bidang koperasi, usaha pertukangan dan lain-lain. Selain organisasi, bersama sang adik Ki Hajar Dewantara, ia mendirikan sekolah Adhi Dharma untuk mendidik anak-anak petani dan buruh. Metode mengajar di sekolah itu menggunakan Montessori-Tagore yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Metode Montessori-Tagore ini bertujuan untuk melepaskan ikatan-ikatan yang sangat menyempitkan budi manusia dan menurunkan derajat kemanusiaan. Supaya manusia dapat meraih kemerdekaan baik secara lahir maupun batin. Kebebasan dari segala macam bentuk ikatan yang diterapkan di sekolah dikaitkan dengan kegiatan di luar sekolah atau di dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sebagian perjuangan Suryopranoto untuk mengubah nasib penduduk pribumi yang menderita akibat struktur pemerintahan kolonial.

Selain itu, dia mendirikan Personeel Febriek Bond (PFB) yaitu Serikat Sekerja Gula pada tahun 1919 setelah melihat rendahnya tingkat kesejahteraan buruh pada masa itu. Kepemimpinan itu didukung oleh HOS Cokroaminoto, Abdul Muis dan H. Agus Salim.

Suryopranoto tampil sebagai tokoh yang memperjuangkan perubahan dalam skala besar dan menyeluruh saat melancarkan tuntutan-tuntutan agar para majikan menaikkan upah buruh dan memberikan jaminan sosial yang layak. Karena itu, ia dihalang-halangi berbicara di depan para buruh dan tani, bahkan para pengusaha Belanda bersedia memberi uang asalkan ia mau menghentikan kegiatannya. Selain penggiat gerakan para buruh, ia juga aktif sebagai anggota Pengurus Besar Sarekat Islam.

Karena kegiatannya yang kerap menyerukan aksi mogok pada kaum buruh untuk menuntut hak-haknya, Suryopranoto dijuluki De Stakingskoning (Raja Pemogokan) oleh Belanda.

Dalam Kongres Sarekat Islam tahun 1919, ia menganjurkan pemogokan besar-besaran pada tahun 1922 untuk menuntut perbaikan nasib. Aksi tersebut dilakukan oleh sekitar tiga ribu buruh pegadaian di Yogyakarta kemudian menjalar ke tempat-tempat lain. Karena aksi mogok yang dilakukan oleh ribuan buruh tersebut, mereka pun dipecat. Untuk membantu keluarga buruh yang telah kehilangan pekerjaan atau yang dijebloskan ke penjara, Suryopranoto yang memotori aksi tersebut kemudian mendirikan sebuah yayasan.

Karena kegiatannya yang kerap menyerukan aksi mogok pada kaum buruh untuk menuntut hak-haknya, Suryopranoto dijuluki De Stakingskoning (Raja Pemogokan) oleh Belanda. Pemerintah kolonial kemudian menangkap dan memenjarakannya. Selama tahun 1923 hingga 1933, ia harus beberapa kali berpindah-pindah penjara. Mulanya ia dipenjara di Malang, kemudian dipindahkan ke Semarang, dan yang terakhir di penjara Sukamiskin Bandung. Ia juga aktif dalam bidang jurnalistik, hasil karyanya berupa seri ensiklopedi tentang perjuangan sosialisme, namun buah pemikirannya itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.

Sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan kehidupan para pekerja yang dipimpinnya, ia mendirikan Komite Hidup Merdeka di Yogyakarta dan menjabat sebagai ketua, dibantu sang adik Suwardi Suryaningrat sebagai sekretaris. Komite tersebut beranggotakan Haji Fachruddin dari Muhammadiyah dan Haji Agus Salim dari Sarekat Islam.

Advertisement

Komite Hidup Merdeka bertujuan “untuk mendidik manusia Indonesia yang sebagian besar masih hidup dalam sikap ketergantungan terhadap pemerintah kolonial menjadi manusia bebas dan merdeka”. Tujuan mulia itu dijalankan dengan melakukan perjuangan lewat perbuatan nyata.

Ia juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi istri para pemogok dengan mendirikan tempat-tempat kerajinan rumah tangga, mengorganisasi pengajaran praktis, dan tempat-tempat kerja untuk perniagaan. Kaum pria pemogok juga diberikan keterampilan lain seperti membuat kerajinan, agar dapat terus menafkahi keluarga mereka. Bidang pendidikan pun turut dikembangkan Suryopranoto dengan mendirikan sekolah guru. Prinsipnya untuk tidak berkompromi dengan penjajah, terus dipertahankannya pada masa pendudukan Jepang.

Saat cita-cita kemerdekaan berhasil diraih, ia tetap menyumbangkan segala kemampuannya sebagai seorang pendidik. Meskipun kala itu usianya sudah cukup renta, para pemuda di sekitar lingkungannya diberikan kursus politik. Memasuki tahun 1949, usianya semakin lanjut dan kondisi tubuhnya yang semakin lemah memaksanya untuk menghentikan segala kegiatannya. Masa pensiun dilalui dengan tenang, hari demi hari, sampai ia menghembuskan nafas terakhir pada 15 Oktober 1959 di Cimahi, Jawa Barat. Suryopranoto dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta.

Ia dikagumi karena semangatnya yang besar untuk terus memperjuangkan nasib kaum yang lemah, terutama kaum petani dan buruh. Demi mereka ia rela menanggung duka nestapa dan hukuman kurungan penjara. Namun, tak sedikit pun ia menyesali segala penderitaannya itu karena ia merasa bangga dapat berbuat sesuatu untuk memperjuangkan perbaikan nasib kaum tertindas.

Atas jasa-jasanya kepada negara, RM Suryopranoto diberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 310 Tahun 1959, tanggal 30 November 1959. Kemudian pada 17 Agustus 1960, RM Suryopranoto mendapat Bintang Mahaputera Kelas II dan sebuah Rumah Pahlawan yang terletak di Kampung Pakel Baru, Yogyakarta. Kedua penghargaan terakhir itu diterima oleh keluarganya. Bio TokohIndonesia.com | cid, red

Data Singkat
Raden Mas Suryopranoto, Pembela Pekerja dan Buruh, Pahlawan Kemerdekaan Nasional / Perjuangan Si Raja Pemogokan | 11 Januari 1871 – 15 Oktober 1959 | Pahlawan | S | Laki-laki, Islam, Yogyakarta pahlawan, buruh, mogok, pekerja, pembela, organisasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here