Sang CEO Bermata Elang

[ Zaenal Soedjais ]
 
0
687

02 | Terasuh Bekerja Keras

Zaenal Soedjais
Zaenal Soedjais | Tokoh.ID

Kejelian dan kemampuan manajemen bisnis yang dimilikinya, selain didukung latarbelakang akademis juga terasuh dari latarbelakang keluarga. Dari sejak kecil ia diasuh dalam keluarga pedagang yang terbiasa bekerja keras. Ayah-budanya, H. Abdullah Harun dan ibu Sofia Atmi adalah pedagang.

Ayahnya berdagang di rumah, sementara ibunya berdagang di pasar dan tidak pernah menutup tempat dagangannya. Kalau ditanya, kenapa harus buka terus? Jawaban Sang Ibu, bermakna sosial dan komersial: “Kalau ditutup, kasihan orang itu. Ibu tidak hanya cari uang. Di samping itu, kalau hari ini ditutup, mereka akan membeli dari tempat lain. Kalau mereka sudah cari dari tempat lain, habis kita.”

Kedua orang tuanya tidak memiliki pendidikan formal yang memadai. Walau demikian, Kedua orangtua memberi contoh supaya menjadi hamba Tuhan yang rajin berzakat, bersedekah dan bersilaturahmi.keduanya berhasil mendidik kesembilan anak-anaknya menjadi orang-orang yang berdisiplin, bekerja keras dan berpendidikan tinggi. Kedua orangtua yang telah almarhum itu juga memberi contoh kepada anak-anaknya supaya menjadi hamba Tuhan yang rajin berzakat, bersedekah dan bersilaturahmi.

Zaenal Soedjais, anak kelima, misalnya, sejak dari masa kecil telah dididik menjadi seorang pekerja keras. Di antara saudara-saudara sekandung ia adalah anak yang paling dekat dan paling lama hidup bersama kedua orangtuanya. Banyak saudara sekandungnya menginjak SMA sudah harus pindah mondok ke tempat lain.

“Jadi, masa kecil saya penuh bersama dan kumpul dengan orangtua yang memang sangat pekerja keras, yang membuat saya jadi ikut kerja keras,” kenang Soedjais. Saban hari pukul setengah lima pagi, Soedjais kecil sudah bangun dari tidur untuk membantu ibunya berdagang di pasar. Juga mempersiapkan dagangan ayahnya yang membuka toko di rumah.

Soedjais kecil itu sudah terbiasa manggul-manggul barang berat, yang untuk ukuran seusia dan sebesar badannya, jauh dari seimbang. Ia sudah memanggul beban 20 kilogram saat masih kanak-kanak berusia 10 tahun atau kelas 4 SD.

Ketika mulai memasuki usia praremaja, ia melanjutkan pendidikan ke SMP Muhammadiyah, Cirebon, yang jaraknya 17 kilometer dari rumah kediaman. Sebab hanya sekolah itu yang tersedia. Jam pelajaran siang hari. Sebagaimana biasa, di pagi hari, ia harus pergi ke pasar membantu ibunya. Lalu menginjak pukul 11.00 siang mulailah dia mengayuh sepeda sejauh 17 kilometer menuju sekolah.

Total setiap hari, ia harus “berolahraga” sepeda 34 kilometer tanpa peduli cuaca panas terik atau hujan deras. Kejadian bolak-balik bersepeda 34 kilometer sambil dan membawa pulang titipan belajaan rutin ia lakukan selama enam tahun penuh. Sebab ia melanjukan sekolah di SMA Muhammadiyah, Cirebon, di lokasi yang sama.

Pulang sekolah, beban sepedanya masih ditambah barang belanjaan titipan ayahnya untuk dijual di toko. “Maka, pulang sekolah, saya bawa barang macam-macam di sepeda. Percis seperti loper-loper itu,” kenang Soedjais.

