Opini Lainnya
Di tengah keragaman etnis dan budaya yang kaya, Indonesia bergulat dengan berbagai masalah hukum yang berakar pada ketidakseimbangan antara hukum tertulis warisan kolonial yang individualistik dan hukum adat yang terabaikan. Kurangnya penelitian dan perhatian terhadap hukum adat, ditambah dengan krisis etika di kalangan penegak hukum, memperburuk ketidakpastian hukum yang dirasakan masyarakat. Reformasi melalui KUHP Nasional yang baru diharapkan dapat membawa perubahan signifikan, mengutamakan keadilan dan nilai-nilai lokal dalam sistem hukum yang lebih harmonis dan inklusif.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Indonesia adalah salah satu negara besar dengan luas wilayah mencapai 1,905 juta km² dan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa. Keberagaman etnis dan budaya yang kaya menjadikan Indonesia negara dengan kompleksitas masalah yang tinggi, termasuk masalah hukum yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
Masalah hukum di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua akar utama: masalah teoritik dan masalah praktik dalam penerapan hukum. Selain itu, kurangnya penelitian tentang budaya hukum yang hidup dalam masyarakat lokal, yang meliputi 34 provinsi dan 19 wilayah hukum adat menurut Van Vollenhoven, juga menjadi faktor penting.
Sejak kemerdekaan, sistem pendidikan hukum di Indonesia mengadopsi sistem hukum Barat (Belanda) yang individualistik. Pendekatan ini mengesampingkan budaya hukum adat yang mengedepankan musyawarah mufakat, yang secara sengaja diabaikan oleh pemerintah kolonial setelah kemerdekaan. Peradilan bumiputera/adat dihapuskan dan peradilan agama dibatasi hanya pada urusan nikah, talak, dan rujuk (NTR).
Secara teoritik, pemikiran ahli hukum Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini masih berada di persimpangan jalan, menciptakan ketidakpastian dan ketidakmanfaatan bagi masyarakat pencari keadilan. Praktisi hukum sering mengalami kondisi yang disebut trial and error, yang menyebabkan perlakuan hukum tidak konsisten dan putusan pengadilan yang berbeda untuk kasus serupa.
Hukum yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda mengakui sumber hukum tertulis yang mulai diberlakukan pada tahun 1946, dan untuk seluruh Indonesia melalui UU Nomor 73 tahun 1958 serta UU Drt Nomor 1 tahun 1951 (dinyatakan bahwa selain undang-undang (hukum tertulis) juga berlaku ketentuan hukum adat (tidak tertulis) tetapi perlu diperiksa ada tidak padanannya di dalam UU tertulis – KUHP).
Sejak tahun 1951, Indonesia memiliki dua sistem hukum: hukum tertulis dari Hindia Belanda dan hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat adat. Namun, penelitian tentang hukum adat terhenti kecuali yang dilakukan oleh Van Vollenhoven dengan karyanya, 19 wilayah hukum adat..
Ketidakseimbangan perkembangan antara hukum tertulis dan hukum adat selama hampir 75 tahun menyebabkan kurangnya minat ahli hukum untuk mengembangkan hukum adat. Kurikulum pendidikan hukum saat ini hanya memberikan sedikit perhatian pada mata kuliah hukum adat, yang diajarkan dalam satu semester dengan 2 SKS, sementara mata kuliah hukum lain (lebih dari 20 SKS) lebih banyak mengadopsi karakter westernisasi.
Kehilangan perhatian terhadap hukum adat menyebabkan para ahli dan pendidik hukum serta generasi muda hukum tidak lagi mengenal atau memahami perkembangan hukum adat. Penelitian dalam hukum adat sangat langka, sehingga banyak yang lebih nyaman menerapkan hukum tertulis dari pemerintah dan DPR RI.
Kondisi ini menghapuskan secara diam-diam fungsi dan peranan hukum adat sebagai alternatif dalam menyelesaikan perselisihan, baik pidana maupun perdata. Di beberapa daerah, hukum adat masih digunakan untuk menyelesaikan sengketa tanpa campur tangan polisi atau kejaksaan, seperti di Sijunjung, Sumatera Barat, dan Ambon dengan pela gandong. Bahkan hakim pengadilan negeri telah mengakui dan memberikan persetujuan atas cara penyelesaian secara adat.
Perubahan mendasar dalam sistem hukum pidana nasional terjadi dengan pemberlakuan KUHP Nasional – UU Nomor 1 tahun 2023 yang akan berlaku pada tahun 2026. KUHP baru (2023) mengakui fungsi dan peranan hukum adat, dan hakim diberikan peran untuk menggali nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat, selain nilai Pancasila dan pandangan masyarakat internasional.
Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 2023 menekankan bahwa hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim harus mengutamakan keadilan. Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 2023 juga mengakui berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, selama sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2023, yang disusun oleh para ahli hukum Indonesia, menunjukkan bahwa Hukum Pidana Nasional mencerminkan semangat para ahli hukum pidana untuk membangun hukum baru yang berwawasan nasional namun tetap memiliki aspek internasional.
Namun, akar masalah hukum lain yang perlu diperhatikan adalah, para ahli hukum dan praktisi hukum tampaknya merasa puas dengan peraturan perundang-undangan yang ada, meskipun karakter Pancasila dalam peraturan tersebut dapat dikatakan nihil. Sikap masyarakat yang skeptis dan apatis terhadap keadaan ini hanya berubah ketika kepentingan hukumnya dirugikan. Namun, reaksi tersebut tidak menyentuh akar masalah hukum, melainkan hanya pada struktur dan substansi hukum, tanpa memperhatikan masalah budaya hukum dalam masyarakat.
Kesadaran hukum masyarakat dan aparatur hukum menipis, terbukti dari banyaknya pelanggaran hukum oleh aparat sendiri. Kondisi sosial dan ekonomi yang kompleks mengakibatkan kurangnya perhatian pada perbaikan struktur, substansi, dan budaya hukum.
Peristiwa demi peristiwa terkait penegakan hukum yang terjadi selama ini tampak seperti sinetron berseri, tanpa ada niat untuk melakukan koreksi dan perbaikan di masa depan. Berita dan tanggapan para pakar hukum atas peristiwa-peristiwa tersebut dianggap cukup oleh masyarakat, seolah-olah itu adalah solusi dari masalah hukum.
Akar masalah hukum lainnya adalah kurangnya penegakan etika dan disiplin di kalangan pembentuk dan pelaksana/penegak hukum. Banyak oknum petinggi polisi, jaksa, dan hakim terlibat dalam tindak pidana, seperti kasus FS, TM, oknum Kejari dan Kajati, serta Hakim Agung, menunjukkan krisis etika/teladan dalam penegakan hukum. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK