Legenda Penyair Soekarnois
Sitor Situmorang
[ENSIKLOPEDI] Sastrawan Angkatan 1945 Sitor Situmorang meninggal di Belanda Minggu, 21 Desember 2014 dalam usia 91 tahun. Jenazah penyair ‘Soekarnois’ kelahiran Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1924, itu dipulangkan ke tanah air dan sesuai wasiatnya dimakamkan di tanah kelahirannya, 1 Januari 2015.
Kepala Suku Sastrawan Angkatan 1945 itu mengembuskan napas terakhir karena usia lanjut. Menurut keluarga, terakhir berat badannya sudah susut menjadi 37 kilogram. Dia Sastrawan Angkatan 1945 terakhir meninggal dunia. Sitor telah menjadi legenda Sastrawan Angkatan 1945.
Sejarawan, JJ Rizal menyebut Sitor merupakan sosok penting dalam kebudayaan Indonesia. Nama Sitor, menurut Rizal, setara dengan nama besar lain (melegenda) dalam kesusastraan Indonesia, seperti Pramoedya Ananta Toer. Sitor tidak membuat polarisasi budaya, Timur-Barat, dan memiliki kepedulian tinggi terhadap politik serta persoalan bangsa,” kata Rizal yang pernah meneliti karya-karya Sitor dan telah menulis enam buah buku tentang penelitiannya itu.
“Dia salah satu tokoh yang berpengaruh terhadap dunia sastra di Indonesia dan satu-satunya sastrawan angktan 45 yang ketika usia 85 tahun masih produktif menulis,” tutur Rizal. Ditambahkannya, tidak hanya produktif, kualitas sajaknya pun patut diacungi jempol. Rizal pun menyebut beberapa karya Sitor yang mendapat penghargaan, di antaranya, Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional 1955 dan kumpulan sajak Peta Perjalanan meraih Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976.
Presiden Ir H Joko Widodo melalui laman resmi Facebooknya, Minggu (21/12/2014), menyampaikan belasungkawa dan menyebut Sitor Situmorang adalah seorang Soekarnois, pernah memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) pada tahun 1959-1965, sebuah Lembaga Kebudayaan yang saat itu berada di bawah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dimana PNI adalah cikal bakal dari PDI Perjuangan.
Presiden Ir H Joko Widodo melalui laman resmi Facebooknya, Minggu (21/12/2014), menyampaikan belasungkawa dan menyebut Sitor Situmorang adalah seorang Soekarnois, pernah memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) pada tahun 1959-1965, sebuah Lembaga Kebudayaan yang saat itu berada di bawah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dimana PNI adalah cikal bakal dari PDI Perjuangan.
Menurut Jokowi, tekad Sitor Situmorang memegang teguh ajaran-ajaran Bung Karno dalam semangat karya-karyanya, menjadi ilham bagi generasi muda saat ini bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pejuang. “Selamat jalan sastrawan besar, Indonesia berterima kasih padamu,” ucap Jokowi.
Jasad Sitor disemayamkan di rumah isterinya, Barbara Brouwer, di Apeldoorn, Belanda. Isterinya berkeinginan memakamkannya di Belanda. Namun karena sebelum wafat, Sitor berwasiat agar jasadnya dimakamkan di tanah kelahirannya, Harianboo, Pulau Samosir, di samping makam sang bundanya, sebagaimana tertuang dalam sajaknya yang berjudul ‘Tatahan Pesan Bunda’ maka ‘terpaksa’ Barbara melepaskannya. Tapi timbul masalah tentang besarnya biaya pemulangannya ke tanah air.
Berkaitan dengan hal tersebut, PDI-Perjuangan mengusulkan kepada pemerintah untuk membantu pemulangan jenazah penyair Sitor Situmorang dari Belanda. “Sitor Situmorang tidak hanya sastrawan angkatan 45 yang berpengaruh. Konsistensi perjuangan dan kesetiaan dengan Bung Karno menjadikan sosok sastrawan tersebut sebagai simbol kesetiaan seorang pejuang,” kata Plt Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP Hasto Kristiyanto di Jakarta, Selasa (23/12/2014).
Menurut Hasto, dalam catatan PDIP, sejak 1959 sampai 1969, Sitor Situmorang memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional yang merupakan underbow atau organisasi budaya sayap Partai Nasional Indonesia (PNI). Hasto mengatakan Sitor Situmorang menjabarkan nasionalisme melalui karya sastra yang luar biasa. “Seluruh idealisme dan keyakinan politik-kebudayaan yang ditunjukkan Sitor membuatnya lengkap sebagai sosok sastrawan yang memiliki sikap kenegarawanan yang tinggi,” ujar Hasto.
Hasto menambahkan bahwa spirit yang digelorakan Presiden Jokowi agar Indonesia berkepribadian dalam kebudayaan juga disarikan dari perjuangan para sastrawan seperti Sitor Situmorang. Sehubungan dengan itu, kata Hasto, PDI-Perjuangan meminta pemerintahan Jokowi dapat memberi perhatian yang sebaik-baiknya terhadap almarhum Sitor Situmorang.
Sitor dilahirkan dengan nama Raja Usu di Harianboho, Toba Samosir (kabupaten pengembangan Tapanuli Utara), Sumatera Utara, 2 Oktober 1924. Dia telah berkesempatan mengenyam pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga, MULO di Tarutung, dan AMS di Batavia (Jakarta). Kemudian pada 1950-1952, Sitor merantau ke Amsterdam dan Paris. Lalu, ia mendalami ilmu sinematografi di Universitas California pada 1956-1957.
Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).
Esai Sastra Revolusioner inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa melalui proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini ketika itu sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI, membuat rezim merasa berkepentingan untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.
Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto saja,” sebagai alasan kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya.
Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada dalam penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang bisa melarang saya untuk menulis,” ucapnya tentang keteguhan hatinya untuk tetap berkarya dalam kondisi dan situasi tertekan seberat apa pun, termasuk ketika terkungkung oleh tembok-tembok beton penjara.
Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun.
Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang disebutnya sudah sebagai desa keduanya setelah Harianboho. Harianboho, yang terletak persis di bibir-mulut pinggiran Tanau Toba nan indah, itu punya arti spesifik dalam diri Sitor. Paris yang megah boleh menjadi desa kedua. Namun Harianboho tetaplah satu-satunya kampung halaman bagi Sitor.
Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian pensiun pada tahun 1991. Selama dalam pengembaraan ia tetap produktif berkarya. Maklum, menulis baginya sudah seperti berolahraga. Jika tak menulis dirasakannya badan gemetaran.
“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah olahraga”, ujar pria Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun masih saja selalu kental dengan logat Bataknya. Kekentalan logat ini membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang yang berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.
Padahal ia adalah seorang lelaki tua periang yang jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya yang sudah menua. Pada usai 80-an tahun ia masih dengan mudah melewati lantai berundak yang terdapat di kamar tidurnya tanpa bantuan tongkat sedikitpun.
Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”, jika saja konsep dan sistem tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala suku adat Batak sudah lama dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor Situmorang tak pelak lagi adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya karena ia satu-satunya sastrawan Angkatan ’45 yang masih hidup kala itu, namun hasil karyanya ikut menunjukkan siapa jati diri dia yang sesungguhnya.
Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan, Perancis, dan Belanda ia menghasilkan beragam karya-karya pengembaraan. Antara lain berupa cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).
Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan Guru Besar Antropologi pada Universitas Indonesia (1962-1999) antropologi, berjudul Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda, To Love, To Wonder (1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit (2001) diterjemahkan dalam enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia.
Sejak tahun 2001 Sitor Situmorang sempat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia mengikuti istrinya Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta. Walau dua pertiga dari usianya dihabiskannya di negeri orang, para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan, dan budayawan lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai “anak yang hilang”.
Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu, Ramadhan KH, Richard Oh, Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon, Teguh Ostenrijk, Srihadi Soedarsono, dan Antonio Soriente, tetap menyambut hangat kepulangan Sitor Situmorang. Mereka, menganggap tak beda seperti menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa.
Sitor memang mempunyai pergaulan yang sangat luas di mancanegara seperti di Belanda, Jerman, Italia, dan Inggris seluas pengenalan masyarakat Indonesia terhadapnya. Padahal, jika ditelisik jauh ke belakang belajar menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak saja selepas bersekolah AMS di Jakarta. Pilihannya menjadi penulis pun berawal dari keterlibatan dirinya sebagai wartawan Waspada sebuah harian nasional terbitan Kota Medan.
Sebagai wartawan tahun 1950-an ia pulang dari Eropa, kemudian berhenti dan memutuskan diri menjadi penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor Situmorang sebagai sastrawan secara intens. Sebelumnya, tahun 1943 untuk pertama kali ia memang sudah menuliskan sebuah puisi, berjudul Kaliurang dimuat di majalah Siasat pimpinan
HB Jassin. Sedangkan, kumpulan puisi pertama Sitor Situmorang baru terbit tahun 1953, persis setelah sepulangnya dari Eropa. Ketika itu ia secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang waktu itu memiliki penerbit Pustaka Rakjat, lalu menerbitkan kumpulan puisi Sitor.
Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan diri turut berpolitik. Ketika Waspada menugaskannya menempati pos di Yogyakarta, membuatnya berkesempatan berkenalan dengan “Bapak-bapak Republik”, ini istilah Sitor Situmorang sendiri untuk menyebutkan orang-orang yang dimaksudkannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), telah memperkaya daya juang kreativitas sastranya dengan warna baru politik. Sitor bahkan pernah diangkat menjadi anggota MPRS.
Pada tahun-tahun pertama Orde Baru, nasib buruk merundung Sitor. Ia mendekam di penjara Gang Tengah, Salemba, Jakarta, tanpa melalui proses peradilan, pada 1967-1975. Ia masuk bui dengan tuduhan terlibat G30S. Dikenal sebagai Sukarnois, Sitor menjadi Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah organisasi di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI). Sejak 1980-an, dia tinggal di Belanda, bersama istrinya, Barbara Brouwer. Sitor sempat mengajar di Universitas Leiden sampai 1991. Hingga usia senja, Sitor Situmorang terus produktif menulis puisi, esai, maupun cerita pendek.
Disambut Acara Dzikir Puisi
Jenazah penyair Sitor Situmorang, akhirnya bisa dipulangkan ke Indonesia. Jenazah diberangkatkan dari Belanda dan mendarat pada 29 Desember 2014 pukul 18.00 WIB di Bandara Soekarno-Hatta. Kemudian disemayamkan di Galeri Nasional di Gambir.
Menurut sejarawan JJ Rizal para penyair hadir menyambut jenazah penyair Sitor Situmorang. Begitu tiba, jasad Sitor segera di bawa ke Galeri Nasional, Gambir untuk disambut dalam acara dzikir puisi. “Kami undang penyair senior dan junior untuk membacakan sajaknya di dekat Sitor,” kata Rizal. “Pembacaan sajak itu adalah untuk cara menghormati Sitor. Bisa dengan sajak hasil karya sendiri atau ciptaan Sitor,” kata Rizal.
Lalu pada 30 Desember, Jenazah Sitor disambut dengan seremoni adat Batak. Diawali upacara Rapat Raja Adat untuk upacara Adat Saur Matua. Kemudian jenazah Sitor di bawah ke tanah kelahirannya yakni di Harianboho, Pulo Samosir, Sumatera Utara untuk dimakamkan pada 1 Januari 2015. Penulis: Ch. Robin Simanullang | TokohIndonesia.com