Pengasuhan Kebebasan Berpikir
Urip Santoso
[ENSIKLOPEDI] BIO 02 | Urip Santoso kecil diasuh dalam keluarga yang membuka ruang kebebasan berpikir. Dalam proses pengasuhannya, kedua orang tuanya selalu memberi bimbingan, dorongan dan pengawasan tanpa terlalu banyak mencampuri kehidupan anak-anaknya. Bahkan memberi kebebasan berpikir dan memilih jalan hidup anak-anaknya. Orang tuanya mengawasi, tapi tak pernah mempersoalkan rapor, pilihan sekolah dan karir anak-anaknya.
Kendati status sosial orang tuanya sudah terbilang terhormat — di atas rata-rata – kala itu, sebagai kontrolir (sinder) kehutanan pada zaman penjajahan pemerintahan Hindia Belanda, tetapi tidak ada kesan (apalagi proses pengasuhan yang bersifat) feodalistis dalam keluarganya. Keluarganya hidup dalam sifat yang egaliter.
Urip lahir pada zaman penjajahan Belanda, yang ditandai dengan perjuangan para pejuang bangsa merintis kemerdekaan Indonesia, seperti Soempah Pemoeda (28 Oktober 1928)[1]. Pada saat Soempah Pemoeda itu, memang Urip kecil masih berusia lima tahun. Dia belum menjadi seorang pelaku sejarah Kongres Pemoeda tersebut. Tetapi sudah menjadi bagian pelaku (implementasi) awal Soempah Pemoeda itu, secara langsung atau tidak langsung.
Pada zaman penjajahan Belanda itu dia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang relatif berkecukupan. Ayahnya, Glompong Oeminhoem Soemarto, berasal dari Kauman, Tegal, punya jabatan sinder (opsiner, pengawas, mandor, kontrolir) kehutanan. Sedangkan ibunya, RA Koenmarjati, dari Pati, Kudus, masih ada hubungannya dengan RA Kartini.
Kisah orang tuanya terbilang berkecukupan itu, selain dia rasakan sendiri, juga dia ketahui dari kakaknya yang lebih tua. Sebagai gambaran, menurut kakaknya yang kini sudah almarhumah, waktu Urip lahir, sebagai anak laki-laki pertama, orang tuanya menyelenggarakan pesta selama tiga hari. Yang diundang, bukan hanya kerabat dekat, tetapi juga ada orang Cina, Belanda dan Arab.
Dia punya dua kakak perempuan, keduanya sudah meninggal. Kakak pertama, suaminya Siregar. Kakak kedua, itu mungkin orang banyak tahu, bernama Sri Ayati, dulu ditaksir sama almarhum Chairil Anwar[2]. Tentang kisah Sri Ayati dan Chairil Anwar ini, dia mengaku tidak tahu banyak. Barangkali, yang tahu banyak mengenai Sri Ayati justru Rosihan Anwar[3], karena satu angkatan di AMS (sekolah menengah) Yogyakarta.
Dalam proses pengasuhan, kedua orang tuanya selalu memberi bimbingan, dorongan dan pengawasan tanpa terlalu banyak mencampuri kehidupan anak-anaknya. Mereka mengawasi, tapi tak pernah mempersoalkan rapor anak-anaknya. Bukan hanya terhadap Urip, tapi juga kepada lima saudaranya yang lain, dua kakak perempuan, dua adik laki dan satu adik perempuan. Dari enam bersaudara, masih ada dua yang masih hidup (2010), yakni Urip dan adik perempuannya. Satu orang kakaknya, baru meninggal April 2010.
Pada tahun 40-an, ayahnya sudah pensiun. Terakhir bekerja di Arbijds Inspectie Departemen Tenaga Kerja. Tapi dia tak pernah mendengar kedua orang tuanya mengeluh. Hal ini, dikemukakan kepada isterinya, bahwa dia tak pernah melihat ayah dan ibunya ribut (bertengkar) atau saling memaki, padahal rumah mereka tidak terbilang besar. Bio TokohIndonesia.com/CRS
Footnote:
[1] Soempah Pemoeda (Sumpah Pemuda) merupakan sumpah setia hasil rumusan Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres Pemuda II, dibacakan pada 28 Oktober 1928 di Waltervreden (Jakarta). Tanggal ini kemudian selalu diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Isi Soempah Pemoeda tersebut adalah: Pertama, kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia; Kedua, kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; dan Ketiga, kami poetra dan poetri Indonesia mengjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Panitia Kongres Pemoeda tersebut terdiri dari: Ketua, Soegondo Djojopoespito (PPPI); Wakil Ketua, R.M. Djoko Marsaid (Jong Java); Sekretaris, Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond); Bendahara, Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond); Pembantu I, Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond); Pembantu II, R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia); Pembantu III, Senduk (Jong Celebes); Pembantu IV, Johanes Leimena (yong Ambon); Pembantu V, Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi) dan 70-an peserta dari seluruh nusantara. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
[2] Chairil Anwar (1922-1949), Penyair Legendaris Indonesia. Puisi-puisi “Si Binatang Jalang” Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. (www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/c/chairil-anwar/)
[3] Rosihan Anwar, Symbol Kebebasan Berpikir. Pria kelahiran Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, ini seorang wartawan, penulis, pendidik, seniman dan sejarawan sepanjang hidup. Sosok yang layak disebut sebagai simbol kebebasan berpikir. Rezim Orde Baru dan Lama menyimpan rasa love-hate terhadapnya. Karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan. Tak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya. (www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/r/rosihan-anwar/)