08 Berduka, Lihat Rakyat Menderita
Pak Harto, meneteskan air mata ketika menyaksikan tayangan para penderita busung lapar dan polio di televisi. Indonesia, sudah 60 tahun merdeka, kok masih ada gambaran seperti itu.
Suatu hari di bulan Juni 2005, Pak Harto menonton televisi. Adik kandungnya, H. Probosutedjo yang tengah mendampinginya melihat Pak Harto (84 tahun) meneteskan air mata. Rupanya, yang membuat Pak Harto sedih sampai meneteskan air mata, adalah gambar tentang anak-anak penderita polio, busung lapar dan rakyat yang sedang antri minyak tanah.
“Kalau lihat (nonton) atau baca yang kayak gitu, Pak Harto pasti sedih. Pikirnya, kok keadaan bangsa ini makin sulit,” kata Pak Probo dalam wawancara dengan Tokoh Indonesia (1/8/2005). Pak Probo menambahkan,” Pak Harto meneteskan air mata, itu betul, saya sendiri pernah lihat.”
Pak Harto memang tidak mampu lagi lancar berbicara. Hatinya menangis, matanya meneteskan air mata, karena menyaksikan bangsanya yang bertambah miskin. Padahal, ia telah berjuang mati-matian selama 32 tahun untuk membebaskan bangsanya dari deraan kemiskinan.
Sekarang, kata Pak Probo, masih banyak orang yang tidak sadar, mencari-cari kesalahan seakan-akan Pak Harto yang menjadi biang semua kesulitan tersebut. “Padahal merekalah yang sebenarnya salah, sehingga membikin negara ini morat-marit,” kata Pak Probo.
Pak Probo mengutip sebuah laporan, bahwa kemiskinan di Indonesia sekarang 54%. Angka itu pun baru diukur dari jumlah orang yang tidak mampu membayar di rumah sakit. Kenyataan itu membuktikan bahwa program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan Pak Harto selama 32 tahun seakan menjadi sia-sia.
Pemerintahan Pak Harto berupaya keras mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Angka kemiskinan berhasil ditekan dari 67% tahun 1970-an, tahun 1990-an turun menjadi hanya 11,86% tahun dari jumlah penduduk. Angka kemiskinan saat ini, menurut BPS, naik dari 31 juta menjadi 54 juta jiwa.
Kata Pak Probo, Pak Harto juga merasa sedih melihat konflik fisik berkenaan dengan Pilkada. Dulu sebenarnya sudah direncanakan juga, tapi dengan perhitungan kalau dilaksanakan, akan ribut karena demokrasi di Indonesia belum bisa diterapkan secara liberal, seperti di Amerika dan negara-negara Eropa. Soalnya rakyat Indonesia masih banyak yang buta huruf dan miskin. Orang miskin itu gampang dibayar, siapa yang kasih duit, itulah yang dicoblos, yang dipilih. “Mestinya dipertimbangkan dulu,” kata Probo.
Program pengentasan kemiskinan dilakukan melalui jalur anggaran (APBN) dan di luar anggaran.
Di sektor anggaran, pemerintahan Pak Harto membangun gudang-gudang Dolog, Puskesmas, Posyandu dan Posyandu hampir di seluruh desa. Karena itu, pemerintah bisa segera mendeteksi perkembangan berbagai penyakit yang menyebar di kalangan masyarakat miskin, seperti diare, demam berdarah, polio dan busung lapar. Di era Pak Harto, semua jenis penyakit seperti itu dicegah sejak dini lewat imunisasi massal, dihilangkan secara terencana dan berkesinambungan.
Pak Harto masih ingat bahwa pada tahun 1967, sembilan dari sepuluh orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Tahun 1970, menjadi delapan dari sepuluh, dan tahun 1976, tinggal tiga dari sepuluh. Kenaikan pendapatan rata-rata penduduk golongan miskin di pedesaan bertambah lebih cepat, dibandingkan dengan kenaikan golongan kaya. “Ini menunjukkan justru di desa jurang pemisah antara si kaya dan si miskin mulai dapat diperkecil,” tutur Pak Harto di dalam otobiografinya; Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1988).
Konsep Pak Harto adalah menjadikan pembangunan nasional sebagai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan yang benar-benar dirasakan oleh rakyat sebagai perbaikan tingkat hidup yang berkeadilan sosial.
Soal pembentukan yayasan, Pak Probo menjelaskan bahwa ketujuh yayasan yang dipimpin Pak Harto, mengumpulkan dana sumbangan dari orang-orang mampu dimaksudkan untuk membantu kaum papa. Sampai sekarang ketujuh yayasan tersebut tetap mampu memberikan bantuan sosial kepada kaum fakir-miskin, anak-anak yatim piatu dan beasiswa untuk anak-anak sekolah yang orang tuanya tidak mampu.
Ibu Tien Soeharto, ketika masih hidup, juga dikritik lantaran mendirikan Yayasan Dana Kemanusiaan Gotong Royong. Ibu Tien dituduh meminta-minta sumbangan dari para pengusaha kaya untuk menumpuk kekayaan. Mereka yang menuduh seperti ini, kata Probo, orang-orang yang tidak mengerti. Sampai-sampai Ibu Tien diolok-olok sebagai “Bu Ten Persen.” (Maksudnya meminta komisi 10% dari setiap proyek).
Padahal sumbangan tersebut dimanfaatkan untuk membantu mereka yang tertimpa musibah bencana alam atau kecelakaan. Ibu Tien juga menyisihkan dana-dana sumbangan untuk pembangunan TMII, RS Harapan Kita dan RS Kanker.
Pak Probo menuturkan, pada suatu rapat Golkar di Cendana tahun 1993, seorang menteri mengeritik Pak Harto, karena ia merasa jurang kaya-miskin semakin lebar. Menteri itu mengatakan rakyat kecil pun menganggap Pak Harto hanya mengutamakan dan mengistimewakan orang-orang keturunan. Rakyat menganggap Pak Harto dan kaum keturunan menguasai kekayaan di Indonesia. Sampai supir-supir taksi pun menuduh Pak Harto menumpuk kekayaan dengan melindungi cina-cina.
Lantas Pak Harto meminta para peserta rapat memberikan penjelasan, supaya rakyat mengerti yang sebenarnya. Itu kewajiban para menteri. Menpen Mashuri nyeletuk: “Pak Harto tidak pernah naik taksi sih.” Pak Harto dikatakan seperti itu di dalam rapat, akhirnya marah. Kata Pak Probo, dari rapat itu berkembang isu bahwa Pak Harto betul-betul menumpuk kekayaan, tidak bisa dikritik.
Pak Probo menegaskan, tidak ada tujuan Pak Harto menumpuk kekayaan. Pemerintah menerima masuknya modal asing, maksudnya untuk menciptakan lapangan kerja, pendapatan masyarakat meningkat. Kalau pendapatan meningkat kemiskinan akan berkurang. Sekarang, ratusan bahkan jutaan orang, pria dan wanita, berbondong-bondong pergi ke luar negeri untuk mencari nafkah sebagai pekerja rendahan.
Angka kemiskinan yang menurun drastis sewaktu Pak Harto memerintah, sekarang menanjak kembali. marjuka Situmorang-sh dari berbagai sumber.