Opini Lainnya
Hukum telah menjadi pilar peradaban manusia sejak zaman para nabi, menciptakan kehidupan yang damai dan berkeadilan. Namun, di Indonesia, tantangan hukum dan politik terkini seperti polemik batas usia capres/cawapres dan integritas Pemilu 2024 memicu pertanyaan mendalam: apakah hukum masih berfungsi sebagai pilar keadilan atau telah disalahgunakan? Sebenarnya bagaimana peran hukum dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik dan tantangan yang dihadapinya di era modern ini?
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Hukum telah menjadi bagian integral dari peradaban manusia sejak zaman para nabi yang diutus oleh Tuhan Yang Maha Esa, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Para nabi ini membawa kebaikan dan menjadi teladan bagi manusia agar hidup rukun, damai, dan saling mengasihi. Manusia yang lahir setelah para nabi tidak ditakdirkan untuk membawa malapetaka bagi sesamanya. Hukum hadir di tengah-tengah peradaban manusia untuk memastikan kehidupan yang damai, penuh kasih sayang, berperikemanusiaan, serta bebas dari ketakutan dan kekurangan. Selain itu, hukum bertujuan mencegah dan mengatasi penindasan di antara sesama manusia.
Hukum dalam peradaban manusia memiliki berbagai bentuk, mulai dari hukuman rajam hingga mati, sampai pembatasan kebebasan bergerak selama waktu tertentu bahkan seumur hidup. Apa tujuan hukum dalam memberikan hukuman kepada manusia di dunia ini? Hukum yang baik dan benar bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan manusia, memberikan kepastian tentang kebebasan dan batas-batasnya dalam interaksi sosial, serta mempertahankan kehidupan bersama keluarga dan masyarakat.
Peradaban manusia dicirikan oleh kehidupan yang diatur oleh hukum, yang dipercaya mampu menjaga keteraturan. Hukum dianggap efektif karena disepakati sebagai senjata ampuh yang mencegah manusia saling membunuh, menciderai, dan membuat cacat sesamanya. Efektivitas hukum meningkat karena dilengkapi dengan sanksi atau hukuman bagi pelanggarnya, yang juga telah disepakati bersama oleh masyarakat.
Pada masa peradaban manusia purba, hukuman dijatuhkan dengan cara mengasingkan atau mengucilkan pelanggar dari masyarakat, atau jika seseorang membunuh, maka dia akan dibunuh di depan umum untuk menakuti yang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Sejak akhir abad ke-5 SM hingga saat ini, berbagai negara telah mengenal hukum sesuai tingkat peradabannya, yang juga melibatkan pertukaran dan pengenalan hukum antar bangsa. Hal ini berdampak pada perkembangan pemikiran manusia tentang hukum, fungsinya, dan peranannya dalam masyarakat.
Perkembangan pemikiran tentang hukum terutama pasca globalisasi dan kesepakatan internasional mengenai pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia yang diadopsi Majelis Umum PBB pada tahun 1966 telah menggeser fungsi hukum dari alat kekuasaan menjadi sarana untuk mengatur, melindungi, dan membawa kemajuan pemikiran manusia menuju kehidupan yang lebih baik.
Menghadapi perubahan pemikiran dan pandangan sejak akhir abad ke-19 hingga abad ke-21, para ahli hukum, sosiologi, dan filsafat hukum perlu memberikan pencerahan kepada masyarakat, terutama masyarakat yang kurang memahami hukum. Setiap anggota masyarakat harus memiliki kedudukan hukum yang sama dalam mengisi kemerdekaan Indonesia, membangun bangsa dan negara dengan pandangan kritis dan objektif, serta berpartisipasi aktif bersama pemerintah untuk mencapai cita-cita keadilan sosial dan keamanan dunia.
Jiwa hukum yang sesuai dengan kondisi dan karakter sosial masyarakat Indonesia harus bersandar pada Pancasila, yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa sebagai filosofi yang menginginkan kebebasan dari penindasan, kemiskinan, dan ketakutan akibat kebijakan politik yang tidak adil. Namun, implementasi nilai-nilai Pancasila seringkali tidak tercermin dalam perkataan maupun perbuatan/sikap dan implementasi kebijakan negara.
Contoh terbaru adalah hasil sidang MKRI tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden yang membuat gaduh; perlakuan KPU dalam menerima pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang belum memenuhi syarat konstitusional; serta pernyataan presiden yang secara terang-terangan dan terbuka menyatakan bahwa seorang presiden boleh berkampanye tetapi mengabaikan ketentuan UU Pemilu 2017 yang mengharuskan cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Hal ini menunjukkan diskriminasi perlakuan yang cenderung menyesatkan rakyat pemilih.
Contoh lainnya adalah Bawaslu mengumumkan penghitungan suara ulang di 780 TPS dan penghitungan susulan di 584 TPS. Ini tidak akan terjadi jika proses penghitungan suara Pemilu 2024 berjalan lancar, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tanggung jawab tidak hanya pada KPU, Bawaslu, dan KPPS, tetapi juga pada Presiden dan kementerian terkait untuk memastikan kelancaran Pemilu 2024. Qua Vadis Pemilu 2024? (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK