
[SELEBRITI] Di masa jayanya, aktor ini termasuk dalam daftar The Big Five, jajaran artis film yang mendapat honor tertinggi saat itu. Sayang, usia tua belum membuatnya dewasa. Dia sudah dua kali ‘kalah’ oleh narkoba dan mendekam di hotel prodeo. Namun, ajaibnya ia masih mendapat tawaran untuk tampil dalam sejumlah film di antaranya Mengejar Mas-Mas (2007) dan Selimut Berdarah (2010).
Terlahir dengan nama Wicaksono Abdul Salam di Salatiga, 1 Maret 1952, anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Salam dan Nora ini mengawali karir keartisannya dari panggung catwalk di kota kelahirannya. Sebagai peragawan, Roy mencatat prestasi yang cukup membanggakan dengan memenangkan King Boutique di Jawa Tengah. Setelah itu, ia hijrah ke Jakarta mengadu nasib di dunia hiburan hingga akhirnya menjadi seorang aktor ternama.
Film layar lebar berjudul Bobby yang dibintanginya pada tahun 1974 menandai debut Roy di dunia akting. Setelah itu, wajah tampannya tampil di beberapa judul film layar lebar lainnya. Pada tahun 1976, Roy berperan dalam film yang diangkat dari novel laris karangan Ashadi Siregar, Cintaku di Kampus Biru. Film yang dibintanginya bersama Rae Sita Supit itulah yang meninggalkan kesan mendalam buat Roy, seperti ungkapannya berikut ini, “Film inilah yang menaikkan saya dari aktor kelas tiga menjadi aktor kelas satu!” tegas Roy. Selain itu, ia mengakui memang sangat menyukai film yang mengangkat kehidupan dunia kampus karena jalan ceritanya sangat menarik.
Kiprah Roy yang semakin mendapat pengakuan membuat tawaran demi tawaran terus menghampirinya. Rahasia Gadis, Kenangan Desember, Sesuatu yang Indah, Tinggal Bersama, adalah beberapa diantara 70-an judul film yang telah dibintanginya.
Sepanjang perjalanan karirnya, tahun 1977 merupakan masa paling produktif bagi seorang Roy Marten. Karena di tahun itu, ia membintangi 12 judul film. Dua diantaranya, Roda-Roda Gila dan film legendaris arahan sutradara Teguh Karya, Badai Pasti Berlalu di mana Roy beradu akting dengan aktris Christine Hakim. Kemampuan aktingnya yang mumpuni membuat Roy kebanjiran banyak pujian, Di tahun itu, Roy mendapat sejumlah penghargaan yakni Piala Djamaludin Malik FFI 1977 sebagai Pemain Muda Penuh Harapan, serta penghargaan dari KBRI Belanda atas film Roda Roda Gila yang juga diproduserinya sendiri.
Di era tahun 70 hingga 80-an, nama Roy Marten seakan menjadi jaminan suksesnya sebuah film. Entah apapun judul filmnya dan bagaimanapun ceritanya. Boleh dibilang, kehadirannya selalu dinantikan para pecinta film Indonesia.
Melihat popularitasnya yang begitu besar, mantan suami Farida Sabtijastuti ini kemudian mengajukan kenaikan honor. Saat itu sekitar tahun 1978, Roy membuat ‘gebrakan’ yang cukup mencengangkan. Honor Roy yang ketika itu hanya Rp 2 juta, mendadak minta dinaikkan menjadi Rp 5 juta. Roy tak sendirian, empat rekan artis seangkatannya yang berjaya di masa itu juga diajaknya, mereka adalah Doris Callebout, Yenny Rachman, Yati Octavia dan Robby Sugara. Kelimanya kemudian dikenal sebagai sebutan The Big Five.
Meski awalnya Roy mengaku bahwa keempat rekannya sempat menyangsikan gagasannya karena dianggap sangat berlebihan. Ternyata ide tersebut tercium oleh SK Martha, seorang wartawan hiburan. Martha kemudian mengulas masalah honor artis ini di medianya. Alhasil bayaran mereka pun tidak hanya Rp 5 juta seperti yang mereka minta tapi justru ada produser yang menawarnya hingga mencapai Rp 7 juta. Bahkan pada tahun 1980-an, honor yang mereka terima mencapai Rp 40 juta. Sebuah angka yang terbilang fantastis saat itu. “Bayaran itu senilai satu BMW Seri 5 yang paling baru. Kalau sekarang kira-kira nilainya Rp 800 juta,” ujar Roy seraya mengenang masa keemasannya seperti dikutip dari situs tnol.co.id.
Masa keemasan Roy sebagai aktor tak dapat dilepaskan dari nama Yenny Rachman. Yenny adalah aktris yang paling sering menjadi lawan main Roy. Bahkan keduanya termasuk dalam daftar pasangan sukses di perfilman Indonesia saat itu, selain nama pasangan Rano Karno dan Yessy Gusman.
Sepanjang perjalanan karirnya, tahun 1977 merupakan masa paling produktif bagi seorang Roy Marten. Karena di tahun itu, ia membintangi 12 judul film. Dua diantaranya, Roda-Roda Gila dan film legendaris arahan sutradara Teguh Karya, Badai Pasti Berlalu di mana Roy beradu akting dengan aktris Christine Hakim. Kemampuan aktingnya yang mumpuni membuat Roy kebanjiran banyak pujian, Di tahun itu, Roy mendapat sejumlah penghargaan yakni Piala Djamaludin Malik FFI 1977 sebagai Pemain Muda Penuh Harapan, serta penghargaan dari KBRI Belanda atas film Roda Roda Gila yang juga diproduserinya sendiri.
Sekitar 16 judul film telah mereka mainkan bersama dan sebagian besar mencapai box office. Ada dua film yang paling fenomenal. Pertama, film berjudul Kabut Sutra Ungu yang dinobatkan sebagai film terlaris di Jakarta tahun 80-an dengan jumlah penonton sebanyak 488.865 orang.Film ini juga meraih Piala Antemas untuk kategori Film Terlaris pada FFI 1980. Kedua, film berjudul Akibat Pergaulan Bebas yang juga meraih Film Terlaris I di Jakarta tahun 1978 dengan 311.286 penonton.
Memasuki tahun 90-an, Roy sempat tampil dalam tiga judul film layar lebar yakni Pertempuran Segi Tiga, Tripple Cross, serta Angel of Fury. Setelah itu, karirnya sebagai aktor film sempat terhenti ketika industri film nasional mendadak mati suri. Roy kemudian beralih ke layar kaca dengan membintangi beberapa sinetron, yaitu Bella Vista, Kasih di Persimpangan, Dewi Fortuna, Senja Makin Merah, Kupu-Kupu Kertas, dan Hanya Kamu.
Di awal tahun 2006, Roy pernah terlibat perseteruan dengan Ketua PARSI (Persatuan Artis Sinetron Indonesia) saat itu, Anwar Fuady. Kasus itu berawal dengan bantahan Roy (mantan ketua PARSI) terhadap pernyataan Anwar yang mengatakan bahwa sisa hasil proyek produksi sinetron berjudul Kutemukan Cinta, yang disponsori oleh Dekopin, telah dimasukkan ke kas PARSI, sebagai dana kegiatan organisasi keartisan itu. Perang argumen antara kedua aktor senior itu pun menghiasi pemberitaan dunia hiburan saat itu.
Belum juga masalahnya dengan Anwar selesai, Roy justru harus menghadapi masalah baru yang lebih serius. Ayah enam anak ini harus berurusan dengan polisi setelah kedapatan membawa narkoba jenis sabu-sabu seberat 3 gram di sebuah rumah di kawasan Ulujami, Jakarta Selatan pada 2 Februari 2006 sekitar pukul 16.00.
Ketika itu sempat merebak dugaan bahwa kasus Roy merupakan jebakan dari pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Akhirnya setelah melalui sidang yang sebelumnya diduga penuh dengan rekayasa, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhi vonis 9 bulan subsider 3 bulan. Setelah menjalani kurungan selama beberapa bulan dan mendapat remisi, Roy Marten akhirnya menghirup udara kebebasan, 1 Oktober 2006. Roy mengaku kapok dan tidak ingin merasakan lagi dinginnya bui akibat mengonsumsi narkoba.
Pengalaman pahit tersandung kasus hukum akibat kepemilikan barang haram itu membuat saudara kandung aktor Rudy dan Chris Salam itu aktif dalam penyuluhan pencegahan narkoba dengan harapan agar orang lain tidak terjerumus pada kesalahan yang sama. Roy bahkan kerap diundang Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai pembicara kampanye anti narkoba.
