Kapolri Brilian dan Terpercaya

Tito Karnavian
 
0
605
Lama Membaca: 21 menit

05. Fenomenal: Amankan Demo, Cegah Aksi Intoleran dan Makar

Kapolri Jenderal Tito Karnavian berhasil mengamankan enam kali demo besar-besaran bela Islam dengan berbagai hal yang mungkin menyusupi dan menungganginya. Bahkan dia berhasil mengendalikan dan mengubah Demo 212 menjadi Doa Bersama. Sehingga ruang gerak para penunggang dan penyusup aksi intoleran dan gerakan makar menjadi tekunci.  Fenomenal.

Aksi demonstrasi besar-besaran bela Islam dan ulama sejak 14 Oktober 2016, disusul 4 November (411) dan 2 Desember 2016 (212), 11 Februari 2016 (112), 31 Maret (313) dan 5 Mei 2017 (55) untuk ‘menekan’ pemerintah (Presiden Jokowi, Jaksa Agung dan Kapolri serta Mendagri) supaya segera menetapkan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) menjadi tersangka penodaan agama dan memberhentikannya dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, serta ‘menekan’ pengadilan (hakim) supaya menghukumnya seberat-beratnya, sempat dikuatirkan sangat berpotensi mengancam keamanan nasional.

Namun, berkat kerja keras dan antisipasi aparat keamanan (koordinasi Polri, TNI, BIN dan Menkopolhukam) serta beberapa ulama, demo yang digerakkan mengawal fatwa (pernyataan pendapat) MUI — digagas dan digerakkan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF)-MUI, FPI dan FUI itu akhirnya bisa berlangsung damai.

Inilah aksi demonstrasi terbesar ‘bela Islam’ yang melibatkan ratusan ribu hinggga hampir jutaan orang menumpuk di suatu tempat yang pernah terjadi di negeri ini. Peserta aksi digerakkan dari berbagai daerah. Aksi itu sempat menimbulkan kekuatiran akan terjadinya konflik oleh kelompok intoleran berbau SARA yang berpotensi mengancam keamanan nasional (negara). Tetapi (syukur), dengan kesigapan pemerintah dan aparat keamanan (Polri, TNI dan BIN) serta para ulama, kekuatiran itu tidak terjadi, aksi bisa diredam hingga berlangsung damai.

Walaupun akibat tekanan massa besar-besaran itu, Polri segera menetapkan Ahok sebagai tersangka penodaan agama atas ucapannya tentang surat Al-Maidah 51 di Kepulauan Seribu, Rabu 30 September 2016 dan videonya diunggah di Youtube Pemprov DKI Jakarta. Kemudian Buni Yani memposting potongan video tersebut dengan menyertakan status di FB-nya 6 Oktober 2016 yang dinilai dapat menimbulkan rasa kebencian, berbunyi:

PENISTAAN TERHADAP AGAMA?
“Bapak Ibu [pimilih Muslim]…. dibohongi Surat Al Maidah 51” … [dan] “masuk neraka [juga Bapak-Ibu] dibodohi”.
Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.

Kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikap terkait ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyinggung surat Al Maidah ayat 51 tersebut, Selasa (11/10/2016), berbunyi antara lain: “Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan: (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.

Setelah itu muncullah Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang menggagas dan menggerakkan demo besar-besaran. Demo berlangsung enam kali sejak 14 Oktober 2016, disusul 411 (4 November 2016), 212 (2 Desember 2016), 112 (11 Februari 2017), 313 (31 Maret 2017) dan 55 (5 Mei 2017). Massa digerakkan dalam jumlah besar, ratusan ribu hingga kurang lebih satu jutaan orang, dari berbagai daerah berkumpul di Jakarta.

Terutama aksi demo yang ketiga 212 (2 Desember 2016) dengan jumlah massa terbesar yang diperkirakan (diklaim)  berjumlah lebih satu jutaan orang, sempat menimbulkan kekuatiran akan terjadinya ancaman keamanan nasional. Demo 212 tersebut tampaknya merupakan klimaks (puncak) dari enam kali rangkaian demo bela Islam tersebut.

Ternyata, akhirnya demo 212 ini berlangsung tertib dan damai karena sebelumnya Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Menkopohukam Wiranto serta jajaran aparat keamanan lainnya bersama para ulama telah melakukan upaya antisipasi.

Advertisement

Demo 212 itu tadinya direncanakan dengan diawali sholat Jumat di jalanan protokol Jakarta. Namun atas upaya persuasif dan preventif yang dilakukan Kapolri kepada para ulama, GNPF-MUI, FPI, FUI dan pihak-pihak terkait, akhirnya disepakati demo 212 itu dilakukan dengan super damai dan bernilai ibadah, berupa doa bersama (sholat) di masjid Istiqlal dan seputar Monas.

Setelah mengadakan pertemuan dengan MUI, GNPF-MUI, FPI dan pihak-pihak terkait di Kantor MUI Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 28 November 2016, Kapolri dalam jumpa pers di gedung MUI tersebut mengungkapkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), Polri dan MUI telah sepakat aksi itu diselenggarakan di depan Tugu Monas sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB. Dijelaskan, kesepakatan itu dicapai setelah melalui sejumlah dialog. Jumpa pers tersebut dihadiri pula oleh sejumlah tokoh, seperti Ketua MUI Ma’ruf Amin dan Imam Besar Front Pembela Islam Rizieq Shihab.