Ayah dan ibunya sangat percaya dan memberikan kebebasan penuh kepadanya. Setiap malam hari, saat menghitung uang hasil penjualan dan pembelanjaan, tak sedikitpun orangtuanya mencurigai bahwa ia akan mengambil uang itu. Di sisi lain, dengan kepolosan hati dan kejujuran seorang anak desa, ia juga tak pernah berpikiran mencuri uang ayah-ibunya. Di usia dewasa, ia baru menyadari, “Dulu, kok ayah dan ibu begitu percaya pada saya nyimpan uang begitu banyak?”

Advertisement

Kedua orangtuanya juga tidak mau terlalu jauh mencampuri urusan pendidikan anak-anaknya. Yang penting, anak-anak menjalankan tugas-tugas di rumah, setelah itu sekolah yang baik. Selebihnya sudah menjadi urusan anak sendiri. Model kebebasan berpikir yang tanpa paksaan demikian itu memberikan dorongan tersendiri, daya kritis, dan tingkat kepercayaan diri yang tinggi baginya. Ia membandingkan, model mendidik anak dari ayah dan ibunya itu dirasakan lebih benar daripada mendidik anak-anak terlalu masuk, detail mengatur ini dan itu.

Pembenaran terhadap model mendidik dari ayah dan ibunya itu, semakin jelas di kemudian hari, setelah dia membaca buku seorang penyair Kristen dari Libanon, Kahlil Gibran. Gibran menyebutkan anak itu seperti anak panah. Setiap orangtua tidak bisa membikin anak seperti diri orangtua atau seperti yang orangtuanya mau. Karena anak adalah seperti anak panah dan orangtua seperti busur. Ke mana busur diarahkan kalau sudah dilepaskan maka anak panahlah yang akan mencari sendiri sasaran yang dipilih tergantung arah angin dari mana.

Ia dijadikan anak panah. Sehingga terciptalah seorang anak desa yang tidak pernah merasa tergantung kepada orang lain. Selalu merasa percaya diri tinggi dan mampu menyelesaikan berbagai hal secara mandiri. Maka, ia pun berniat akan menulis bagaimana metode pendidikan yang terbaik menuju pada seorang anak yang betul-betul menjadi seorang yang berdikari.

Soedjais memiliki kebanggaan atas ayah-ibunya yang membentuk dan memperlakukannya ketika masa muda menjadi seorang pekerja keras. Ketika usia SMP di Cirebon, dia sudah pergi ke Tasikmalaya menaiki mobil gerobak. Ayahnya menyuruhnya mencari berbagai hasil bumi untuk diperdagangkan seperti kelapa, minyak goreng, aci berupa tepung singkong, dan lain-lain.

Dari Cirebon, dia bawa truk kosong kemudian dari Tasikmalaya dia membawa pulang barang-barang seperti kelapa sebanyak delapan ribu hingga sepuluh ribu butir. Semua kelapa itu lalu dia turunkan seorang diri satu demi satu butir. “Wah, kalau saya cerita bagaimana masa kecil saya, waduh… luar biasa. Betul-betul kuli saya. Tetapi, itu semua saya jalani dengan senang hati.”

Ketika SMA cerita menarik lain lagi. Saban pulang sekolah pukul lima atau enam sore, Soedjais bersama seorang kawannya mengayuh sepeda bergantian “Biasanya, kalau pulang, jika kawan saya yang lari maka saya yang pegang sepedanya. Kemudian separoh sisa perjalanan, saya yang lari dan dia yang pegang sepedanya. Itu nggak terasa capek, enjoy saja.”

“Sekarang, jika dipikir-pikir, berarti tiga tahun saya melakukan proses pematangan otot-otot dan kesabaran. Sehingga, alhamdulillah dengan ini saya kemudian di dalam hidup tidak ada sesuatu yang saya anggap berat. Tetapi tidak berarti enteng juga, semua saya anggap biasa. Dan untuk itu semua saya tetap berterimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena diberi kesempatan.” (Bersambung) Marjuka, Ch.Robin S (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 12).

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here