‘Bos Toprak’ dan Seni Tradisi
Luluk Sumiarso
[WIKI-TOKOH] Luluk Sumiarso bisa disebut sosok dengan dua identitas. Pada satu sisi, ia seorang birokrat dengan pengalaman aneka ragam, sebagai direktur jenderal, sekretaris jenderal, dan komisaris. Di sisi lain ia dikenal sebagai penggiat budaya, khususnya terkait dengan seni tradisi.
Identitas kedua ini boleh jadi lebih kuat karena orang lebih ingat dia sebagai “Bos Toprak” (pimpinan grup ketoprak) daripada staf ahli menteri. Ia tampaknya lebih klop mengenakan kostum tradisional dengan baju katun dan belangkon daripada setelan jas.
Luluk dengan Paguyuban Puspo Budoyo, yang dibina bersama beberapa sahabat dekat dan diketuai istrinya, Lies, hingga Maret 2009 telah mementaskan 33 pergelaran, terdiri atas 26 ketoprak, 4 ludruk, 2 wayang orang, dan sekali lenong.
Komitmen pada seni budaya tradisional itu lahir dari keprihatinan, seni tradisi semakin kehilangan daya tarik. Menonton saja enggan, apalagi menjadi pemain atau membiayai pergelaran. Lihat apa yang terjadi pada Wayang Orang Sriwedari dan Wayang Orang Barata. Bisa dikatakan lebih banyak yang main daripada yang menonton, kata Luluk. Apalagi, yang diderita grup pertunjukan keliling (tobong) di berbagai daerah. Untuk bisa manggung saja mereka kerap kesulitan tempat.
Di tengah keprihatinan itu, pada tahun 2005, saat Luluk menjadi Sekjen Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, datang Aries Mukadi, mantan anggota/sutradara grup Ketoprak Humor. Ia menyampaikan, kelompok itu (setelah acaranya dihentikan salah satu stasiun televisi) tak punya penghasilan.
Luluk bersedia menolong dengan kiatnya sendiri. Ia pilih ketoprak banyolan karena ketoprak biasa sulit untuk mencari penonton. Ia lalu mengajak Komunitas Gnaro Ngalam (atau Orang Malang bila dibaca terbalik) di Jakarta. Pementasan pertama mengangkat lakon Ken Arok dan Ken Dedes, mBahe Gnaro Ngalam yang berlangsung sukses di Gedung Kesenian Jakarta.
Selain banyolan, ia juga mencoba memperluas basis dukungan dengan mengajak tokoh masyarakat dan artis ikut bermain. Mereka yang pernah ikut antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi, menteri dan mantan menteri, Deputi Gubernur BI, gubernur, dirjen, komisaris, dirut, serta direksi BUMN. Pernah pula rektor, guru besar, para eksekutif perusahaan swasta, kalangan media, bahkan ekspatriat.
Dengan apa yang tampaknya dilakukan dalam suasana pertemanan itu, sesungguhnya Luluk berhasil mengatasi beberapa tantangan, terutama menyangkut dana dan penonton. Dengan mengajak dan melibatkan para tokoh ikut bermain dalam pertunjukannya, perusahaan atau kolega tokoh itu pun mau diajak mensponsori atau membiayai pergelaran, baik melalui dana corporate social responsibility (CSR) maupun dari kocek sendiri.
Lalu, dengan para tokoh ikut manggung, kolega dan keluarga mereka juga ikut menonton. Dengan cara ini, selain penontonnya ada, tontonan yang semula dicitrakan untuk kalangan menengah ke bawah secara bertahap diubah menjadi tontonan menengah ke atas.
Melalui Puspo Budoyo, masyarakat bisa menikmati seni tradisional di gedung pertunjukan, seperti Gedung Kesenian Jakarta, Graha Bhakti Budaya TIM, Balai Kartini, juga Sabuga Bandung. Selain tampil di gedung, rekaman pertunjukan juga disiarkan TVRI setiap Sabtu malam sehingga wajah Luluk yang sering tampil pun dikenali sebagai pemain ketoprak.
Seperti halnya Luluk, pemain lain juga banyak yang jadi ketagihan tampil. Sebagian bisa dikatakan telah ketularan “virus ketoprak”. Setelah terakhir mementaskan lakon Geger Gunung Tidar yang berlatar belakang Kerajaan Demak, pada April, bersama tokoh farmasi, Puspo Budoyo, akan mementaskan cerita Cheng Ho dalam Perang Paregreg.
Luluk yakin, dengan semakin banyak tokoh yang ikut bermain, semakin banyak seniman tradisional yang bisa dibantu Puspo Budoyo. Dalam kaitan ini pula dia berharap ada selebriti muda yang mau ikut main sehingga bisa mengilhami generasi muda lain untuk menerjuni seni tradisi.
Berbagai karakter
Selama memimpin Puspo Budoyo, Luluk juga bisa melihat berbagai karakter. Jadilah dia tidak berusaha memaksakan aturan terhadap seniman, tetapi justru menyesuaikan diri dengan kebiasaan mereka. Mengatur jadwal tokoh boleh jadi lebih sulit. Pernah satu kali ada beberapa tokoh yang tidak pernah bertemu selama latihan. Maka, mereka tampil mendadak berakting bareng di panggung.
Luluk juga melihat, para tokoh yang biasanya tampak formal ternyata bisa lepas dan mbanyol di panggung. Banyak pula dari mereka yang justru bangga dengan kostum kebesaran ketoprak atau wayang, lalu membuat foto dengan kostum tersebut untuk dipasang di kantor atau Facebook.
Ke depan, Luluk akan terus mencarikan dana bagi pengembangan seni tradisi agar seniman dan kegiatan mereka tetap berlangsung. Lalu, sebagai program, Luluk dan paguyubannya telah mengidentifikasi 89 lakon ketoprak yang eranya terentang dari Mataram Kuno hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Rekaman cerita yang telah dipentaskan akan kami susun urutannya hingga menjadi Serial Babad Nusantara yang menampilkan para pahlawan kita. Ini biar generasi mendatang bisa (terbantu) mengenal sejarah bangsanya,” kata Luluk.
Di luar idealisme, seni tradisi selalu memunculkan pertanyaan klasik, yaitu bagaimana ia bisa tumbuh secara mandiri dan pertunjukannya menguntungkan. Menurut Luluk, profit masih belum bisa diharapkan karena untuk menutup biaya pergelaran saja masih perlu upaya keras.
Untunglah, belakangan ia menemukan jalan keluar dengan melibatkan tokoh yang dengan perusahaannya ramai-ramai membantu membiayai pergelaran. Hal itu bahkan sempat memunculkan canda, “Kalau seniman profesional setelah main dibayar, tapi kalau para tokoh setelah main malah membayar.”
Dari sisi ini pula Luluk mencetuskan ide, sebagian dana CSR di perusahaan diperluas menjadi corporate social and cultural responsibility (CSCR) yang bisa digunakan untuk membantu membiayai berbagai kegiatan budaya oleh seniman di berbagai pelosok Tanah Air.
Di sini, sosok Luluk memainkan peranan penting, tidak saja sebagai seniman, tetapi juga manajer seniman dan keseniannya. Luluk, seorang insinyur dan mengaku tidak berlatar belakang seni, telah terpanggil untuk misi luhur itu. e-ti
p>Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Maret 2009 ” Luluk, “Bos Toprak” dan Seni Tradisi” | Ninok Leksono