Tito menegaskan, aksi tersebut akan diawasi polisi dengan bantuan personel TNI, Satpol PP, dan sejumlah bantuan keamanan dari organisasi masyarakat. “Kegiatan di Monas pukul 08.00-13.00 dalam bentuk kegiatan suci. Kami apresiasi karena tak mengganggu ketertiban.”

Sehubungan dengan kesepakatan itu, Tito pun melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pihak terkait lainnya mengenai teknis pelaksanaan aksi. Polisi pun aktif membantu segala kelengkapan, akomodasi panggung, parkir, tempat wudu, toilet, jalur arus masuk-keluar, dan speaker.

Kapolri Tito Karnavian berupaya keras agar kesepakatan itu dicapai untuk mencegah gangguan keamanan yang tidak diinginkan. Sebab, menurut Tito, jika melihat psikologi massa, dengan jumlah yang sebanyak itu tingkat kerawanan sangat luar biasa tinggi. Karena, jika ada satu orang saja yang memicu kerusuhan, massa akan sangat sulit dikendalikan.

Oleh sebab itu, pengamanan ekstra diberlakukan Polri.  Termasuk menyediakan pengeras suara agar mereka tak melakukan orasi menggunakan mobil-mobil komando. “Dengan menyiapkan pengeras suara, maka sumber suara hanya satu dan panggung menjadi magnet pusat komando,” kata Tito.

Demo besar-besaran yang sempat menimbulkan kekuatiran itu pun, berubah menjadi menjadi doa bersama. Bahkan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun sempat bergabung ikut berdoa.

Dengan berubahnya demo menjadi doa bersama itu, Tito sangat mengapresiasi pihak penyelenggara aksi, yaitu Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) yang dinilainya sangat kooperatif. Dia memberi contoh, terkait dengan waktu penyelenggaraan aksi. Kepolisian, sebetulnya menyiapkan kesempatan bagi para peserta aksi hingga pukul 16.00 WIB. Namun, saat itu pihak GNPF MUI justru menolak dan massa akhirnya bubar sekitar pukul 13.00 WIB. Menurut Tito, GNPF-MUI mengaku trauma dengan peristiwa 4 November 2016 lalu, saat sempat terjadi kerusuhan usai aksi.

GNPF-MUI menegaskan, bahwa kegiatan mereka murni penyampaian aspirasi terkait kasus hukum terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Demikian pula aksi-aksi selanjutnya, Aksi 112, 11 Februari 2017, sehari  sebelum Masa Tenang Pilkada DKI, dan Aksi 313, 31 Maret 2017, serta Aksi 55, 5 Mei 2017, tidak diizinkan Polri diadakan di jalanan, tetapi disepakati beribadah di dalam masjid Istiqlal.

Keenam aksi itu pun berlangsung damai, berkat antisipasi yang dilakukan aparat keamanan terutama Polri yang bertugas di lapangan. Padahal ada saja pihak-pihak yang berencana menyusup dan mendompleng aksi itu untuk tujuan makar dan aksi teror.

Seperti aksi 411, disusupi kelompok teroris Abu Nusaibah yang kemudian berhasil diamankan oleh Densus 88 di Jakarta dan Bekasi. Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, kelompok ini terbukti mendompleng dan menyusup di aksi damai 4 November 2016. Disebut, teroris itu ingin memanfaatkan kericuhan pada aksi damai 4 November untuk berhadapan dengan aparat hukum dan akan mengambil senjata mereka bila terjatuh. Tapi niat teroris itu tidak tercapai karena aparat kepolisian di lapangan tidak ada yang membawa senjata.

Demikian pula aksi 212 bisa berlangsung damai, tak terlepas pula dari antisipasi Polri yang antara lain menangkap 10 orang terduga pelaku makar dan penghina Presiden, dini hari 2 Desember 2016. Mereka adalah Ahmad Dani,Eko, Adityawarman, Kivlan Zein, Firza Huzein, Rachmawati, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Jamran, dan Rizal Kobar.

Juga aksi 112 berlangsung damai berkat antisipasi Polri yang tidak mengizinkan aksi ini dilakukan dijalanan. Begitu pula Aksi 313 yang meminta pemerintah menghentikan upaya kriminalisasi terhadap para ulama dan menuntut Presiden Joko Widodo untuk segera memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari jabatan Gubernur DKI Jakarta karena telah menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama.

Aksi ini juga berlangsung damai atas berbagai langkah antisipasi yang dilakukan aparat keamanan, terutama Polri. Sebelum aksi 313 ini berlangsung, Polri menangkap dan menahan Sekjen Forum Umat Islam Muhammad Al Kaththath, Jumat dini hari (31/3/2017) dan tiga orang lainnya lantaran diduga melakukan tindakan pemukatan makar.

Keberhasilan pengaman aksi demo besar yang berlangsung superdamai itu diapresiasi berbagai pihak. Antara lain anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir memuji sikap Kapolri yang cepat tanggap dalam mengamankan aksi tersebut. “Kami bangga pimpinan cepat tanggap dan turun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk berbaur mengamankan Ibu Kota,” ucap Adies.

Menanggapi apresiasi ini, Kapolri mengatakan pihaknya hadir di sana bukan untuk populer tapi mengendalikan mereka yang sudah berkomitmen dengan kami, yang berdialog dengan mereka. Sehingga semuanya betul-betul berjalan sesuai rencana.

Apresiasi juga mengalir dari berbagai elemen warga Jakarta, bahkan warga di berbagai kota lainnya, yang disampaikan dengan mengirimkan ribuan karangan bunga ke Mabes Polri dan Mapolda di beberapa daerah.

Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini