Pelayan dan Pembelajar Indonesia
Jonathan Parapak04 | Diwarnai Kehidupan Sekitar Hutan

Masa kecil Jonathan Parapak — di tempat kelahirannya ia dipanggil Limbong — banyak diwarnai kehidupan sekitar hutan di tempat tugas ayahnya, Kanaka’ Palinggi. Mulai dari ketika ia masih dalam kandungan ibunya, Ny. Sule Palinggi.
Ketika itu ayahnya bertugas sebagai pegawai Jawatan Kehutanan di desa terpencil yang hanya mungkin dijangkau dengan berjalan kaki atau naik kuda yakni Desa Limbong, Rongkong, Kecamatan Salu Tallang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Saat terjadi gangguan keamanan di sekitar desa itu. Kondisi keamanan itu memaksa ibu yang tengah hamil tua, mengandung Parapak itu, harus meninggalkan gubuk dinas sederhana di tepi hutan, dengan menerobos jalan hutan beberapa hari untuk kembali ke daerah asal di Desa La’bo’, dekat Rantepao, Kabupaten Tana Toraja.
Sang Ibu tentulah sangat kelelahan. Juga digigit lintah hutan. Hampir tak berdaya. Namun berkat Tuhan, akhirnya sampai juga di La’bo’. Berselang beberapa hari, tepatnya tanggal 12 Juli 1942, Sang Ibu melahirkan seorang bayi laki-laki, diberi nama Limbong, untuk mengenang desa terpencil tempat tugas ayahnya itu.
Selain akrab dengan hutan, masa kecil Limbong banyak diwarnai kehidupan di desa, di sekitar sawah, bermain menggembalakan kerbau, memancing, bahkan ikut membantu keluarga bekerja di sawah.
Keluarga Kanaka’ Palinggi, semula adalah pemeluk agama suku yang dalam bahasa Toraja disebut Alukta (Aluk Todolo). Kemudian keluarga itu memutuskan untuk masuk agama Kristen di Rongkong sebelum Limbong lahir. Limbong sendiri baru dibaptis pada 1949, dan diberi nama baptis Jonathan, yang dalam keluarga dipanggil Nathan.
Sekolah bagi Nathan, merupakan perjuangan berat karena jarak yang harus ditempuh, faktor ekonomi dan keamanan, baik di desa maupun sesudah pindah ke kota kecil Rantepao. Seusai jam sekolah ia giat menggembalakan kerbau, ikut bekerja di sawah, dan juga melaksanakan berbagai tugas dalam keluarga. Nathan mulai sekolah pada umur 7 tahun di Desa Ulusalu, kemudian pindah ke Desa La’bo’. Kemudian ke kota kecil Rantepao.
Pembelajaran di sekolah dilaluinya dengan penuh keprihatinan akibat dukungan ekonomi yang terbatas, situasi keamanan dan kualitas pengajaran yang jauh dari memadai. Ia belajar praktis tanpa buku, tanpa lampu, sampai memasuki Sekolah Menengah Atas di Rantepao. Bersambung Ch. Robin Simanullang