Sayangnya, Roy ternyata belum sepenuhnya lepas dari jeratan narkoba. Munafik! Pada 13 November 2007, ia kembali ditangkap polisi bersama dengan ketiga temannya di Hotel Novotel Surabaya karena diduga mengonsumsi shabu-shabu. Pada saat penangkapan, polisi menemukan barang bukti, 1 gram dan 1 ons shabu-shabu di kamar 364, sementara di kamar 465, polisi mendapati seperangkat alat hisap (bong) dan sisa di aluminium foil SS 0,5 ons. Penangkapan ini membuktikan bahwa penangkapannya yang pertama sesungguhnya bukan rekayasa.
Yang lebih ironis, Roy diketahui tertangkap usai memberikan testimoni di acara yang digelar BNN. Suami mantan model Anna Maria itu datang ke Surabaya untuk memberi testimoni di acara penandatangan MoU BNN dengan sebuah harian di Ruang Semanggi lantai V Graha Pena Jalan Ahmad Yani 88 pada 10 November 2007. Ketua BNN I Made Mangku Pastika dan Kapolri saat itu Jenderal Sutanto amat menyesali tindakan Roy. Roy yang sudah tua dalam usia ternyata belum sedewasa usianya, layaknya remaja yang masih panacaroba.
Karena itu bukan kali pertama Roy terjerat kasus hukum, hakim pun menjatuhkan vonis yang lebih berat untuk Roy, yakni tiga tahun penjara serta denda Rp10 juta dengan subsider tiga bulan kurungan. Vonis tersebut lebih ringan dari dari tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum) yakni tiga tahun enam bulan dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan. Menanggapi putusan hakim, Roy merasa tak puas dan ia juga menolak disamakan dengan pengedar atau bandar.
Aneh bin ajaib, meski nama sudah tercoreng akibat masalah narkoba, ayah dari presenter Gading Marten ini masih memiliki daya pikat bagi para produser film. Faktor usia yang sudah tak lagi muda rupanya tak membuat Roy tersisih dari dunia akting dimana ia masih menerima tawaran main di beberapa film. Setelah 14 tahun tidak berakting dalam film bioskop, ia kembali beraksi dalam film komedi berjudul Mengejar Mas-Mas di tahun 2007. Tiga tahun berselang, penganut Katolik Ortodok ini membintangi film bergenre horor, Selimut Berdarah.
Bicara tentang dunia perfilman saat ini, Roy berujar bahwa buruknya film nasional saat ini karena pendidikan yang belum memadai dari para sineas. Sementara di era Sophan Sophiaan hingga dirinya, semua berlatar belakang pendidikan film luar negeri. “Jadi tanpa pendidikan tidak mungkin tiba-tiba menciptakan film. Jadi harus sekolah,” paparnya seperti dikutip dari situs tnol.co.id.
Katanya pula, dukungan pemerintah untuk kebangkitan film nasional pernah dilakukan pada era aktor Sophan Sophiaan. Saat itu pemerintah memberi kredit lunak agar produksi film nasional bisa bangkit. Tidak heran kala itu banyak orang yang memproduksi film sehingga jumlah film nasional berlimpah. Sayangnya hal tersebut tidak berlangsung lama karena kredit lunak tersebut banyak dimanfaatkan produser untuk keperluan di luar film seperti membeli rumah dan mobil sehingga film nasional pun kembali terpuruk.
Selain sineasnya berpendidikan luar negeri, sambung Roy, film yang dibuat pada saat itu juga berdasarkan novel yang sedang laris atau diminati masyarakat. Contohnya Cintaku di Kampus Biru, Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi, Badai Pasti Berlalu dan Ali Topan. Novel yang beredar saat itu sangat konstekstual dan sudah teruji di pasaran sehingga ketika difilmkan akan laris. “Sekarang kita kekurangan penulis novel yang filmis,” jelas Roy. Roy bersyukur Laskar Pelangi hadir dan berhasil diangkat ke layar lebar dengan baik.
Roy juga menambahkan bahwa lesunya film nasional akibat tidak memadainya jumlah gedung bioskop. Padahal dulu di setiap kota kecamatan terdapat gedung biokop yang memutar film nasional. Selain itu, runtuhnya film nasional juga disebabkan oleh sineas yang menggunakan bahasa Inggris dalam judulnya. Namun dari semua itu, yang paling berperan terhadap runtuhnya film nasional adalah televisi. “Jepang dan Jerman industri perfilmannya juga hancur karena peranan televisi karena film bisa ditonton gratis!” tegas aktor yang logat Jawanya masih kental ini. eti | muli, red